Jumat, 13 Februari 2015

SEKOLAH DI DESA



Betapa sedihnya hati saya melihat perkembangan keponakan saya kali ini. Kelas dua belum bisa membaca dengan baik. Hampir-hampir saja dia tinggal kelas. Wali kelasnya berusaha semaksimal mungkin agar yang satu ini bisa segera terampil dan menyusul teman-temannya.
Sekarang dia kelas IV, alhamdulillah kemampuan membacanya sudah membaik. Sayangnya, hal itu tak diimbangi dengan kemampuannya berhitung. beberapa kali Saya harus mengehela nafas saat ngelesi dia. Anak segitu masih belum lancar penjumlahan dan pengurangan. Jangan tanya soal perkalian dan pembagian, ampun.

Setelah saya telusuri jejek rekam kehidupannya, dan saya bandingkan dengan teman-temannya, sampailah pada titik temu. Ternyata dia tinggal bersama ayah dan neneknya. Tanpa ibu. Ya, tanpa ibu. Ayah sibuk bekerja, bahkan kadang tak pulang beberapa hari. Nenek pun tak bisa baca tulis. Jadi dia tak ada tempat belajar di rumah, siapa yang membimbing tugasnya? Kepada siapa ia mengadukan PR-nya?

Barangkali Perhatian orang tua adalah suatu hal yang mahal. Sehingga banyak orang tua pelit dan eman-eman untuk memberikannya pada anaknya. Sepenuhnya mereka pasrah sak bongkotan kepada sekolah tempat anak belajar. Dengan berbagai alasan bapak ibu mengelak dari tanggung jawab pendidikan di rumah. Bahwa bekerja itu lebih penting, bahwa uang adalah yang utama, tanpa uang, kita nggak bisa makan, tanpa uang anak nggak bisa sekolah., dan lainnya.