Oleh: Ghofur Dzulhikam
Yadi dan Retno duduk berhadapan di ruang makan
malam itu. Yadi baru saja pulang kerja di perusahaan swasta metropolitan. Ia segera
membuka bungkusan yang ada di hadapannya. Ia gulung lengan bajunya dan
menyantap nasi padang yang sudah dingin. Sambil mengunyah pelan Yadi mengajak
ngobrol istrinya yang sedari tadi duduk tertunduk, “Dik, kamu nggak makan?”. “Nggak,
mas. Nggak lapar, kok”, jawab Retno. “ah yang bener. Kamu kelihatan lesu gitu
kok”, balas Yadi. Melihat Retno hanya diam membisu Yadi pun ikut terdiam. Ia takut
kalau pertanyaannya diteruskan nanti malah menyinggung perasaan istrinya.
Selesai makan, baru saja Yadi mau berdiri untuk
ke belakang, Retno sudah membawakan panci kobokan untuk suaminya. “Ini, mas”,
katanya lembut. Yadi tersenyum tanda suka dengan perlakuan istrinya. “Lha,
lapnya mana, dik?”, tanya Yadi pada Retno. “Oh, iya. Lupa”, jawab Retno seraya
berlari ke belakang. Kali ini perlakuan Retno lebih istimewa, ia meraih tangan
suaminya dan membersihkan tangan suaminya. Yadi pun tak kuat menahan
keheranannya dan berujar, “Tumben dik, kamu sweet banget”. “Ah, mas. Dari
dulu kan emang sweet”, jawab Retno sambil mencubit tangan Yadi. Kemudian
Retno membawa semua peralatan di meja makan ke dapur. Yadi turut berdiri dan
membantu istrinya sambil bergumam, “ada apa, ya?”.
Mereka kembali duduk berhadapan di meja. Retno juga
kembali seperti awal perjumpaan tadi, terduduk dan diam menunduk. Yadi mencoba
mencairkan suasana dengan mengajak Retno ngobrol, “Dik, kamu sudah…”. “Mas
nggak mandi dulu?”, Retno memotong perkataan suaminya yang belum selesai. “Em..
iya.”, Yadi terbengong dan terpaksa mengiyakan perkataan istrinya.
Retno pindah ke ruang tamu, menonton tv sembari
menunggu suaminya. “Ceklek”, suara saklar yang ditekan membuat lampu padam. “Maassss”,
teriak Retno. Seperti biasa, Yadi menggoda istrinya yang nampak serius menonton
film. “Serius amat nontonnya”, kata Yadi. “Biasa aja deh”, jawab Retno kecut. Mereka
menonton bersama film india itu, “Rabne Bana di Jodhi”. Malam itu mereka tak
benar-benar fokus menonton film tersebut. Mereka saling mencuri pandang satu
sama lain. Saat Retno merasa suaminya fokus di film ia memandang wajah
suaminya, begitu juga dengan Yadi.
Akhirnya, Retno memberanikan diri mengatakan
hal yang ia pendam beberapa hari ini. “Mas..”, paanggil Retno. “Hmm”, jawab Yadi
yang masih menghadap ke tv. “Mas, hadap sini dong, aku serius”, rengek Retno. “Iya,
dik. Ada apa”, Yadi menghadap Retno yang tengah menitihkan air mata mungil di
pipinya. Yadi kaget bukan main, masa iya istrinya menangis karena filmi ini,
film yang telah berkali-kali mereka tonton bersama. “Kamu kenapa, dik?”, tanya Yadi.
“Aku minta maaf, mas”, Retno memegang tangan Yadi erat-erat. “Aku minta maaf. Aku
belum bisa menjadi istri yang baik”, lanjutnya. “Belum baik gimana, kamu itu
istri terbaik di dunia”. Jawab Yadi. Retno membalas, “Tapi aku merasa belum,
mas”. “Kenapa?”, tanya Yadi. “Aku nggak bisa masak, hehe”, Retno menjawab
sambil meringis. “Hahaha.. Iya emang”, Yadi ikut tertawa mendengar jawaban dan
ekspresi lucu istrinya.
“Aku serius, mas. Aku merasa bersalah karena
belum bisa masak. Aku hanya dapat menyediakan nasi bungkus setiap hari untukmu”,
Retno menunduk lagi dan sedikit tersedu. “Ah, istri nggak wajib memasak kok. Katanya,
kalau suami gak bisa benerin genteng bocor, ia bisa manggil tukang. Sama aja
dengan istri, kalau nggak bisa masak, ia bisa cari pembantu atau beli di warung”.
Jawab Yadi menenangkan. “Tapi ini beda, mas. Aku sendiri yang mengharuskan
diriku memasak untuk suamiku. Itu sebagai bukti cinta untuk seseorang yang
menjagaku dan mengasihiku”, Retno menjelaskan. Mereka berdua memang suka adu
argumen dalam banyak hal. Meskipun hal sederhana.
Kali ini giliran Yadi yang meraih pundak dan
mencubit hidung istrinya, “Cie.. kamu sweet banget.. begini, dik. bukan
hanya kamu. mas juga minta maaf. mas belum bisa memasak untukmu”. “Tapi mas, memasak
kan kewajiban istri, bukan suami”, sergah Retno. “Iya. Tapi, kalau istrinya
nggak bisa, suaminya harus mengajari, kan. Nah, mas nggak bisa ngajari kamu
masak. Mas juga minta maaf”. “Jadi gimana?”, tanya Retno. “Ya belajar dong. Hahaha.
Gitu aja kok repot”, jawab Yadi sambil terbahak. “Iya, deh, mulai besok aku
akan belajar masak”, Retno tersenyum manyun. “Nah gitu dong. Istri yang baik ya
kamu ini. Istri yang mau belajar”, puji Yadi. “Dan suami yang baik ya kaya mas.
Suami yang nggak pernah marah-marah”, Retno balas dendam mencubit hidung suaminya
dan berlari ke kamar. “Hei, sejak kapan mas marah-marah. Awas kamu ya”, Yadi
pun mengejar istrinya. Dan akhirnya, mereka berdua masak air di kamar, meh
ngopi.
~Jumat Barokah
Demak, 22/02/16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar