“Suatu hari ketika aku sedang berziarah ke makam
Sayyidina Husein di Mesir, antara tidur dan terjaga, aku merasakan diriku
berada di Makkah. Kemudian aku memasuki Masjidil Haram dan menanam pohon.
Ajaibnya pohon itu tumbuh dengan cepat dan cabang-cabangnya memenuhi Masjidil
Haram dan berbuah banyak.” Begitulah cerita Syaikh Utsman bin Hasan, guru
Sayyid Ahmad.
Kala itu bermimpi, dia adalah ulama terkemuka di Mesir.
Setelah bermimpi demikian, tanpa ragu lagi beliau segera berpindah ke Makkah
dan membuka Majlis ta’lim di Masjidil Haram yang langsung diikuti banyak orang
termasuk Sayyid Ahmad. Selang beberapa lama setelah melihat potensi besar dan
kepatuhan Sayyid Ahmad kepadanya, Syaikh Utsman mulai mengeti ta’bir (Tafsir)
mimpinya.”Insya Allah kamulah Sayyid Ahmad, pohon yang aku lihat dalam mimpi.
dan darimulah akan menyebar ilmu Syariat hingga akhir Zaman,” ujar Syaikh
Utsman kepada Syaikh Ahmad. Tiga tahun sebelum meninggal dunia, Syaikh Utsman
menyerahkan urusan pengajaran dan majelis-majelisnya di Masjidil Haram kepada
Sayyid Ahmad.
Sayyid Ahmad mempunyai metode pengajaran yang sangat
efektif. Satu metode yang belum pernah dipraktekan para ulama sebelumnya ialah,
beliau senantiasa mengajarkan ilmu-ilmu dasar terlebih dahulu sebelum
mengajarkan kitab-kitab besar. beliau mengajarkan hukum-hukum yang bersifat
detil (furu’) terlebih dahulu sebelum memberikan dasar hukum yang merupakan
teori umum (ushul). Metode pendidikan akhlaknya adalah dengan memberikan
teladan dalam ucapan dan tingkah laku.
Dengan semangat tinggi beliau selalu memperhatikan
keadaan murid-muridnya. beliau membersihkan mereka dari sifat jelek dengan
Riyadhah yang sesuai kondisi tiap individu, lalu menghiasi mereka dengan akhlak-akhlak
yang mulia. Jika beliau melihat salah seorang muridnya mempunyai suatu
kelebihan dalam satu bidang tertentu, beliau menyuruhnya mengajar murid di
bawahnya. Berkat metode inilah, dengan singkat, Masjidil Haram dipenuhi para
penuntut ilmu dari penjuru dunia, dan lahirlah ulama-ulama besar yang
menyebarkan ilmunya ke seluruh pelosok dunia.
Selain itu, beliau juga mempunyai perhatian terhadap
nasib orang-orang yang berada di daerah pelosok. Khususnya mereka yang kurang
peduli terhadap urusan pendidikan. Di sela-sela kesibukannya mengajar di
Masjidil Haram, beliau acapkali pergi ke pelosok-pelosok pegunungan sekitar
Makkah untuk mengajarkan ilmu Al Qur’an dan ilmu-ilmu dasar yang wajib.
Sewaktu merasa tak mampu lagi bepergian jauh, beliau
menugaskan beberapa murid untuk mengantikannya. beliau pun menulis Syarah “Al
Ajrumiyah” dengan cara yang dirasa akan memudahkan orang-orang awam dalam
memahami gramatika bahasa arab. beliau membegikan buah penanya itu secara
cuma-cuma. Berkat perjuangannya tersebut, ilmu syariat tersebar merata sampai
ke pelosok-pelosok Jazirah Arab. Di bawah asuhannya, tercatat sekitar 800 anak
penduduk pelosok Arab yang berhasil menghafalkan Al Qur’an, dan sebagian
lainnya memfokuskan diri mempelajari ilmu fiqh, ada pula yang menekuni ilmu
lughah (sastra arab).
Menjelang akhir hayatnya, tepatnya pada akhir bulan
Dzulhijah tahun 1303, beliau memilih pergi ke kota Madinah. Maksudnya hendak
bermukim beberapa lama sambil mengajar di sana. Namun di Madinah beliau lebih
memfokuskan diri beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tiap pagi dan
sore beliau secara rutin menziarahi makam datuknya, Rasulullah SAW, sampai
beliau meninggal dunia, tepatnya pada malam Ahad 4 Safar 1304 Hijriyah. Jasad
yang mulia itu dimakamkan di pekuburan Baqi’, di antara kubah para keluarga dan
putri Nabi Muhammad SAW.