Oleh: M. Abdul Ghofur (13103200050
dan Siti Noor Rohmah (1310320003)
Tak dapat dipungkiri, peranan
guru sangatlah penting dalam pendidikan, terutama dalam sistem pengajaran
karena guru berposisi sebagai perantara sebuah ilmu untuk disampaikan kepada
peserta didik. Di negara-negara maju kualitas guru sangat diperhatikan demi
kemajuan bangsanya. Ho Chi Minh mengatakan: “No teacher no education no
economy, and social development”. Pernyataan tersebut menyuratkan
bahwa guru adalah akar dalam mengembangkan pendidikan, sehingga merambah ke
bidang ekonomi, dan menuju dalam bidang sosial. Apabila dari akar sudah tumbuh
dengan baik, maka pendidikan terjamin, ekonomi maju, dan kesenjangan sosial
dapat ditekan.
Pelaksanaan pendidikan tidak
semudah yang dibayangkan, pendidikan membutuhkan tenaga yang sangat ekstra.
Sementara itu pemerintah berusaha menyiapkan sumber daya manusia yang
ditugaskan untuk mewujudkan peradaban bangsa, yaitu guru. Dewasa kini guru tergolong
profesi yang menuntut keseriusan, kematangan, serta kecakapan yang tinggi.
Seorang pendidik atau guru dituntut untuk bisa membawakan materi yang akan
disampaikan kepada peserta didiknya. Tidak berhenti sampai di situ, seorang
pendidik profesional diharuskan mampu menyajikan materi sehingga mudah dipahami
dan disukai peserta didik.
Guru Profesional
Profesional adalah sifat yang
terkait dengan profesi. Dengan demikian, guru profesional adalah guru yang
memiliki sifat, ciri-ciri, karakter sesuai dengan profesinya. Sesuai dengan
ketentuan UU No. 14 tahun 2005 tentang furu dan dosen, guru disebut profesional
bila telah memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik dapat diperoleh
melalui program sertifikasi atau profesionalisasi guru.
Karakter profesi antara lain
terdidik, terlatih, kekhususan, otonom, terorganisir, memiliki kode etik,
terpercaya, dedikasi, dan mendapat imbalan yang memadai.[1]
1. Terdidik, artinya
pemegang profesi itu memerlukan tingkat pendidikan tertentu. Jabatan profesi menuntut pendidikan
tinggi dan untuk itu perlu waktu belajar yang lama, bahkan belajar
terus-menerus (pendidikan sepanjang hayat) secara berkesinambungan untuk
menjaga kualitas atau mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu memerlukan guru/pendidik
yang bermutu. Melalui
pendidikan pemegang profesi telah dinyatakan memiliki pengetahuan yang memadai
dalam bidangnya
(kompeten). Bagi guru, kepemilikan kompetensi itu ditandai dengan
kualifikasi akademik S-1 atau D/IV
2. Terlatih, artinya pemegang profesi
itu harus ahli atau terampil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu menerapkan
ilmu/pengetahuan yang telah diperoleh dari pendidikan. Bagi guru, hal itu
berarti terlatih dalam menerapkan ilmu/pengetahuan keguruannya. Pelatihan itu
diperoleh dalam PPL (Praktik Pengalaman Lapangan), setelah diberi kuliah dan
lulus mata kuliah Micro Teaching. Dalam
kaitannya dengan empat kompetensi guru dituntut oleh UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, pelatihan tersebut masuk dalam kategori kompetensi
pedagogik, yaitu kemampuan untuk mendidik/mengajar sesuai dengan
prinsip-prinsip pendidikan, sehingga siswa yang diajar dapat belajar dengan
aman dan nyaman, tumbuh dan berkembang sesuai bakat, minat, dan tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk itu guru perlu menguasai didaktik (ilmu mendidik umum dan metodik (ilmu mendidik khusus atau metodik khusus)
dilengkapi dengan ilmu-ilmu bantu pendidikan, seperti psikologi (umum,
perkembangan, anak, remaja, dewasa) dan ilmu bimbingan dan konseling.
Sesuai dengan tuntutan keterlatihan itulah maka
pendidikan calon guru (prajabatan) perlu dilakukan melalui Pendidikan Profesi. Pendidikan Profesi dengan beban studi 40 satuan
kredit semester (sks) yang dilaksanakan dalam waktu dua semester. Dengan
demikian guru profesional belum cukup dididik di LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan) selama empat tahun (delapan semester) dengan ijazah
Sarjana Pendidikan, melainkan masih perlu ditambah dengan Sertifikat Pendidik
yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Profesi.
3. Kekhususan, artinya pemegang
jabatan profesi itu harus terdidik dan terlatih dalam bidang khusus, untuk
dapat dibedakan dari bidang garapan profesi lain. Bidang khusus itu harus
ditekuni secara berkesinambungan dan tetap, tidak berubah-ubah atau
berpindah-pindah. Hal ini perlu untuk menjaga kualitas profesinya melalui
proses perluasan dan pendalaman. Bagi guru, khususan itu adalah keguruan.
Seorang guru profesional dituntut bakat dan minat, kiat dan komitmen untuk
menjabat sebagai guru/pendidik. Sebagaimana telah disebut di depan, profesi itu
bukan amatiran. Jadi seorang guru
profesional bukanlah guru amatiran, yang terjadi secara kebetulan, sebagai
batu loncatan, yang cenderung tanpa
dedikasi/pengabdian, tanpa kesetiaan yang dapat mengabaikan organisasi/ikatan profesi
dan kode etik profesi.
4. Otonom, artinya memilki kemandirian dalam ruang
lingkup kerja, yang tidak diatur oleh profesi yang lain. Guru profesional
(organisasi profesi keguruan) harus berani mengambil putusan sendiri dalam
bidang dan ruang lingkup kerjanya serta mempertanggungjawabkannya. Tentang
persyaratan siswa seperti apa yang dapat diterima, isi pendidikan apa yang
perlu diberikan, nilai-nilai apa yang harus diinternalisasikan, metode mengajar
apa yang perlu dipergunakan, ketentuan keberhasilan/kelulusan seperti apa yang
ditetapkan, semua ada pada otoritas guru/pendidik/sekolah, dengan berpedoman pada kurikulum yang
telah ditetapkan secara formal oleh Pemerintah berdasar kesepakatan.
5. Terorganisasi, artinya jabatan profesi
itu memerlukan adanya ikatan dalam suatu organsasi, yang disebut organisasi
profesi. Melalui organisasi profesi itulah prinsip-prinsip dan tujuan profesi
dapat diperjuangkan dan ditegakkan serta memberikan perlindungan bagi para
anggotanya, seperti PGRI.
6. Memiliki kode etik, yaitu norma dan asas yang disepakati oleh
suatu kelompok tertentu sebagai landasan dan ukuran tingkah laku. Kode,
merupakan lambang atau simbol yang bermakna. Kode etik profesi keguruan berarti
hal-hal yang mendasar, yang bernilai, yang berharga, yang bermakna, yang baik,
yang diinginkan, yang menjadi landasan dan ukuran bertindak bagi guru
profesional sebagai anggota dari organisasi profesi keguruan.
Kode etik organisasi biasanya ditetapkan dalam suatu
rapat besar atau kongres seluruh anggota atau melalui mekanisme perwakilannya.
Sesuai dengan namanya sebagai kode etik,
yang terkait dengan etika atau moral, maka kode etik hanya memiliki sanksi
moral, bukan sanksi hukum, dengan sanksi terberat dikeluarkan dari keanggotaan
organisasi profesi. Tetapi sering kode etik diperlakukan sebagai aturan
sehingga memiliki sanksi hukum.
7. Berprestise/terpercaya, artinya
jabatan profesi itu menuntut suatu kepercayaan dari luar atau pihak lain. Guru
profesional harus memperoleh kepercayaan dari pelanggannya (stakeholders). Pelanggan bagi guru
adalah secara vertikal: atasan (kepala sekolah, penilik/supervisor, kepala
kantor wilayah, dan seterusnya) dan secara horizontal: siswa, teman sejawat,
orangtua siswa, dan relasi di masyarakat yang relevan, termasuk dunia kerja dan
pendidikan lanjutan. Kepercayaan itu dapat diperoleh melalui kewibawaan, yang pada dasarnya
merupakan suatu pengakuan secara bebas dan sukarela. Kewibaaan guru
terkait erat dengan kepribadiannya. Jadi guru profesional harus berkepribadian
yang baik yang terhormat dan terpecaya, yang dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen dimaksudkan sebagai kompetensi kepribadian atau individual.
8. Dedikasi/pengabdian, artinya pemegang
jabatan profesi harus memiliki dedikasi, pengabdian, atau loyalitas terhadap
organisasi profesinya. Bagi guru, loyalitas itu dapat ditunjukkan dengan kerja
keras, disiplin, produktif secara akademik (banyak menulis karya ilmiah atau
buku), mengembangkan kompetensi pendidik dan keguruan. Guru profesional tidak
menjadikan tugas keguruan sebagai sambilan, melainkan sebagai tugas pokok, bila
perlu tidak ada pekerjaan sambilan. Kalau ada kerja sambilan hendaknya yang
sejalan dengan tugas pokoknya dalam dunia pendidikan, bila perlu yang dapat
menunjang tugas
pokoknya sebagai guru. Tidak ada salahnya seorang guru punya sambilan
berdagang, tetapi tetap guru yang
berdagang bukan pedagang yang menjadi guru.
9. Imbalan yawng memadai, merupakan
konsekuensi logis dari suatu jabatan profesi. Jabatan profesi memerlukan
pendidikan dan pelatihan yang relatif lama, memerlukan kekhususan, sikap yang
otonom, terorganisasi, memiliki kode etik yang luhur, berprestise/terpercaya,
dan dedikasi/ pengabdian serta loyalitas yang tinggi maka sudah layak dan
sepantasnya bila memperoleh imbalan atau gaji yang tinggi. Telah disebut bahwa
guru profesional bukan pekerjaan sambilan, juga bukan amatiran, melainkan suatu
kehidupan dan penghidupan. Guru sebagai jabatan profesional harus dijalani
sebagai kehidupan, maka sebagai konsekuensinya harus dapat menjadi penghidupan
bagi penyandang jabatan profesi tersebut. Oleh karena itu, sejalan dengan upaya
profesionalisasi guru di Indonesia, layak dan sepantaslah bila pemerintah
memberikan tunjangan profesi sebagai sumber penghidupan guru profesional.
Kompetensi Guru
Ada beberapa pendapat mengenai kompetensi
diantaranya, menurut Hall dan Jones yaitu pernyataan yang menggambarkan
penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan
antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. Selanjutnya
Richards menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang
dapat diamati, yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari.
Sedangkan Spencer dan Spencer mengatakan bahwa kompetensi merupakan
karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu
criteria efektif dan kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.[2] Sedangkan
dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kompetensi adalah (kewenangan) kekuasaan
untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.[3]
Menurut UU No. 14 Bab I pasal 1
ayat 10 tenang guru dan dosen, disebutkan bahwa pengertian kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi
merupakan peleburan dari pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diwujudkan
dalam bentuk perbuatan.[4]
Kompetensi merupakan kemampuan
dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Bahwa kompetensi
mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan,
kompetensi merujuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk
memenuhi verifikasi tertentu dalam pelaksanaan tugas kependidikan. Kompetensi
diartikan sebagai suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan
seseorang. baik yang kualitatif maupun kuantitatif.
Guru perlu memiliki
kompetensi agar mampu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.[5]
1. Kompetensi Pedagogik
Pedagogik berasal dari bahasa
Yunani yakni paedos yang artinya anak laki-laki, dan agogos yang artinya
mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah membantu anak laki-laki
zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya pergi ke
sekolah. Menurut Prof. Dr. J. Hoogeveld (Belanda), pedagogik ialah ilmu yang
mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak
ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya.
Menurut imam wahyudi dalam
bukunya panduan lengkap uji sertifikasi guru menyatakan bahwa Kompetensi
pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran yang
ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik.[6]
Kompetensi
pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran
peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan; pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum atau
silabus; perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktulisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.[7]
Dari penjelasan para tokoh yang
disebutkan diatas maka yang dimaksud dengan kompetensi pedagaogik adalah
sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar terhadap
siswanya dalam menjalankan profesinya sebagai guru.Sehubungan dengan
ini, setidaknya guru agama haruslah memiliki kompetensi pedagogik yang
menjadi landasan bagi terselenggaranya pembelajaran yang efektif dan
efisien.
2.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi
yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus
memiliki nilai-nilai luhur yang sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari.
Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mapu
melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing
Ngarso Sung Tulada , Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani. Dengan
kompetensi kepribadian maka guru akan menjadi contoh dan teladan, serta membangkitkan
motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, seorang guru dituntut melalui sikap
dan perbuatan menjadikan dirinya sebagai panutan dan ikutan orang-orang yang
dipimpinnya .
Kompetensi
kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia.
3.
Kompetensi Profesional
Kompetensi
profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi
pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan
substansi keilmuan yang menaungi materi
kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.
Guru profesional adalah guru yang
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan
pengajaran. Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis. Kompetensi
profesional merupakan salah satu kemampuan dasra yang harus dimiliki seseorang
guru.
Adapun dalam kompetensi ini
seorang guru hendaknya mampu untuk :
a.
Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung
mata pelajaran yang di tempuh.
b.
Mengembangkan materi pembelajaran yang di ampu secara kreatif .
c.
Mengembangkan keprofesionalan serta berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif.
d.
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.
4.
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Dalam peraturan Pemerintah Nomor
19 tahun 2005, pada pasal 28 ayat 3, yang dimaksud dengan kompetensi sosial
ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua / wali peserta didik dan masyarakat sekitar .
Menurut Djam’an Satori, kompetensi
sosial adalah sebagai berikut :
a.
Terampil berkomunikasi dengan peserta didik dan orang tua peserta didik .
b.
Bersikap simpatik .
c.
Dapat bekerja sama dengan Dewan Pendidikan / Komite Sekolah
d.
Pandai bergaul dengan kawan sekerja dan mitra pendidikan .
e.
Memahami dunia sekitarnya (lingkungan)
Guru profesional hendaknya mampu
memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada siswa, orang tua,
masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. Jadi, sebagai guru yang baik dan
profesional itu tidak hanya mampu berkomunikasi dengan lingkungan kelas dan
sekolah tetapi juga bisa berhubungan baik dengan masyarakat sekitar, bisa
menjadi sumber ilmu bagi masyarakat dan memberi kontribusa yang positif.
Daftar Pusataka
Depdiknas, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Duta Nusindo, Semarang,
2005.
Depdiknas, Undang-undang Nomor
14 tentang Guru dan Dosen serta Standar Nasional Pendidikan Tahun 2005, CV
Tamita Utama, Jakarta, 2006.
Imam
Wahyudi, Panduan Lengkap Uji Sertifikasi Guru, PT Prestasi
Pustakatya, Jakarta, 2012
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis
Kompetensi dan Konteksrual: Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas
Sekolah, Bumi Aksara,
Jakarta, 2007.
Soebahar,
Abd. Halim, Matriks Pendidikan Islam, Pustaka Marwa,
Yogyakarta, 2009
Tim, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Reality Publisher, Surabaya, 2008.
Tri Suyati, dkk., Profesi
Keguruan, IKIP PGRI Semarang Press, Semarang, 2009.
[1] Tri Suyati, dkk., Profesi Keguruan, IKIP PGRI
Semarang Press, Semarang, 2009. Hlm. 5
[2] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis
Kompetensi dan Konteksrual: Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas
Sekolah, Bumi Aksara, Jakarta,
2007. Hlm. 15
[4] Depdiknas, Undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan
Dosen serta Standar Nasional Pendidikan Tahun 2005, CV Tamita Utama,
Jakarta, 2006. Hlm. 5
[5] Depdiknas, Peraturan Pemerintah RI Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Duta Nusindo, Semarang, 2005. Hlm. 24.
[6] Imam Wahyudi, Panduan
Lengkap Uji Sertifikasi Guru, (jakarta: PT Prestasi Pustakatya, 2012), hal.22
[7] Soebahar, Abd.
Halim, Matriks Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2009),
hal. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar