Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini
menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas,
pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme
adalah seorang filosof Jerman yang bernama Arthur Schopenhauer (1788-1880).
Aliran nativisme adalah aliran yang menganggap bahwa perkembangan manusia
ditentukan oleh pembawaan sejak lahir, sedang faktor lingkungan dinilai kurang
berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran
Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan
pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh
pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, menurut aliran ini, keberhasilan
belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak
memiliki potensi jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika
anak memiliki potensi baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang
tidak sesuai dengan potensi yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan
anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orang
tuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orang tua. Pada prinsipnya,
pandangan Nativisme mengakui adanya daya asli yang telah terbentuk sejak
manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat
herediter (turunan), serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda
dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik
maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu.
Misalnya, seorang anak yang berasal dari orang tua yang ahli seni rupa, akan
berkembang menjadi seniman yang mungkin melebihi kemampuan orang tuanya,
mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orang tuanya.
Arthur Schaupenhaur dengan tegas menyatakan bahwa yang jahat akan menjadi
jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandangan ini sebagai lawan dari
optimisme (keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan) yaitu pendidikan
pesimisme (keberhasilan ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar
tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak).
Faktor-Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
1. Faktor Genetik. Adalah faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong
adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orang
tua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan
sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar.
Dengan demikian, apabila kita menghendaki keturunan yang baik, kita harus
memulainya terlebih dahulu. Seperti halnya kisah Imam Syafi’i yang hafal
al-Qur’an sebelum baligh dan menjadi mujtahid di usia belia. Orang tua Imam
Syafi’i senantiasa menjaga makanan dan halal selama hidupnya, walhasil lahirlah
anak yang cerdas karena kesucian gennya.
2. Faktor Kemampuan Anak. Adalah faktor yang menjadikan seorang anak
mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena
anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dengan dikenalkan pada
ragam kegiatan yang ada, minat-minat anak akan mulai tampil. Minat ini dapat
dikembangkan secara maksimal, seperti kemampuan qira’ah, tahfizh, kaligrafi,
bela diri dan lainnya.
3. Faktor pertumbuhan Anak. Adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat
dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika
pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan
responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak
tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang
dimiliki.
Dalam kasus ini, individu dituntut untuk peka terhadap diri sendiri dan
lingkungan ia tinggal, sehingga ia mengetahui hak dan kewajiban yang harus ia
emban. Seperti sholat, mengaji, puasa, dll.
Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
Dengan teori ini setiap manusia diharapkan:
- Mampu memunculkan bakat yang dimiliki. Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Sehingga memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya maupun syiar islam.
- Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi. Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi muslim yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman.
- Mendorong manusia dalam menetukan pilihan. Adanya teori ini muslim bisa bersikap lebih bijaksana dalam bertindak, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalah yang terbaik untuk dirinya.
- Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang. Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimiliki agar memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jatidirinya.
- Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki. Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
Akhirnya, “Man arafa nafsahu faqad arafa
rabbahu” (siapa yang mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal siapa Tuhannya),
begitulah seharusnya manusia. Tuhan membekali manusia dengan potensi. Ada
potensi baik dan adapula potensi jahatnya, firman Allah: “Faalhamaha
fujuraha wataqwaha” (Maka Allah mengilhamkan kepadanya [potensi] kedurhakaan
dan [potensi] ketaqwaan). Mari kita gunakan dan kembangkan anugrah potensi
ini sebaik-baiknya.
Referensi :
AnggitAdiPrasetyo http://mazanggit.wordpress.com/2012/10/17/teori-nativisme/
Idris, Zahara. PengantarPendidikan. 1992. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana.
Maunah, Binti. Ilmu Pendidikan. 2009. Yogyakarta: Sukses Offset
Tirtarahardja, Umar, dan La Sula. Pengantar
Pendidikan.2000. Jakarta. PT Rineka Cipta.
= (Refleksi
Pertama )=
Dalam
film yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, diceritakan kisah
sarjana-sarjana pengangguran. Muluk meminta Syamsul untuk menjelaskan kepada
anak jalanan bahwa pendidikan itu penting. Muluk berpendapat bahwa pendidikan
itu penting, karena pendidikan akan membawa manusia dari kegelapan menuju alam
yang terang. Akantetapi, Syamsul menolak karena dia pesimis pada dirinya
sendiri. Ia berargumen bagaimana mungkin menerangkan kepada orang lain bahwa
pendidikan itu penting, sedangkan ia sendiri menganggap pendidikan itu tidak
ada gunanya. Perdebatan mereka berduapun terjadi. Syamsul merasa perjuangannya
dari SD hingga universitas hanya buang-buang waktu saja. Toh akhirnya
dia hidup miskin dan serba kesusahan. Sementara itu di lain pihak ada orang
bodoh (tidak mengenyam pendidikan tinggi), tetapi hidup enak dan kaya raya. Syamsul
menganggap kesuksesan tidak ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikan,
melainkan takdir (faktor keturunan). Dan dia (Syamsul) sudah ditakdirkan
miskin.
Perdebatan
ditutup Muluk dengan sergahan, “Maka dari itu, setelah mengenyam pendidikan
tinggi akhirnya kamu tahu, bahwa pendidikan itu tidak penting. Jadi, pendidikan
itu penting agar kamu tahu bahwa pendidikan itu tidak penting.”
= (Refleksi kedua )=
Diriwayatkan
bahwa dahulu sebelum Allah menciptakan Nabi Adam As, bumi dihuni oleh mahluk
yang bernama banul jan. Mahluk ini gagal mengemban misi untuk memakmurkan bumi.
Mereka senantiasa membuat kerusakan dan bencana. Sehingga Allah menumpas mereka
melalui malaikat-malaikatnya. Dalam penyerbuan itu, semua Banul jan tewas.
Hanya ada satu bayi banul jan yang selamat. Lalu, malaikat membawa bayi
tersebut ke surga, agar dididik menjadi mahluk yang lebih baik daripada
leluhurnya.
Setelah
bayi banul jann dewasa, ia menjadi sayyidul malaikat, kepala dari para
malaikat di surga. Dan ia dikenal dengan nama “Iblis”. Lalu, ketika Allah
mengenalkan Adam sebagai calon khalifah di bumi nanti - sebagai mahluk yang
paling sempurna – Iblis menjelma menjadi pembangkang yang takabbur. Sehingga
diusir dari surga dan kekal di neraka selamanya.
Dapat
kita lihat, ternyata karakter pembangkang Iblis mencuat begitu saja. hal itu
tentu bukan dari didikan malaikat yang senantiasa taat kepada Allah. Namun,
sifat tersebut adalah turunan dari nenek moyangnya (Banul jan). Dari sini
muncul anggapan bahwa pendidikan malaikat kepada Iblis selama bertahun-tahun
menjadi sia-sia. Iblis kembali kepada fitrahnya sebagai mahluk yang sombong dan
durhaka.
Dikutip
dari Durrotun Nasihin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar