Nama : M.
Abdul Ghofur
NIM : 1310320005
ETIKA DAN ESTETIKA BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN
Bahasa sebagai alat komunikasi
Manusia tidak dapat
hidup seorang diri. Dalam memenuhi kebutuhannya setiap orang memerlukan kerja
sama dengan orang lain. Kebutuhan manusia sangat banyak dan beraneka ragam.
Mereka perlu berkomunikasi dalam berbagai lingkungan di tempat mereka berada:
antaranggota keluarga – komunikasi keluarga, antaranggota masyarakat –
komunikasi sosial, antarlembaga dalam lingkungan kerja – komunikasi kerja,
antarpengusaha dalam lingkngan bisnis – komunikasi bisnis, antarilmuwan –
komunikasi ilmiah, dan sebagainya. (Widjono Hs. 2005)
Bahasa merupakan wahana
komunikasi bagi manusia, baik komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Fungsi
ini adalah fungsi dasar bahasa yang belum dikaitkan dengan status dan
nilai-nilai sosial.
Pada saat seseorang
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, ia sudah memiliki tujuan tertentu. (1) Agar orang lain memahami maksud pembicara. (2) Menyampaikan gagasan dan pemikiran agar dapat diterima oleh orang lain. (3) Membuat orang lain yakin terhadap pandangan pembicara. Lebih jauh lagi, (4) Pembicara ingin orang lain menanggapi hasil pemikiran si pembicara.
Karena beberapa
tujuan di atas, sebisa mungkin seseorang berusaha menyampaikan gagasannya
dengan gaya bahasa yang dapat diterima pendengar. Oleh karena itu, etika dalam
berbahasa sangat diperlukan demi kelancaran diterimanya maksud atau tujuan
kita.
Etika dalam
berbahasa
Suatu komunitas
atau kumpulan masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma
tersendiri. Etika dalam berbahasa adalah salah satu dari beberapa hal yang menyangkut
tentang nilai kesusilaan, atau mudahnya kita menyebutnya dengan kesopanan dan
kesantunan.
Seseorang bisa
disanjung karena pandainya beretika dalam berbahasa. Sebaliknya, seseorang
dapat ditegur, bahkan dicela karena kurang pandainya ia berbahasa. Orang bijak,
ia dapat memposisikan diri dengan siapa ia berhadapan. Sehingga gaya bahasa
yang ia gunakan ketika berbicara dengan teman sejawat tentu berbeda dibanding
berbicara dengan ayah, ibu maupun orang yang dituakan.
Pada umumnya dalam
semua bahasa terdapat dua ragam, yakni ragam halus (H) dan ragam kasar (K).
Ragam halus mempunyai tingkat prestise yang lebih tinggi dibanding ragam kasar.
Ia dianggap sebagai bahasa sastra dan mempunyai nilai yang lebih. Sehingga
ragam haluslah yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Etika berbahasa
harus dijunjung tinggi oleh setiap penutur agar harkat dan martabat orang
tersebut dapat dihargai, lebih umum menyangkut citra komunitas penutur bahasa
tertentu. Apabila mayoritas anggota komunitas tertentu lebih sering menggunakan
ragam bahasa yang kasar, maka akan muncul persepsi bahwa komunitas tersebut
adalah komunitas yang kasar dan terkesan kurang ramah. Sehingga komunitas
tersebut mendapat citra negatif di kalangan komunitas-komunitas yang lainnya.
Dalam pendidikan
formal maupun non formal etika dalam berbahasa maupun berperilaku adalah hal
yang urgen. Tolak ukur keberhasilan pendidikan tidak terbatas pada nilai
akademik siswa semata. Namun, etika seorang siswa kepada guru juga menjadi
bahan pertimbangan. Seyogyanya, seorang siswa wajib menggunakan ragam bahasa
yang halus kepada bapak/ibu gurunya. Hal ini adalah wujud penghormatan seorang siswa
kepada orang yang telah mengabdi dan mengajarkan ilmu yang dimiliki sehingga
siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Di samping itu,
guru harus membimbing siswa untuk membiasakan diri berbicara menggunakan ragam
bahasa sesuai dengan ketentuannya. Kontrol seperti teguran saat siswa melanggar
etika berbahasa dipandang perlu demi terciptanya insan mulia yang berbudi bawa
laksana. Tidak terbatas di lingkungan sekolah, etika berbahasa juga harus
dibiasakan di lingkungan yang lain, seperti di rumah, di kantor, maupun di
tempat umum lainnya.
Berdasarkan media
yang digunakan ragam bahasa dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa
tulis (Widjono Hs. 2013). Pemerintah juga turut bertanggungjawab untuk
mengawasi peredaran buku-buku pendidikan. Jangan sampai terdapat keteledoran
sehingga muncul buku-buku pelajaran yang memuat tulisan-tulisan yang tidak
patut bagi pendidikan. Dengan pengetahuan etika berbahasa ini diharapkan setiap
penutur bisa lebih bijak dalam menggunakan ragam bahasa.
Estetika dalam
berbahasa
Etika membicarakan tentang
kebaikan dan kebenaran, sedangkan estetika membicarakan tentang seni atau
keindahan. Keindahan adalah suatu hal yang relatif dan subjektif. Saat
seseorang mengatakan ini indah, belum tentu orang lain sependapat. Begitu juga
saat seseorang mengatakan ini buruk, bisa jadi orang lain memiliki pandangan
yang berbeda. Jadi nilai keindahan tidaklah mutlak disandarkan pada pendapat satu
personal. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas. Orang lain juga berhak
menilai baik dan buruknya suatu hal berdasarkan tendensi pribadinya.
Bahasa yang indah
adalah bahasa yang enak didengar menurut penangkapan cita rasa pendengarnya. Diksi atau pilihan kata yang tepat adalah
dasar dari estetika berbahasa. Bahasa yang indah bisa menjadi kekuatan bagi
seseorang untuk mempengaruhi orang lain demi tersampainya maksud si pembicara.
Keterampilan ini dimiliki oleh salah satu tokoh bangsa kita seperti Ir.
Soekarno yang pandai dalam beretorika. Tidak dipungkiri lagi kemahirannya
diakui banyak tokoh dunia. Dengan keahliannya tersebut, Indonesia mendapat
banyak dukungan dari negara-negara lain untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia
pasca perang dunia II.
Estetika berbahasa
dalam pendidikan sangat penting sebagaimana etika berbahasa. Guru dapat
menggunakannya sebagai sarana untuk memudahkan pembelajaran. Misalkan di
sekolah terdapat kasus adanya siswa yang malas belajar dan sering melanggar
peraturan. Dengan menguasai keterampilan ini seorang guru dapat memotivasi
siswa agar mau merubah perilaku buruknya. Guru dapat memberi semangat,
pencerahan, dan sugesti, yang bermuara pada harapan agar siswa berubah menjadi
lebih baik.
Dalam kasus seperti
guru di atas pengendalian emosi juga dibutuhkan. Sebagai contoh, ketika seorang
siswa tidak mengerjakan PR. Guru yang baik tidak hanya memberi sanksi dan memarahai
siswa tersebut. Namun, akan lebih baik jika setelahnya guru juga memberi
dorongan dengan perkataan seperti, “Lain kali PR-nya dikerjakan ya! Kalau
menemui kesulitan bisa tanya teman atau Pak guru. Pak guru siap membantu. Bapak
yakin, kamu bisa”. Dengan bahasa yang halus, dorongan demikian akan membuat
siswa merasa bahwa pak guru masih peduli dan berharap padanya meskipun telah
mneghukumya. Sehingga dapat diprediksi siswa tersebut akan lebih bersemangat
dalam pembelajaran ke depannya.
Kesimpulannya,
etika berbahasa adalah hal yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap
penuturnya. Sehingga norma-norma kesusilaan dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Estetika berbahasa adalah satu keterampilan berbahasa yang dapat
membantu pembicara untuk memudahkan maksud dan tujuannya. Dalam kaitannya
dengan pendidikan, seorang guru harus membimbing siswa agar mengetahui dan
membiasakan etika berbahasa yang baik. Siswa juga harus menggunakan bahasa yang
santun sesuai dengan ketentuannya. Dengan keterampilan estetika berbahasa guru
dapat menggunakannya untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas
pembelajaran. Sehingga tercapailah harapan untuk melahirkan insan yang
sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar