Betapa sedihnya hati saya melihat perkembangan keponakan saya kali
ini. Kelas dua belum bisa membaca dengan baik. Hampir-hampir saja dia tinggal
kelas. Wali kelasnya berusaha semaksimal mungkin agar yang satu ini bisa segera
terampil dan menyusul teman-temannya.
Sekarang dia kelas IV, alhamdulillah kemampuan membacanya sudah
membaik. Sayangnya, hal itu tak diimbangi dengan kemampuannya berhitung. beberapa
kali Saya harus mengehela nafas saat ngelesi dia. Anak segitu masih
belum lancar penjumlahan dan pengurangan. Jangan tanya soal perkalian dan
pembagian, ampun.
Setelah saya telusuri jejek rekam kehidupannya, dan saya bandingkan
dengan teman-temannya, sampailah pada titik temu. Ternyata dia tinggal bersama
ayah dan neneknya. Tanpa ibu. Ya, tanpa ibu. Ayah sibuk bekerja, bahkan kadang
tak pulang beberapa hari. Nenek pun tak bisa baca tulis. Jadi dia tak ada
tempat belajar di rumah, siapa yang membimbing tugasnya? Kepada siapa ia
mengadukan PR-nya?
Barangkali Perhatian orang tua adalah suatu hal yang mahal. Sehingga
banyak orang tua pelit dan eman-eman untuk memberikannya pada anaknya.
Sepenuhnya mereka pasrah sak bongkotan
kepada sekolah tempat anak belajar. Dengan berbagai alasan bapak ibu mengelak
dari tanggung jawab pendidikan di rumah. Bahwa bekerja itu lebih penting, bahwa
uang adalah yang utama, tanpa uang, kita nggak bisa makan, tanpa uang anak
nggak bisa sekolah., dan lainnya.