Oke, saya akan mereview film ini
dengan lugas, tidak bertele-tele. Anyway film ini realese perdana pada Juli
2019. Karena kisahnya yang 'nakal' tentu saja penayangannya mendapat stigma
miring bagi beberapa kalangan yang concern pada isu moral dan agama. Namun bagi
pihak lain, justru film ini sangat bagus dan layak untuk ditonton para remaja
serta orangtua agar menjadi pembelajaran bersama. So, let's do it!
Film ini bercerita tentang
'kecelakaan' dua remaja yang bernama Bima dan Dara. Alkisah Bima dan Dara
adalah remaja yang duduk di bangku Kelas XII SMA. Saking dekatnya mereka
berpacaran, mereka sering berduaan baik di sekolah maupun di rumah.
Di film tersebut diceritakan Bima
sering main ke rumah Dara tanpa ada kekhawatiran apapun. Ya, hanya berdua.
Tidak ada adik Dara, atau orangtuanya. Hingga akhirnya entah bagaimana mereka
bisa tidur bareng. Dara tampak ketakutan dan menyesal. Bima juga cukup
menyesal, tetapi dia berusaha meredam kekhawatirannya dengan bersikap tenang dan
berjanji akan bertanggung jawab.
Dan ternyata Dara positif hamil.
Mereka berdua semakini diliputi ketakutan. Ditambah perut dara yang semakin
membesar dan sering tidak enak badan. Baik Bima maupun Dara tak bisa berbuat
banyak. Mereka tak mungkin bercerita kepada orangtua apalagi teman-temannya.
Sekuat tenaga mereka menyimpan rapat aib ini.
Semula Bima dan Dara sepakat untuk
menggugurkan kandungan Dara. Namun, di tengah jalan Dara berubah pikiran. Ia
tak tega dan meyakinkan diri untuk tetap mempertahankan bayinya. Apapun yang
terjadi ia akan menghadapi dan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat.
Bayinya harus tetap hidup meski lahir dari sebuah ‘kesalahan’.
Dara tetap bersekolah seperti biasa
sampai dia terjatuh saat jam olahraga dan ketahuan kalau dia tengah hamil.
Sekolah gempar, kedua orangtua Dara dan Bima dipanggil ke sekolah. Di sini
digambarkan bagaimana hancurnya perasaan orangtua masing-masing. Mereka tak
sanggup menerima kenyataan bahwa putra-putri mereka melangkah terlampau jauh.
Bima berusaha meyakinkan orangtua
Dara kalau dia bisa bertanggung jawab. Tapi kita tahu, Bima masih seorang
bocah. Apa yang bisa kita harapkan dari dia? Bagaimana dia bisa memenuhi
kebutuhan rumah tangga sementara dia masih harus sekolah. Dia juga bukan siswa
yang cukup pintar dan berprestasi.
Ibunda Dara nampak kesal dan tak
kuasa membendung emosinya sehingga meninggalkan Dara. Orangtua Bima sama
hancurnya, hanya saja mereka berusaha menahan kekecewaannya. Darapun ikut Bima
tinggal di rumahnya yang kecil di dalam gang sempit dan cukup kumuh.
Di sana digambarkan adanya syok yang
dialami Dara dengan kenjomplangan taraf hidup antara keluarganya dan keluarga
Bima. Selain harus mengisi air ketika mau mandi, hampir tidak ada adegan
kepayahan Dara ketika tinggal di ‘rumah barunya’. Namun, dari mimik muka
keheranan dan tidak enaknya serta sudah cukup menggambarkan betapa getir
kenyataan yang ia hadapi. Saya tak habis berpikir, berarti selama ini Dara
tidak pernah tahu bagaimana latar belakang Bima (?)
Film ini benar-benar menguras emosi.
Antara menyesali kebodohan Bima dan Dara juga usaha mereka untuk mau
bertanggung jawab. Lebih dari itu saya kagum kepada orangtua masing-masing yang
akhirnya mau memikirkan masa depan anaknya meski tak luput dari luapan emosi.
Saya melihat sosok orang tua yang
tegar dan mau menerima kenyataan bahwa anak yang mereka banggakan dan percayai
justru melakukan tindakan bodoh dan memalukan. Terlepas dari keputusan
kontroversi terkait hak asuh anak atau perceraian, masing-masing menyadari penuh
apa konsekwensi yang akan timbul ke depan.
Orangtua mereka mau mendampingi dan
ingin segera menuntaskan masalah ini. Semua sudah terjadi, dan apa boleh buat.
Sudah habis air mata dan keringat menyesali semua ini. Toh mereka juga akhirnya
sadar, salah mereka juga kenapa tidak mengawal putra-putri mereka.
Saya dan penonton lainnya tentu agak
getir juga menyaksikan raut muka polos Bima yang serba salah dan serba bingung
akan apa yang ia hadapi. Ia bisa saja berusaha tampak dewasa dan mengayomi saat
bersama Dara. Lha wong mereka seumuran. Namun, di depan orangtua dan mertuanya,
Bima memang benar-benar tak lebih dari seorang remaja. Bagaimana dia gugup dan
berwawasan sempit. Bukan mkasud merendahkan, tapi memang kita tak bisa menaruh
harapan lebih pada seorang remaja 17 tahun untuk mengurus rumah tangga.
Kita semua melihat bahwa Bima dan
Dara memang belum siap untuk menuju level ini. Mereka seharusnya belajar dan
menata hidup untuk mandiri. Bersungguh-sungguh belajar dan mengasah
keterampilan bukan justru ‘kejeron’ dalam berpacaran.
Well, kasus ini bisa menimpa
siapapun, bahkan dari kelaurga terdidik dan religius sekalipun. Terkait hal ini
peran orangtua sangatlah krusial. Ia tak bisa begitu saja melepas kontrol atas
kegiatan anak. Mereka perlu mendampingi, berbincang mengenai pubertas dan hal
yang menjadi fenomena anak dewasa ini. Kalau bukan orangtua sendiri, lalu siapa
lagi?
**
Bonus
Kekesalan Dewi -kakak Bima- yang
marah kepada Bima saat tahu dia menghamili anak orang memang agak tabu. Dia
menanyakan, “Kamu pakai kondom nggak, sih?”. Scane ini lumayan menjebak dan
risky. Ya natural sih, ia mengucapkannya. Entah karena di lapangan ‘kejeron’ sudah
jamak dan tak dapat lagi ditutupi atau sebuah pengalaman pribadi. (Untung Cuma
film ya.. Boleh su’uzhon nggak?)
Positifnya, remaja juga tahu ihwal
alat kontrasepsi. Mereka bisa membicarakannya bersama orangtua dan guru.
Negatifnya, keingintahuannya mengalahkan batas-batas yang telah disepakati.
Sehingga mereka justru tahu dan melakukan langkah ‘aman’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar