Oleh: Ghofur Dzulhikam
Pacaran, suatu kata yang mainstream (biasa)
di telinga kita. Dulu, pacaran adalah hal yang tabu. hanya kalangan dewasa yang
boleh membicarakannya, karena itu memang konsumsi dan kebutuhan mereka guna
memasuki jenjang pernikahan. Tahun silih berganti, lemahnya pendidikan remaja
dan pengawasan orang tua, plus tayangan media, secara nyata memprovokasi remaja
untuk melakukan kegiatan yang bernama “pacaran”.
Melihat realitas “pacaran” memasuki
sekolah menengah hingga sekolah dasar, tentu membuat hati kita prihatin.
Bahkan, ihwal ini juga telah memasuki “pondok pesantren”. Sebuah lembaga
pendidikan yang berusaha mendidik dan membina generasi muda islam, nyatanya
juga kecolongan.
Tidak sedikit para santri yang melakukan
pacaran dengan diam-diam. Bahkan ada yang berani terang-terangan. Menulis di
media sosial juga mengunggah foto berdua. Mereka terbuai hingga melupakan tata
tertib. Mereka pun sudah siap menyanggah aturan itu. diantaranya:
1. Kami pacaran cuma untuk penyemangat
belajar.
2. Itu tidak akan mengganggu belajar
kami.
3. Kami yakin prestasi dan semangat
belajar kami tidak akan menurun.
4. Dan lain-lain
Berbagai upaya upaya untuk
menghindarkan santri dari pacaran baik upaya lunak maupun keras sudah dilakukan.
Upaya lunak biasanya berupa ancaman akan bahaya pacaran. Santri dihimbau agar
jangan mengumbar nafsu. Itu adalah tipu daya setan untuk menjerumuskan kalian
pada lubang perzinahan. Naudzubillah.
Adapun upaya keras membuat lembaga
lebih bersikap protektif (melindungi) bahkan eksklusif (tertutup). Seperti, ada
yang model pesantren homogen (sejenis), putra semua atau putri semua. Hal itu
dilakukan semata agar para santri jauh dari hiruk-pikuk fikiran tentang seorang
bukan mahrom. HP bisa menjadi barang
haram di pesantren karena dianggap sebagai biang keladi kemerosotan prestasi
bahkan moral santri. Memang, HP juga punya banyak manfaat untuk menunjang
kreatifitas santri. Namun sayang, hal ini kerap diselewengkan. Selain itu,
lembaga juga menerapkan takzir (hukuman) berat bagi pelaku pacaran. Mulai dari
potong rambut, disiram air got, membaca alqur’an satu khataman sambil berdiri,
dan sebagainya. Dari berbagai macam aturan di atas, toh faktanya kasus pacaran
di kalangan santri masih bermunculan. Miris.
Saya tidak akan membahasa bagaimana
atau apa yang mereka lakukan ketika pacaran. Namun, sya akan membahas peran
pengurus menaggapi kasus tersebut. Secara personal saya mengapresiasi tujuan
dari lembaga pesantern. Menurut saya upaya-upaya yang dilakukan tidak salah.
Saya hanya memandang pesantren kini mengalami ketakutan luar biasa.
Diketemukannya kasus santri pacaran tentu membuat muka pesantren tercoreng,
sehingga membuat pesantren bersikap“galak” agar peraturannya dipatuhi para
santri. Tak pelak, muncul stigma pesantren itu “ketat”, “kejam, “tidak nyaman”,
dan “menakutkan”.
Ketika stigma ini muncul, tentu muncul
anggapan bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang menyenangkan. Di sana
hanya akan ada ancaman dan hukuman. Padahal, hal tersebut tidaklah benar.
Komunikasi adalah hal yang sangat
penting. Menurut saya daya komunikasi pesantren (yang punya kasus pacaran)
masih lemah. Komunikasi yang terjalin masih bersifat formal dan kaku, belum
menyangkut ke hal-hal yang masuk ke ranah pribadi santri.
Pesantren telah dipilih wali murid
untuk mewakili tanggung jawab wali santri. Otomatis, pengelola melalui pengurus
pesantren juga harus menggantikan peran orang tua santri. Diantaranya adalah
“mendengarkan”. Mendengarkan cerita atau curahan hati anak memang terlihat
sederhana. Tak sedikit orang yang meremehkannya. Namun begitu, bagi saya ini
adalah hal yang penting. Memang, para santri sudah menceritakan “curahannya”
pada teman sebayanya. Kemudian santri yang lain mendengarkan, menanggapi, dan
memberi saran sesuai dengan tingkat berfikir dan daya emosinya. Akantetapi,
peran orang tua tidak sepadan dengan teman santri tadi. Orang tua tentu
memiliki pandangan yang lebih luas dan lebih baik. Sebagai orang tua yang baik,
ia tidak hanya mendengarkan, lalu memberi saran sesuai kesenangan anaknya,
tetapi juga nasehat untuk kebaikannya.
Andai teknik ini digunakan oleh para
pengurus, saya yakin kasus pacaran santri pesantren bisa ditanggulangi. Untuk
para pengurus, ajaklah para santri bercerita tentang hal-hal yang terjadi di
kesehariannya. Dengarkan, lalu arahkan. Semacam konseling. Dengan begitu,
santri punya wadah untuk menyampaikan perasaan yang sedang ia rasa.
Saya menduga, ketika seorang remaja
sedang terbuai asmara, ia lalu menceritakannya pada teman sebayanya. Dengan
berbekal pengetahuan dan emosi seusianya, temannya tersebut mendukung agar ia
berpacaran. Merasa dapat dukungan, ya sudah. Akhirnya si santri terjun
melenggang bebas.
So, pengurus pesantren, jaga baik-baik
adik-adik santri. Jangan hanya memarahinya, tapi dengarkan dan sayangi mereka.
Dan juga, yang tak kalah penting adalah berilah contoh yang baik untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar