Mengajak siswa sekolah dasar pergi ke pematang sawah bukanlah perkara mudah. Kalau tak percaya coba saja bikin mini riset beberapa sekolah. Berapa kali guru mengajak siswa terjun ke luar sekolah. Alasannya tidak lain adalah merepotkan. Di sini bukan soal repot mengenai akomodasi atau instrumen pembelajaran, bahkan itu hal yang saya anggap sepele. Yang saya maksud adalah tentang perilaku anak ketika di luar sekolah.
Kita
semua maklum anak seusia siswa sekolah dasar mempunyai polah yang luar biasa. Beberapa
di antaranya bahkan tak salah bila kita menyebutnya hiperaktif. Bagaimana tidak?
Mereka selalu bergerak tanpa henti, sulit berkonsentrasi, dan duduk manis
mendengarkan arahan guru. Bahkan ketika mereka diberikan tugas mandiri, mereke
akan mencari celah untuk menabuh meja, mengunyah makanan, memainkan barang yang
mereka bawa dari rumah, dan sebagainya.
Sederet
tingkah mereka membuatku menduga akan satu hal bahwa mereka tak tertarik dengan
pembelajaran yang diberikan. Level mereka adalah bermain dan bermain. Guru masih
kepayahan mengajak siswa untuk berpikir tingkat rendah (LOTS). Lalu bagaimana
mereka mampu berpikir tingkat tinggi (HOTS)?
Kalau
guru membiarkan hal ini terus berlangsung maka yang ada adalah basa-basi pembelajaran.
Guru sekadar menyampaikan pembelajaran dan siswa tak menghiraukan. Kita tahu
bahwa kita tidak bisa meraih perbaikan bila kita terus menerus menggunakan cara
yang sama. Kita harus berbuat sesuatu yang baru.
Karena
materinya adalah ekosistem maka kenapa saya tidak membawa mereka ke lingkungan
alam yang nyata? teras sekolah terlalu sempit dan monoton untuk kami tempati. Akhirnya
saya membawa mereka ke sawah dekat sekolah.
Sumpah,
ini adalah hal gila yang membuat saya gemetar. Saya terlalu berani membawa anak
kelas empat ke luar kelas. Ya.. mereka berjumlah 40 dan saya seorang diri. Lain
waktu saya jelaskan mengapa. Meskipun begitu saya tak menyurutkan niat untuk
melakukan hal ini. Pendidikan adalah proses. Meskipun itu berat saya akan tetap
melakukannya.
Saya
tidak akan menceritakan apa yang kami lakukan di sawah. Kita sudah
mengetahuinya dan itu sudah biasa. Saya akan mendedahkan kegilaan yang
anak-anak lakukan. Mula-mula anak-anak dibariskan dan keluar dari gerbang
sekolah menuju lokasi sawah.
Mario
adalah anak yang usil. Terserah kalian mau melarangku memberikan stereotip itu
kepadanya. Bagiku yang ia lakukan adalah usil dan dia sadar apa yang
dilakukannya. Di tengah jalan ia berlari meninggalkan barisan dan memancing
anak laki-laki lain melakukan hal yang sama. Sambil berteriak-teriak ia bilang,
“Aku tahu tempatnya!!!”.
Oke..
Hal yang sepele dan kita masih dapat mentolerirnya. Kami melalui kampung yang
padat. Bagaimana kalau Mario menendang tempat sampah warga? Sehingga semua
sampah keluar dan berserakan. Sebagai guru yang sabar apa yang akan anda
lakukan?
Untuk
hal itu kita bisa melupakannya. Mari kita berlanjut ke sawah. Sesampai di sana
anak-anak berkumpul untuk menerima kuis yang saya berikan. Kita menyepakati 30
menit untuk mengerjakannya. Beberapa siswa menyebar ke sisi selatan, utara,
tengah, sisanya berkerumun di dekatku. Tentu anda sudah membayangkan di mana
Mario berada. Ia ada di ujung sana berlarian dan berteriak, “Woi.. sini.. ada
belalang”.
Sementara
itu Andi di pinggir kali. Naik perahu milik warga dan mencoba memainkan
kemudinya. Ya Tuhan, apa yang akan aku katakan bila tiba-tiba pemilik datang? Guru
macam apa yang membiarkan siswanya seenaknya memainkan barang orang lain.
Lalu
anda mendengar siswa ramai berteriak minta tolong karena ada sepatu temanya
yang jatuh ke sungai. Anda pun harus mencari tombak untuk meraihnya. Dan ketika
sepatu sudah didapat Mario kembali bersama lima anggotanya dengan celana penuh
lumpur.
Ya ampun.
Sebuah hal yang cukup mengerikan dan tentu menakutkan. Anda bisa membayangkan
bagaimana kami kembali ke sekolah dengan seragam yang belepotan. Apa yang akan
kepala sekolah bilang dan apa yang akan orangtua mereka katakan? Citra guru
yang cerdas dan indah akan rontok oleh karena tingkah polah siswa yang semrawut
dan menggemaskan.
Sekarang
kita tahu itulah mengapa guru jarang membawa siswa luar sekolah. Lha wong di
kelas saja susah diatur apalagi di luar? Sehingga lebih banyak dari guru
menyebunyikan siswanya di sekolah agar tidak diketahui ke-hiperaktifa-annya, teriakannya,
atau tendangan mautnya.
Namun,
aku tak memerdulikannya. Kalau kita mau jujur, semua yang mereka lakukan adalah
wajar dan natural. Maka ketika mereka melakukan hal di luar intruksi itu adalah
sebuah wujud naluri kritis siswa untuk mencari tahu, mencoba hal baru,
menunjukkan sesuatu, menemukan, mengungkapkan, mengasosiasikan, dan mengaktualisasi
diri. Dan itu adalah luar biasa.
Biarkan
mereka menjadikan alam nyata sebagai bahan pembelajaran mereka. Manusia adalah
bagian dari alam kenapa kita mengurungnya dalam tembok yang hampa akan kreatifitas.
Jangan sampai anak-anak kita justru semakin jauh dari lingkungan yang kita
ajarkan untuk mencintainya.
Adapun
soal perilaku negatif, kita bisa membenahinya. Kita adalah orang tua. Kita tahu
bagaimana cara mendidik anak. Yang mahal itu bukan tempat sampah, atau celana,
atau obat gatal, tapi pengalaman dan pembelajaran berharga dalam masa kecil
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar