oleh: Ghofur
Entah dari mana ia berasal, sebulan terakhir ini Joni – bukan nama sebenarnya – berkeliaran di
sekitaran ibu kota kecamatan Wedung. Daerah operasinya mulai dari Baleromo (Balai Desa) Wedung hingga Jalan Angin-angin. Aneka polah ia peragakan dari membawa bedil-bedilan, teriak-teriak sendiri, memutar ampli speaker yang tak mungkin bersuara, hingga kejar-kejaran bersama anak-anak.
Sebenarnya Joni tak sendirian. Selain dia ada juga dua temannya yaitu Pak Tua – juga bukan nama
sebenarnya – dan Mas Joko – lagi-lagi bukan nama sebenarnya – yang akhir-akhir
ini hilir mudik di lokasi yang sama. Hanya saja Joni lebih konsisten dalam
menjalankan misinya. Hal tersebut membuat kami warga Wedung Smart City mau tak
mau menjadi akrab dengan obah polah si Joni.
Di Angin-angin Jonisering main di warung Sate Ojek Mbak Ima. Alih-alih mengusirnya Mbak Ima justru
memberinya makanan dan minuman. Mamah muda berhati lembut ini tanpa sungkan
mengajaknya ngobrol. Awalnya saya heran, bagaimana caranya ngobrol dengan orang
gila? Apalagi si Joni gagu. Saya mengetahuinya dari unggahan stroy tempo hari.
Namun, berdasarkan penjelasan Mbak Ruri – sebelahnya Mbak Ima –, walaupun Joni
gagu dan mengidap gangguan jiwa, dia masih bisa memahami apa yang orang lain
katakan. Bahasa sederhananya masih nyambung gitu lah. Kalau begitu sih Joni
tidak gila tapi tuna grahita.
Tunagrahita atau
keterbelakangan mental memiliki IQ di bawah rata-rata orang normal pada
umumnya. Berbeda dengan orang gila, penyandang tuna grahita masih bisa dididik
dan diajak berkominkasi. Meskipun terkadang ada hambatan tergantung tingkat
gangguannya.
Kembali ke Joni. Saat
itu Joni bercerita bahwa dia sering berantem sama anak-anak. Mereka suka
menggodanya hingga melukainya. Hal itu membuat Joni geram dan melakukan pengejaran
terhadap anak-anak. Terkait hal tersebut saya memang beberapa kali
mendapatinya. Samapai mata saya sepet dan jengkel juga. Terakhir kemarin
sekitar pukul 9 malam. Segerombol anak usia SD meneriaki Joni hingga terjadi
kejar-kejaran. Ya Allah.. Hatiku terenyuh. Saya jadi heran sebenarnya yang gila
itu siapa?
Pantas saja saat aku bersimpangan dengan Joni minggu lalu
dia mendelik-mendelik dan marah-marah melemparkan batu ke orang lewat. Rupanya
memang ada yang menyulut api di sana. Joni marah dan menggila. Dan tentu saja
hal itu membahayakan banyak orang.
Beberapa kali juga saya melihat Joni adu mulut dengan
seorang bapak paruh baya. Entah apa yang mereka perdebatkan. Hal ini tentu
mengganggu suasana Wedung yang santun dan damai. Saya takut terjadi baku
hantam. Ya, baku hantam antara orang waras dan orang gila. andai Joni mengalah,
lalu siapakah yang sekarang waras dan siapakah yang gila? Jarene sing waras
ngalah.
Fakta mengenai Joni di
atas menggambarkan sedikitnya dua hal. Pertama, moral. Ada permasalahan moral
dalam diri masyarakat kita di mana orang waras bukannya bersikap manusiawi
justru semena-mena. Kalau benar Joni itu gila, biasanya orang gila yang
menggoda orang waras. Ini malah orang waras menggoda orang gila.
Kedua, adalah
pembiaran. Sudah sebulan lebih tapi Joni dan kawan-kawan masih berkeliaran di
jalan tanpa ada tindakan untuk merehabilitasinya. Sejauh ini Joni tidur di
pinggir jalan dengan alas dan bantal yang entah dari mana ia dapatkan. Saya
berperasangka baik ada warga yang memberinya. Lalu bagaimana dengan makan dan
kebutuhan pribadi lainnya? kita tak tahu di mana ia membersihkan diri
dan buang air besar.
Jika kondisi ini didiamkan
dan tidak ada upaya untuk merehabilitasinya, apakah kita akan terus membiarkan
Joni hidup dalam 'pertempuran' dengan anak-anak kurang ajar itu. Belum lagi
potensi konflik dengan masyarakat yang belum ramah dengan orang orang seperti
Joni. yang lebih mengkhawatirkan, adalah semakin banyak munculnya Joni-joni
lain yang akan mencoba peruntungan nasib di lingkungan kita. Jony everywhere.
Semula setiap ada orang berbaju kumuh, rambut gimbal,
muka kusam, atau tuna grahita berkeliaran tidak jelas di jalan saya tidak
seketika menyimpulkan dia memang gila. Kan bisa jadi dia intel yang sedang
menyamar mencari pelakor di sinetron Azab Indisiyir. Atau bisa juga seorang wali
utusan Tuhan. Hanya saja ketika melihat dia kencing di pinggir jalan, aku mulai
ragu.
Sampai saya mendengar seorang teman menduga bahwa Joni
dibuang keluarganya. Mirip kaya orang punya kucing biar gak kembali lagi ke
rumah dia dibawa naik mobil lalu ditinggal di jalan. Secara, Joni muncul
tiba-tiba ke bumi Wedung Smart City. How come?
Sebagai sesama manusia tentu sudah sewajarnya kita hidup berdampingan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat. Maka saya mempertanyakan di mana peran pemerintah dalam penindakan kawan kita Joni dan sedulurnya. Dia tuna grahita, tuna wicara, tuna wisma, masih ditambah tuna saudara.
Mbok yaho instansi terkait segera bertindak untuk merehabilitasinya, dan merawatnya dengan baik. Joni juga perlu rumah untuk berteduh. Berpakaian dan makan dengan lahap di tempat yang layak. Apakah hal seperti ini juga menunggu laporan masyarakat? Sayang sekali, biasanya warga ogah dengna urusan lapor-melapor karena takut repot sendiri.
Saya juga menghimbau masyarakat untuk bersikap wajar menghadapi orang gila atau tuna grahita. Tak perlu berlebihan menjauhi atau lebih-lebih justru menyakiti. Bagaimanapun kondisinya, mereka juga manusia ciptaan Tuhan yang wajib untuk dijaga hak hidupnya. Lalu apa pasal kita tega menyakiti dan mempermainkannya? Apa kita sudah kekurangan mainan? Atau yang lebih buruk kita kehilangan nurani untuk saling menghargai.