Sarung Nusantara |
Di Indonesia semula sarung
diidentikkan dengan busana masyarakat pedesaan (wong ndeso). Bahkan ia menjadi
seragam wajib di pesantren. Ibarat dua sisi mata koin paara santri dan Kiai tak
bisa dipisahkan dengan eksistensi sarung. Selain menjadi busana harian, sarung
juga sering dikenakan berbagai kegiatan bernuansa keagamaan seperti shalat di
masjid, pengajian, selamatan.
Para pejabat bersarung |
Namun dewasa kini, sarung bukan lagi sekadar
busana wong ndeso. Ia sudah jamak digunakan pada acara-acara formal.
Para pejabat negara sering muncul dengan mengenakan sarung pada beberapa forum
resmi. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa sarung adalah salah satu kearifan
lokal masyarakat Indonesia yang patut untuk dilestarikan dan dicintai.
Di era globalisasi ini
sarung merupakan
salah satu ikon busana yang patut dibanggakan bangsa Indonesia. Yai Agus Sunyoto
menjelaskan bahwa sarung berasal dari Negeri Yaman. Kemudia saat sampai di Nusantara,
Bangsa Indonesia mengolah dan mengembangkan sesuai dengan cita rasa
masing-masing daerah. Sehingga kini sarung memiliki beragam motif dan warna
yang menarik dan khas. Pak Jokowi dengan sarungnya |
Baru-baru ini telah diadakan Seminar Nasional
Sarung Nusantara yang mana merupakan bagian dari acara Festival Sarung Nusantara
yang dilaksanakan di Jakarta. Acara tersebut bertujuan meneguhkan sarung
sebagai identitas budaya nusantara dengan narasumber antara lain Yai Agus
Sunyoto (Lesbumi PBNU), Pak Imam Suprayogo (UIN Maliki), dan Pak Dedi Mulyadi
(Bupati Purwakarta). Acara semacam ini bukanlah yang pertama kali digelar. Di tahun
sebelumnya telah diadakan acara serupa di Pare-pare. Bahkan Festival sarung, Iket
dan topeng yang digelar di Purwakarta telah meraih rekor Muri dengan kategori
peserta terbanyak.
Pak Imam Suprayogo menjelaskan bahwa sarung
itu merupakan simbol dari keanggunan pemakainya karena di samping dipakai
sebagai sarana ibadah dan menunjukkan keluhuran akhlak. Lebih lanjut beliau
menerangkan bahwa sarung dapat menjadi identitas kecerdasan seseorang. Kita
tidak menjumpai anak muda yang pacaran dengan memakai sarung atau di
tempat-tempat negatif lainnya. Sarung juga tidak selalu menunjukkan pemakainya
sebagai orang yang bodoh dan tradisional karena ternyata banyak
mahasiswa/santri saya yang lulus dengan predikat terbaik bahkan ada santri yang
menulis skripsi dengan 3-9 bahasa dan mereka itu pake sarung semua.
Berdasarkan sudut pandang filosofis,
Pak Dedi Mulyadi mengurai sarung dalam perspektif Budaya Sunda. Beliau
mengartikan sarung dengan mengurai kata “Sa” dan “Rung”. Sa dalam bahasa Sunda
berarti tidak terbatas, berlebihan, [rakus]. Ini adalah sifat dasar manusia
yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Manusia senantiasa
berusaha menguras keempat elemen yang ada di bumi secara berlebihan. Sedangkan ‘Rung’,
artinya dikurung. Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur
tersebut berusaha dibatasi atau dikurung.
Pak Jokowi turun dari pesawat |
Dari kedua tokoh di atas kita temukan
bahwa sarung bisa jadi sebuah alarm bagi pemakainya untuk senantiasa dekat
dengan Tuhan. Ia dapat menjadi pertimbangan untuk berbuat tercela. Saya bersarung,
tak pantas kiranya berbuat maksiat. Sehingga, sarung mengingatkan penggunanya
pada Sang Pencipta.
Menurut penulis, upaya peneguhan
sarung sebagai identitas budaya nusantara perlu didukung oleh berbagai kalangan
dan institusi, terutama perguruan tinggi. Dari pengamatan penulis, sarung belum
merambah ke wilayah kampus. Bersarung di kampus masih dianggap pengguna tidak
dapat menempatkan diri (ndeso/udik). Stigma itu tidak lain karena institusi
perguruan tinggi belum akrab dengan sarung. Perlu kiranya kebijakan yang
mendukung upaya peneguhan ini dengan membolehkan civitas akademika bersarung
dalam mengikuti kegiatan kampus baik di kelas maupun di luar kelas sesuai
dengan kebutuhan pengguna.
Kita dapati setiap kampus perguruan
tinggi mempunyai aturan tentang busana civitas akademika yang berbeda. Ada yang
mewajibkan mahasiswa muslimah untuk berjilbab, ada pula yang tidak mewajibkan. Ada
yang melarang pengenaan celana ketat ada pula yang membolehkan. Di STAIN Kudus
misalnya, aturan busana civitas akademika yaitu wajib mengenakan baju, celana
panjang yang sopan, dan bersepatu. Tidak diperkenankan mengenakan kaos oblong,
bersandal, dan melepas jilbab bagi mahasiswi.
Perkuliahan Akper Buntet Cireb |
Pada peringatan Hari Santri Nasional
beberapa waktu lalu beberapa perguruan tinggi seperti Akper Buntet Cirebon, UIN
Maliki, Malang, Unisma Malang melakukan seremoni dengan mengenakan sarung
selama perkuliahan. Hal itu merupakan terobosan yang bagus dan patut untuk
dikembangkan. Namun, hal tersebut dinilai belum cukup untuk memperteguh
eksistensi sarung dalam dunia perguruan tinggi.
Penggunaan celana di kampus dan acara-acara
formal tak lain hanyalah sebatas kode berpakaian. Mahasiswa di Arab saudi biasa
melaksanakan perkuliahan dengan bergamis ataupun bercelana. Gamis adalah busana
harian masyarakat Arab dan mereka bangga mengenakannya di berbagai kesempatan
terlebih pertemuan formal. Penggunaan gamis pun banyak diikuti oleh sebagian
orang Indonesia.
Lalu bagaimana dengan sarung? Menurut
penulis, sarung sangat layak digunakan sebagai opsi kode berpakaian mahasiswa. Baik
sarung, celana, maupun gamis mempunyai fungsi yang sama yaitu melindungi kulit
dari gangguan lingkungan pun dari kacamata Islam, mereka sama menutup aurat. Di
era globalisasi, segala hal berbau mancanegara akan mudah hadir di depan mata
kita. Sudah barang tentu kita turut menghadirkan sesuatu di mata mereka. Inilah
kita bangsa Indonesia dengan sarung khas Nusantara. Maka dari itu penulis
berpendapat bahwa kampus perguruan tinggi perlu “disarungi” agar sarung dapat
naik kelas dan sejajar dengan celana. Saatnya sarung naik kelas dan saatnya
sarung mendunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar