Oleh : Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Ada
banyak aliran dan madzhab filsafat. Hal itu dikarenakan tabiat manusia yang terdiri
dari akal dan indera. Menusia memiliki indera yang menghubungkannya dengan
dunia luar dan memindahkan berbagai kesan inderawi dari alam tersebut. Manusia
juga memiliki akal yang bisa menguji dan mengkaji berbagai pikiran-pikiran
internal yang berseliweran di otaknya. Di antara manusia, ada orang yang lebih
dominan unsur inderanya dan ada pula yang lebih dominan unsur akalnya. Karena
itulah, para filsuf mempunyai dua orientasi utama:[1]
1. Orientasi empirisme
2. Orientasi rasionalisme.
Kali ini
kita akan membahas tentang rasionalisme. Apa ya rasionalisme itu?? Seminggu
berkutat dengan judul itu membuatku ngelu dan jemu. Kubaca
berulang-ulang masih juga tak paham-paham. Hal ini membuatku gelisah dan
jengah. Namun, aku pantang menyerah. Sehingga.. Jadilah... baca aja deh..
sikat...!!
Saat
menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia, mataku tertuju pada Rasionalisme :
teori yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk
memecahkan problem yang lepas dari jangkauan indera. Paham yang lebih
mengutamakan akal daripada emosi.
- Kalau anda tidak bingung dan sudah paham, saya ucapkan “SELAMAT, ANDA HEBAT” berarti otak anda sudah bekerja.
- Kalau anda bingung dan belum paham itu sama sekali bukan berarti anda BODOH, tapi berarti otak anda sedang bekerja.
- Dan kalau anda tidak bingung dan juga tidak paham berarti anda tidak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah sakit. :D (intermezzo)
Ya, jadi
rasionalisme adalah salah satu madzhab filsafat yang lebih condong pada
penggunaan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan.Kekuatan akal pada diri
manusia adalah sumber dari segala ilmu yang hakiki. Para penganut madzhab
rasionalisme menerima adanya wujud spiritual atau rasio yang merupakan
asal-usul dari segala entitas.
Akal
sebagai sumber pengetahuan
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme
tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai
perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah
ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya
sendiri melalui metode deduktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil kesimpulan dari
suatu kebenaran yang bersifat umum untuk diterapkan kepada hal – hal yang
bersifat khusus. Contoh: semua manusia akan mati. Badu adalah manusia, maka
Badu akan mati.
Dalam alam
luar, kita menemukan banyak objek melalui indera, dimana Descartes meragukan
apa yang dilihatnya (indera). Akan tetapi akal kita memiliki kesiapan untuk
menerimanya. Demikianlah, Descartes menegaskan kepada kita bahwa alam itu ada
seperti yang kita lihat. Dalam penetapan ini kita melihat Descartes menjadikan akal sebagai penentu kebenaran. Descartes melihat
bahwa dasar pengetahuan yang meyakinkan adalah ide-ide natural yang dianggapnya
sebagai insting dalam arti bahwa ia tidak berasal dari indera, tetapi dari daya
pikir yang ada pada diri kita.
Sebagai contoh : kalau
kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dll.
Apa yang kita duga, kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui
semata-mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapat di dalam rasio atau akal.
Plato
berpendapat bahwa pengetahuan pada diri manusia pada dasarnya bersifat natural.
Artinya bahwa manusia tidak memperolehnya lewat indera, karena sebelum turun ke
alam ini jiwa telah berada di dunia ide. Ketika turun ke alam, maka ia
terbelenggu dalam tubuh yang membuatnya terhalang dari pengetahuan masa
lalunya. Jika jiwa mengetahui sesuatu, hal itu hanyalah ingatan jiwa
terhadap apa yang telah pernah diketahuinya pada kehidupan yang lalu dalam
dunia ide.[2]
Teori
wujud (being)
Wujud yang
hakiki adalah idea. Maksudnya, menurut faham rasionalisme segala sesuatu yang
hakiki adalah ruhnya, bukan fisiknya. Coba kita renungkan apa itu “rumah”? Bagi
para pemuja idea, yang dimaksud “rumah” itu bukanlah fisik bangunan rumahnya,
tetapi konstruksi ide kita tentang “rumah”.
Bagaimana
dengan jiwa? Apakah jiwa itu ada? Kalau memang benar-benar ada, bagaimana kita
dapat membenarkannya?
Melalui
metode keragu-raguannya, Rene Descartes menjelaskan adanya jiwa dan Allah. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia
harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti
itu menurut dia adalah melalui keragu-raguan. Hanya ada satu
hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala
sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku
berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).
Disinilah Descartes menetapkan wujud jiwa, bukan badan. Karena Descartes
berbicara tentang jiwa yang dapat berpikir. Bukan badan yang dapat diindera.
Manusia
tidak dapat menghadirkan kesempurnaan pada dirinya karena manusia itu sendiri
bersifat kurang. Manusia tidak dapat menyadari kekurangannya sampai ia
menemukan konsep kesempurnaan. Dengan demikian, manusia menyadari ada
eksistensi lain yang lebih sempurna dan Mahasempurna yaitu Allah.
Adanya
jiwa pada diri kita menunjukkan adanya pencipta jiwa, dan tentu bukan kita
penciptanya. Karena, jika kita sendiri pencipta jiwa kita, pastilah kita akan
memberikan kesempurnaan agar menjadi jiwa yang kita inginkan. Jadi, ada
eksistensi lain yang menciptakan jiwa kita, yaitu Allah Yang Mahakuasa.
Bukti
eksistensi Allah yang diungkapkan Plato adalah:
- Keteraturan kosmik. Kedinamisan kehidupan di bumi adalah sebuah keteraturan. Dan keteraturan itu ada tidak sendirinya. Namun, dilahirkan oleh Sang Pengatur, yaitu Allah.
- Adanya gerakan. Baik gerak mikrokosmos pada diri manusia maupun gerak makro kosmos di alam semesta.
Mengenai
jiwa, Plato berpendapat bahwa jiwa bersifat abadi, karena pengetahuan kita
terhadap berbagai hakikat dalam jiwa merupakan bukti dari eksistensi jiwa di
masa lalu dalam dunia ide.[3]
Jadi, sebelum kita menyadari kekekalan jiwa, jiwa kita sudah terlebih dahulu
ada.
Monadologi
Leibniz
mengasumsikan adanya substansi-substansi sebagai unsur-unsur alam. Kalau kita
mengenal atom sebagai partikel terkecil penyusun benda (materi). Maka monad
adalah partikel terkecil penyusun jiwa. Sesuai dengan tingkat pengetahuannya,
monad terbagi menjadi empat macam:
1.
Monad dengan pengetahuan yang paling sederhana,
yaitu pada tumbuhan dan mahluk non-organik
2.
Monad hewani, mempunyai pengetahuan, hafalan, dan
ingatan
3.
Monad manusiawi, berpengetahuan tinggi sehingga dapat
berargumentasi dan memahami hakikat universal
4.
Monad di antara manusia dan Allah, yaitu monad
yang lebih tinggi dari monad manusiawi
Monad-monad
ini terpisah satu sama lain. Akantetapi, semuanya bekerja dalam satu rangkaian
harmonis dari sistem abadi oleh Allah. Karena, Allah adalah monad dari segala
monad.
KESIMPULAN
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme
tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai
perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah
ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya
sendiri melalui metode deduktif.
Ungkapan Descartes, Cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada) menegaskan bahwa Descartes mengakui eksistensi
jiwa sebagai zat yang berpikir, bukan badan yang dapat diindera. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang
metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu
metafisik.
Adanya badan menunjukkan adanya penggerak badan, yaitu
jiwa. Adanya jiwa membuktikan adanya pencipta jiwa yaitu Allah. Jadi
mempelajari filsafat, khususnya faham rasionalisme akan membawa kita ke jalan
menuju kecintaan pada Allah.
Dunia ide adalah tempat dimana jiwa belum
diturunkan ke alam. Sama halnya konsep zaman azhali dimana ruh-ruh
manusia bertempat sebelum ditiupkan ke raga manusia.
Saya semakin yakin dan mantap dengan faham rasionalisme
mengingat isi teori-teorinya yang benar-benar masuk akal dan dapat diterima.
Tokoh-tokoh
rasionalisme
1.
Plato (427-347 SM)
Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M.
dan meninggal disana pada tahun 347 S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari
keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang politik penting dalam
politik Atena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara.
Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan padanya untuk
mengikuti jalan hidup yang diingininya itu. Namanya bermula ialah Aristokles.
Nama plato diberikan oleh gurunya. Ia memperoleh nama itu berhubung dengan
bahunya yang lebar.
|
|
2.
Rene Descartes (1596 – 1650 M)
Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi
Rene Descartes (1596-1650), filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang
tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur
dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak
pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes memperoleh
pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa
dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan
formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia
dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada,
mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar. Tak ada
persoalan duit.
|
3.
Leibniz (1646 – 1716 M)
Leibniz di lahirkan di Leibzig, Jerman. Ayahnya
adalah seorang profesor Filasafat Moral, meninggal ketika Leibniz masih
kecil. Sewaktu mahasiswa ia mempelajari ilmu hukum, filsafat, dan juga matematika.
Pada usia 20 tahun dia sudah mendapat gelar Doktor. Leibniz adalah seorang
ahli filsafat dari Jerman yang tidak hanya seorang ahli filsafat saja
melainkan juga seoarang yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang universal,
sebab ia adalah seorang yang ahli hukum, ahli sastra, ahli ilmu pasti dan
ilmu alam, serta ahli teologia dan ahli sejarah.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar