Nasib
PGMI, Tak Laku di SD Negeri
Oleh:
Muhammad Abdul Ghofur*
Pembukaan
pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) merupakan hal yang paling
ditunggu dari lulusan awal hingga para honorer belasan tahun. Wajar, mengingat
tahun-tahun sebelumnya pemerintah melakukan kebijakan moratorium penerimaan PNS
(Pegawai Negeri Sipil).[1]
Sehingga dipastikan penerimaan CPNS kali ini bakal ramai peminat bahkan
membludak.
Saking
menariknya kegiatan ini, beberapa bulan ke depan laman dunia maya Indonesia
akan penuh dengan berita mengenai penerimaan PNS dari proses pendaftaran,
seleksi, hingga hasil akhir. Portal peneyedia berita tak mau kehilangan momen,
mereka akan terus mengupdate perkembangan hajat pemerintah ini bersanding dengan
berita politik yang tak pernah sepi.
Kali ini adalah
pernerimaan PNS edisi kedua di era presiden Joko Widodo. Porsi kuota penerimaan
PNS masih didominasi oleh tenaga pendidik. Berdasarkan laman liputan6.com formasi
jabatan yang dibuka adalah tenaga pendidikan, kesehatan, dosen, teknis
fungsional, dan teknis lainnya.Adapun tiga besar formasi pada penerimaan PNS
kali ini adalah guru (63.324 formasi), tenaga kesehatan (31.756 formasi), dan
teknis fungsional (23.660 formasi).[2]
MASALAH
Namun demikian
dibalik gempita penerimaan CPNS ada masalah serius yang tak terlihat.
Sepertinya sederhana namun entah kenapa tak jelas bagaimana penyelesaiannya.
Instansi terkait sarat kepentingan dan idealisme. Kasus diskualifikasinya
ijazah PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah pada formasi jabatan Guru
Kelas Ahli Pratama sangat disesalkan.
Apa pasal BKPP
(Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan) setempat tidak mengakui prodi
PGMI sebagai prodi yang setara dengan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar).
Padahal keduanya merupakan prodi yang dibuka untuk mencetak para guru kelas di
jenjang pendidikan dasar.
UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 Pasal 17 berbunyi:
“Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.”
Sejauh ini
informasi yang saya dapat dari IKA PGMI (Ikatan Alumni Prodi PGMI) IAIN Kudus,
hanya ada 9 dari 35 kab/kota di Provinsi Jawa Tengah yang menerima lulusan PGMI
untuk mengisi pos jabatan Guru Kelas di SD yang berada di bawah naungannya.
Artinya, mayoritas pemda tidak mengakui PGMI sebagai prodi yang qualified
untuk mengajar di jenjang sekolah dasar.
Seharusnya
permasalahan ini tidak lagi muncul mengingat hal serupa juga pernah terjadi
pada penerimaan PNS tahun 2018. Kasus pembatalan kelulusan Nina Susilawati,
seorang pelamar CPNS formasi guru kelas SD di Dinas Pendidikan Kab. Sijunjung,
Sumbar, karena alasan ketidaklinearan ijazah PGMI dengan PGSD sempat menjadi
topik hangat.[3]
Banyak pihak turun tangan dari ombudsman, Para Dosen Prodi PGMI, kemenag pusat,
hingga BKN sendiri. Nyatanya tak membuahkan hasil, Nina tetap didiskualifikasi.
Pasca
kemunculan kasus di atas Kemenag melalui Sekjennya mengirim surat dengan nomor
P-36909/SJ/B.II/KP.00.1/2018 tertanggal 28 Desember 2018 kepada Kementerian
PANRB perihal kesetaraan PGSD dan PGMI. Tapi ibarat petasan mlempem, surat
tersebut tak ada bunyinya sama sekali.
Masih seputar
penerimaan CPNS 2018, dua teman PGMI saya memaksakan diri melamar formasi
tersebut di Kab. Kudus dan Kab. Pati. Hasilnya, mereka gugur sejak di seleksi
administrasi. Di laman akun SSCN (web pendaftaran online CPNS) tertera pesan
bahwa ijazah tidak linear dengan formasi yang diambil.
ANEH
Anehnya, di
tahun tersebut belasan orang teman Nina sesama pelamar formasi guru kelas
berhasil lulus dan diterima menjadi PNS di Kota Solok. Padahal mereka sama-sama
pendaftar dengan ijazah PGMI.
Seperti yang
saya jelaskan sebelumnya di penerimaan CPNS edisi kali ini hanya ada 9 kab/kota
yang menerima PGMI untuk mengisi formasi guru kelas. Kesembilan kab/kota itu
adalah Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan, Kota Tegal, Kab. Batang, Kab. Kendal,
Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kota Salatiga, dan Kab Pati.
Bisa kita lihat
ada perbedaan perlakuan terhadap lulusan prodi PGMI. Saya jadi bingung,
sebenarnya muaranya ada di mana? Apakah ada di Dirjen Pendis selaku pembuka
keran prodi PGMI yang tak mampu mewujudkan PGMI sebagai prodi yang setara
dengan PGSD, atau BKPP masing-masing daerah yang belum sepaham dengan
nomenklatur terkait kesetaraan keduanya.
Bila mau
menengok catatan lalu, diskualifikasi PGMI sudah terjadi. Di tahun 2014, ada
keresahan pengelola PGMI karena lulusan PGMI di nomenklatur regulasi Menpan, bahwa
lulusan PGMI tidak bisa mendaftar CPNS guru kelas SD. Merespon hal itu,
Asosiasi PGMI Indonesia melakukan audiensi dengan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Direktur Pendidikan Tinggi Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama (Dirjen Diktis Kemenag) saat itu, dan pihaknya bisa
memperjuangkan ke Menpan lulusan PGMI bisa mendaftarkan diri di CPNS
Kemenpan-RB asal ada perbaikan akreditasi.[4]
Kalau kasus
pada tahun itu kita boleh maklum mengingat PGMI masih sangat muda (tergolong
prodi baru), apakah kali ini kita juga masih harus maklum? Lima tahun lewat
tanpa ada keputusan yang tepat.
TANGGUNG JAWAB
Sudah seharusnya
para pejabat di Kementerian Agama dan Dikti duduk bersama menyelesaikan tuntas
perihal kesimpang-siuran ini. Hal ini merupkan mutlak tanggung jawab dari
penyelenggara pendidikan Indonesia. Jangan sampai dualisme pengelolaan
pendidikan di Indonesia justru menjadi mainan politik para pejabat.
Berdampingannya
SD dan MI, PGSD dan PGMI seharusnya saling melengkapi dan bahu membahu
mencerdaskan bangsa Indonesia. Bukan justru muncul dikotomi sehingga satu
terbang ke langit dan satu terkubur hidup-hidup di dalam bumi.
Kami para
civitas akademika prodi PGMI dari mahasiswa, guru, dosen, menuntut kebijakan
yang seadil-adilnya, merata, seluruh Indonesia. Ini bukan soal jadi PNS atau
tidak, melainkan soal hak warga negara, dan keseriusan pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Kami tegaskan,
kami insan pendidikan adalah warga negara yang ingin mengabdikan diri di dunia
pendidikan Indonesia. Bila memang harus dites dengan segala tes, kami siap.
Berratus tes kami siap. Beban SKS selama kuliah sudah kami penuhi, segala pelatihan
juga kami ikuti. Cukup sudah. Kami warga
negara merdeka punya hak yang sama, bukan boneka mainan uji coba kebijakan
semaunya. Dan kami adalah pendidik. Jangan jadikan kami sebagai korban regulasi
yang berantakan.
Wedung Demak,
12/11/2019
*Penulis adalah
Alumni PGMI IAIN Kudus Angkatan 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar