FILSAFAT
MORAL:
ETIKA
BERBAHASA MENURUT
UNGGAH-UNGGUH
BAHASA JAWA
Makalah ini
disusun guna memenuhi
tugas akhir
semester
Mata Kuliah :
Filsafat
Dosen Pengampu : Nur Said, MA., M.Ag.
Oleh :
Muhammad Abdul
Ghofur
PROGRAM
STUDI
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa adalah entitas suatu budaya.
Dalam bahasa itu terkandung muatan budaya penuturnya, termasuk nilai moral dan
etika. Selain menjadi alat komunikasi antar warga, bahasa jawa juga sebagai
wahana mengekspresikan diri kepada khalayak, baik berupa tembang, geguritan,
maupun unen-unen.
Sebagai salah satu produk
peradaban yang unggul, bahasa Jawa mempunyai posisi tersendiri dalam tatanan
hidup masyarakat jawa. Ia sekaligus menjadi sarana mengekspresikan budaya. Ia
juga merupakan cerminan budaya pemakainya. Pepatah ’Ajining dhiri dumunung
ana ing lathi’ menunjukkan bahwa bahasa merupakan cerminan jati diri
pembicara. Tinggi-rendahnya peradaban seseorang tercermin dalam apa yang keluar
dari mulutnya. Halus kasarnya bahasa seseorang mewujudkan kesantunan
pribadinya. Bagi manusia Jawa tingkat tutur bahasa yang dipilih orang jawa
mencerminkan kesantunannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan filsafat moral?
2.
Apa pengertian nilai
3.
Apa perbedaan etika dan moral?
4.
Bagaimanakah signifikansi filsafat moral?
5.
Bagaimana mendidik anak berbahasa sesuai dengan unggah-ungguh Jawa?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian filsafat moral
2.
Mengetahui pengertian nilai
3.
Mengetahuiperbedaan etika dan moral
4.
Mengetahui signifikansi filsafat moral
5.
Mengetahui cara mendidik anak berbahasa sesuai dengan unggah-ungguh
Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Moral
Dalam perbincangan filsafat moral, secara garis besar ada dua macam
teori etik: teleologis dan deontologis. Etika teleologis menentukan
baik-buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akibat yang menjadi tujuannya.
Baik etika hedonisme Epikuros yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan
kehidupan manusia, etika eudemonisme Aristoteles yang mengejar
kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia, maupun ulitarisme John
Stuart Mill dan Jeremy Bentham dengan prinsip kegunaan atau mencapai target
kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin, semua aliran
etika tersebut termasuk dalam lingkaran etika teleologis: ada sebuah tujuan
yang ingin dicapai.[1]
Alfarabi banyak menulis tentang manusia dan hakikatnya. Dalam
bukunya Al Madinatul Fadhilahmembahas tentang manusiayang menurutnya,
saat manusia ada, yang pertama membuat dapat makan adalah kekuatan makan.
Setelah itu muncullah kekuatan-kekuatan untuk mengindera.[2]
Indera-indera tersebut antara lain indera pengecap, pengelihat,
pendengar, pembau, dan peraba. Alfarabi menyebutkan juga tentang adanya daya
khayal dari dalam manusia. Dengan kekuatan indera yang dimilikinya, manusia
dapat menyusun segala yang ada di sekitarnya, pun memisahkannya. Dari itu,
dengan dayanya juga manusia dapat memisahkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang
buruk.
Moral bersumber dari dua hal yaitu sumber internal (dari dalam
diri) dan sumber eksernal (dari luar diri). Sumber-sumber internal antara lain
adalah hati yang dapat memaksa manusia untuk berbuat baik maupun buruk. Dalam
kapasitasnya, hati adalah asal dari kekuatan rasional dan emosional. Ia
memiliki fungsi sebagai berikut:[3]
·
Menilai benar salahnya suatu perilaku, sehingga perilaku itu
dikatakan baik atau buruk
·
Memberikan balasan yang sesuai terhadap suatu perbuatan dalam
bentuk kepuasan/kegembiraan terhadap perbuatan baik, atau kecaman dan cemoohan
pada perbuatan buruk
·
Mengarahkan perilaku kita ke depan, sehingga kita dapat memperoleh
kesenangan hati dan menghindari kebenciannya.
Sumber eksternal moral adalah masyarakat dengan segala adat,
tradisi, hukum, kekuasaan politik, dan agama di dalamnya. Kaum sosiolog melihat
bahwa hukum-hukum moral (etika) telah diciptakan oleh masyarakat dengan melihat
pengalaman-pengalaman historis yang dialami. Kemudian masyarakat menggambarkan
jalan kebaikan bagi anggota-anggotanya serta memperlihatkan jalan keburukan
yang hendaknya mereka hindari.
Norma-norma moral (etika) yang diciptakan masyarakat dibuat untuk
memberikan keuntungan bagi individu maupun masyarakat itu sendiri. Sedangkan
agama dianggap sebagai kekuatan eksternal yang bersumber dari Allah Swt. Dengan
rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah menurunkan syari’at (hukum) bagi manusia
dengan jalan taqwa, yaitu mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
B.
Nilai
Nilai (value) adalah standar yang digunakan untuk mengukur
sesuatu. Nilai memuat akan kebenaran, kebaikan, dankeindahan. Dari itu, nilai
sendiri dibagi menjadi tiga jenis:[4]
a.
Nilai Logis
Nilai
logis (dari kata logos: Yunani) atau logika adalah nilai yang membahas
tentang kebenaran. Ia membantu kita untuk memisahkan antara yang benar dan yang
salah, antara yang haq dan yang batil. Contoh: 1 + 1 = 2 . maka nilainya adalah
benar. Sedangkan 1 + 1 = 3, maka nilainya adalah salah.
b.
Nilai Etika
Nilai
etika adalah nilai yang membahasa tentang kebaikan, kepatutan, atau kepantasan.
Nilai etika membantu kita untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ia mengarahkan kepada kita apa yang seharusnya dilakukan dalam berperilaku.
Sebagai contoh: memakan menggunakan tangan kanan adalah hal yang baik,
sedangkan memakan dengan tangan kiri adalah hal yang buruk.
c.
Nilai Estetika
Nilai
estetika membahas tentang keindahan. Keindahan berkaitan erat kepada
observatornya. Namun para filsuf seperti al-Ghazali dan plato memandang bahwa
nilai estetis suatu entitas haruslah muncul karena keindahan obyektif, bukan
keindahan subyektif. Contoh: sebagian besar warga menyebut bahwa bunga mawar
itu cantik atau indah, maka bunga mawar adalah indah. Sebaliknya, apabila hanya
satu atau dua warga yang menyebut bunga mawar itu indah, maka ungkapan bunga
mawar itu indah tidak dapat diterima karena tidak obyektif.
C.
Perbedaan Etika dan Moral
Dalam konteks filsafat, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos,
ethos yang berarti adat, kebiasaan atau praktik.[5]
sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika didefinisikan sebagai ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.[6] Di
situ, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban
moral (akhlaq)
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq,
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Sidi Gazalba menyimpulkanbahwa etika merupakan teori tentang
perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat
ditentukan oleh akal. Dengan kata lain, etika merupakan ilmu/ refleksi
sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.[7]
Moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah,
patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis,
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang
baik. Sumber langsung ajaran moral bagi kita adalah berbagai orang dalam
kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat
dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh
karangan Sri Sunan Pakubuwono IV. Sumber dasar ajaran-ajaran itu adalah tradisi
dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologi-ideologi tertentu.[8]
D.
Signifikansi Moral
Menurut Frans Magnis-Suseno, signifikansi etika berguna untuk
membantu mahasiswa menyatukan pengalama baru yang mereka dapati secara
intelektual ke dalam kepribadiannya dari segi nilai normatif yang dibawanya. Sedangkan
pengalaman baru yang dimaksud adalah semacam keterlibatan mahasiswa pada bidang
keahlian khusus di universitasyang mengalami kontak dengan berbagai pandangan
ideologi, politik, sosial, norma, dan sebagainya.
Fungsi etika bukan untuk membangun sikap-sikap moral baru,
melainkan terbatas pada segi integrasi intelektual: membantu mahasiswa agar ia
sebagai makhluk yang berpikir secara rasional, dapat mempertanggungjawabkan
sikap-sikapnya terhadap pengalaman baru itu. Dengan kata lain, etika membantu
mahasiswa bukan dalam hal menemukan dan menentukan sikap praktisnya sendiri,
melainkan dalam memberi penilaian-penilaian terhadap segi-segi normatif dalam
pengalamannya itu. Etika membantu mahasiswa untuk memberi penilaian-penilaian
yang tepat, yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.[9]
Frans Magnis-Suseno mengungkapkan bahwasannya tujuan materi etika
di perguruan tinggi adalah membuat mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap
segala lembaga normatif. Manusia berada dalam jaringan norma dari dalam diri
dan norma dari luar. Mahasiswa hendaknya tidak tunduk terhadap apa saja yang
disuguhkan kepadanya.
Lembaga-lembaga normatif dapat dibedakan menjadi tiga macam:[10]
1.
Diri kita sendiri
Manusia
dituntut untuk sanggup untuk dapat bersikap kritis pada norma-norma superegonya
sendiri dan dapat memberi penilaian rasional terhadap dorongan-dorongan dalam
hatinya. Melalui analisis fenomenologis kesadaran moral, etika membantu
mahasiswa untuk menyadarkan hak dan kewajibannya. Dengan demikian mahasiswa
dibantu untuk mencapai kedewasaan.
2.
Lembaga masyarakat
Lembaga
normatif masyarakat di sini meliputi keluarga, sekolah, agama, dan lain-lain.
Mahasiswa dapat mengecap intelektualitas guna membebaskan diri dari sikap yes-men
yang hanya membebek kepada orang lain.
3.
Ideologi
Ideologi
merupakan teori atau pandangan yang memberi makna pada kehidupan. Masyarakat
modern cenderung berebut ideologi secara kontinyu, baik terbuka maupun gerilya.
Banyak ditemukan oknum-oknum yang memperkuat kedudukan dengan
membungkam kritik masyarakat, memakai nilai-nilai untuk kepentingan mereka
sendiri. Nilai-nilai sejati seperti Pancasila, kekeluargaan, dan “kepribadian
nasional” dapat disalahgunajkan untuk melarangsikap-sikap tertentu dalam
masyarakat yang dianggap sebagai pengancam kedudukan seorang penguasa. Etika
dapat membuat mahasiswa menjadi kritis: ia menyadari sifat ideologis
anggapan-anggapan itu dan dengan demikian tidak lagi dapat diperdaya olehnya.
Sekaligus ia mengembalikan nilai-nilai itu dalam kjesejahteraan mereka.[11]
E.
Mendidik Anak Berbahasa dengan Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Bahasa
Jawa
Salah satu ciri
obyektif bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang
cukup canggih dan rapi. Yang dimaksud dengan tingkat tutur atau undha usuk (speech
level) adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa
hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis
tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap
kosa bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat
rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar),
atau tingkat Ngoko (N), Madyo (M) dan Krama (K).
Sebetulnya bila
diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran:[12]
(1)
Ngoko,
(2) Madya,
(3) Ngoko, dan
(4)
Basa
kasar.
(1)
Tingkat tutur Ngoko
Tingkat tutur
Ngoko mencerminkan rasa akrab (solider) antara pembicara dan mitra bicara.
Artinya, pembicara tidak memiliki rasa segan, hormat atau rasa pakewoh terhadap
mitra bicara. Orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap mitra bicara, atau
sesamanya, tingkat Ngoko inilah yang tepat untuk dipakai. Teman yang saling
akrab biasanya saling berbicara ngoko. Maka akan menjadi aneh bila antar teman
yang sudah kenal dan akrab berbicara dalam tingkat madya atau krama. Bila antar
teman yang akrab berbicara dalam tingkat tutur krama maka hubungannya menjadi
tidak akrab dan suasana bicara yang biasanya berubah menjadi resmi.
Bila demikian
maka rasa keakraban menjadi hilang. Orang yang berstatus lebih tinggi,
misalnya, guru terhadap murid, orang tua terhadap anak, pantas menggunakan
tingkat ngoko. Akan menjadi aneh dan lucu bila seorang guru memakai bahasa
krama kepada muridnya. Bila seorang guru berbicara kepada muridnya atau seorang
atasan berbicara dalam bahasa krama kepada bawahanya merupakan pertanda marah atau
sindiran.
Antara orang
yang memiliki hubungan akrab tetapi saling menghormati dapat memakai tingkat
ngoko halus (antya basa dan basa antya). Kalangan pegawai di
kantor, antara guru di sekolah menggunakan tingkat tutur ngoko alus atau basa
antya dan antya basa.
(2) Tingkat tutur Madya
Tingkat tutur
madya adalah tingkat tutur menengah antara ngoko dan krama. Tingkat tutur ini
menceminkan rasa sopan, tingkat tutur ini semula adalah tingkat tutur krama
tetapi sudah mengalami penurunan atau perkembangan yang lebih rendah statusnya,
yang sebut kolokialisasi (menjadi bahasa sehari-hari yang tidak formal, atau
perubahan dari formal menjadi tidak formal (Soepomo, 1979: 15). Tingkat madya
ini, oleh karena itu, bagi kebanyakan orang disebut setengah sopan. Orang yang
disapa dengan tingkat tutur ini biasanya orang yang tidak begitu disegani atau
tidak sangat dihormati.
Orang desa yang
dihormati biasanya disapa dengan tingkat tutur madya. Kepala kantor terhadap
rekannya yang tidak memiliki pangkat yang sama, orang yang sudah dewasa, orang
lanjut usia juga menggunakan tingkat tutur ini.
(3) Tingkat Krama
Tingkat tutur
krama ialah tingkat tutur yang mencerminkan sikap penuh sopan santun. Tingkat
tutur ini menandakan adanya tingkat segan, sangat menghormati, bahkan takut.
Seorang pembicara (O1) yang menganggap bahwa mitra bicaranya (O2) orang yang
berpangkat, berwibawa, belum dikenal, akan menggunakan tingkat tutur ini. Murid
terhadap guru, seorang bawahan kepada atasan.
Seorang bawahan
yang berbicara dengan atasan, atau seorang murid kepada gurunya memakai bahasa
ngoko dikatakan tidak sopan atau njangkar atau nukak krama.Seorang
ibu bila berbicara dengan anaknya sering menyelibkan kata-kata krama bila
berbicara dengan anaknya. Seorang guru SD atau TK juga sering menyelipkan
kata-kata krama bila berbicara dengan muridnya. Ini semua dilakukan bukan untuk
menunjukkan rasa hormat, tetapi untuk mendidik atau membiasakan berbicara dalam
bahasa krama kepada anak atau murid-murid.
Basa krama
bukan hanya ditandai oleh bentuk sintaktis dan morfologis, tetapi juga suara
dan bentuk tubuh. Seseorang yang berbahasa krama berbicara dengan suara lembut,
pelan dengan badan yang sedikit membungkuk.
(4) Basa kasar
Basa Jawa kasar
adalah basa yang derajatnya paling rendah. Bahasa tingkat ini adalah bahasa
sehari-hari yang dipergunakan oleh orang yang tidak berpendidikan yang tidak
punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang marah, atau orang yang
meremehkan orang lain. Perampok atau penjahat lainnya ujaran yang dipakai
Bahasa Jawa kasar, penuh dengan kosa kata seharian (kolokial) yang kasar, kosa
kata tabu dan kasar. Nada bicara pemakai basa Jawa tidak lembut tetapi kasar
dengan suara tinggi, dan dibarengi ada hentakan (bentakan). Posisi tubuh
pembicara tidak ada rasa simpatik, sombong.
Orang yang
sedang marah lupa akan unggah-ungguh yang harus ditaati dalam berinteraksi
dengan orang lain dan dalam situasi yang terjadi. Ia tidak perduli dengan
status orang yang diajak bicara.
Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Unggah-ungguh atau etika berbahasa sangat penting dalam tatanan
moral masyarakat jawa. Adanya tingkatan bahasa
menunjukkan orang Jawa sangat menjunjung tinggi akhlak terhadap sesama.
Sekarang ini
pelajaran Bahasa Jawa yang ada di Sekolah-sekolah hanya sebagai pengetahuan
saja. Dalam pengaplikasianya, anak-anak lebih sering menggunakan Bahasa Jawa
ngoko atau bahasa Indonesia biasa. Mungkin karena nilai praktisnya; lebih mudah
dalam pengucapannya.
Hal ini dapat
dipengaruhi oleh kebiasaan dan model pengajaran yang ada di rumah dan
lingkungan sekitar juga.
Orang tua yang tidak membiasakan anak-anaknya untuk menggunakan bahasa Krama
Inggil, mereka lebih suka dengan menggunakan Bahasa Jawa Ngoko atau Bahasa
Indonesia. Hal ini terlihat sepele, tetapi dapat melumpuhan eksistensi krama
inggilsebagai Bahasa khas tanah Jawa yang akan berpengaruh terhadap tingkah
laku anak-anak kita.
Dapat dianalisis, perubahan yang terjadi di atas juga berasal
dari sumber norma itu sendiri, yakni
masyarakat. Di sini, peran keluarga sangat besar terhadap pergeseran
unggah-ungguh anak. Sebagai masyarakat terkecil, lingkungan keluarga hendaknya
mendidik dan memupuk keaktifan etika berbahasa anak sejak dini. Dalam syair kitab
Ngudi Susilo karangan Kiai Bishri Musthofa disebutkan, “bocah iku wiwit umur
pitung tahun kudu ajar toto keben ora getun”(Anak usia tujuh tahun harus
belajar etika agar tidak kecewa).
Senada dengan syair tersebut Dr. Muhammad Fahd Ats-Tsuwaini
mengungkapkan bahwa pada saat anak berusia 7-10 tahun, anak mengalami peralihan
dari fase bergantung penuh menuju fase kebebasan memilih keputusan. Ini adalah
tahap belajar langsung karena hak memilih dan mengambil keputusan diikuti
dengan pengetahuan tentang sebab dan akibatnya sehingga anak paham mengapa dia
memilih ini dan meninggalkan itu. Pada tahap ini peran orang tua adalah
mendampingi dengan memberi penjelasan dan memberi anak kesempatan memilih,
mengambil keputusan dan mencoba.[13]
Yustina Eka Tjandra memaparkan 13 perkataan buruk orang tua yang
mudah ditiru anak, yaitu:
(1)
Bohong kecil
(2)
Banyak mengancam
(3)
Bicara tidak tepat sasaran
(4)
Menekankan hal-hal yang salah
(5)
Merendahlan diri sendiri
(6)
Marah yang berlebihan
(7)
Pendengar yang buruk
(8)
Gengsi untuk menyapa
(9)
Istilah yang tidak jelas maksudnya
(10)
Suka membandingkan
(11)
Memberi julukan yang buruk
(12)
Menyindir
(13)
Mengejek
Meniru sudah terjadi sejak anak mulai menyadari berbagai rangsang
di sekitarnya. Peniruan merupakan salah satu cara anak belajar tentang diri dan
lingkungannya. Paling sederhana, peniruan terjadi ketika anak belajar berbahasa
atau bicara. Tanpa peniruan, ia tidak akan mampu mengembangkan kemampuannya
sesuai dengan tuntutan lingkungan.[14]
Permasalahannya adalah hal yang ditiru anak tidak selalu bernilai
positif. Ia juga kerap meniru hal-hal yang buruk. Tutur kata yang halus;
berbahaas krama orang tua membuat ia meniru berkata halus. Sebaliknya, tutur
kata kasar orang tua akan berimbas pada kebiasaan berbahasa anak.
Oleh sebab itu kemampuan berbahasa anak harus diperhatikan dan
senantiasa dibimbing orang tua. Di samping menumbuhkan kesantunan karakter
anak, kita juga melestarikan salah satu budaya luhur Jawa yaitu bahasa Jawa,
khususnya bahasa krama.
Filsafat Moral dan Bahasa Jawa
Filsafat moral mengkaji baik dan buruknya tindakan serta buahnya
yakni kesenangan ataupun kebencian dalam diri manusia. Melalui bahasa manusia
menyalurkan ekspresinya kepada komunitasnya. Bahasa yang baik akan menghasilkan
kesenangan, sedang bahasa yang kjasar akan menghasilkan kebencian.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang menjunjung keluhuran budi pekerti.
Adanya tingkatan bahasa dari krama hingga ngoko dibuat untuk mengatur kehidupan
masyarakat Jawa sendiri. Bagaimana kita harus bertutur kata kepada yang orang
yang lebih tua, orang yang lebih muda, dan kepada sesama.
Unggah-ungguh berbahasa sejalan dengan nafas filsafat moral:
merenda kebijaksanaan hidup. ‘Moral philosophy or ethics asks how people
should belive or what we should believe; or how we should live’.[15]
Ungkapan di atas mendeskrepsikan ada sesuatu yang lebih istimewa dalam filsafat
moral. Filsafat moral mempertanyakan bagaimana seharusnya kita bertindak dan
menjalani kehidupan.
Kemampuan menggunakan bahasa Jawa dengan baik tentunya akan
berimplikasi pada tingkah laku dalam bermasyarakat. Ada rasa saling
menghormati, mendahulukan kepentingan yang lain, dan tentunya akan lebih
harmonis. Karena tak ada lagi benturan kepentingan karena lebih menonjolkan
diri sendiri dibandingkan orang lain.
Dengan berbahasa yang baik dan etis tentu akan menumbuhkan
kebijaksanaan dan ketenangan dalam dada serta mendamaikan hati orang-orang di
sekitarnya. Walhasil, perilaku negatif seperti marah, mengejek, sakit hati,
dapat dihindari. Sekali lagi, pepatah ’Ajining
dhiri dumunung ana ing lathi’ menunjukkan bahwa bahasa merupakan cerminan
jati diri pembicara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam perbincangan filsafat moral, secara garis besar ada dua macam
teori etik: teleologis dan deontologis. Etika teleologis menentukan baik-buruknya
suatu tindakan dari baik-buruknya akibat yang menjadi tujuannya. Nilai (value)
adalah standar yang digunakan untuk mengukur sesuatu. Nilai sendiri dibagi
menjadi tiga jenis: nilai logis, nilai etika, nilai estetika
Signifikansi etika berguna untuk membantu mahasiswa menyatukan
pengalama baru yang mereka dapati secara intelektual ke dalam kepribadiannya
dari segi nilai normatif yang dibawanya.
Bahasa Jawa
ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang cukup canggih
dan rapi. bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran: Ngoko, Madya, Ngoko, dan Basa kasar.Unggah-ungguh atau etika berbahasa sangat penting dalam tatanan
moral masyarakat jawa. Adanya tingkatan bahasa
menunjukkan orang Jawa sangat menjunjung tinggi akhlak terhadap sesama.
Perubahan yang terjadi di atas juga berasal dari sumber norma itu sendiri, yakni masyarakat.
Peran keluarga sangat besar terhadap pergeseran unggah-ungguh anak. Sebagai
masyarakat terkecil, lingkungan keluarga hendaknya mendidik dan memupuk
keaktifan etika berbahasa anak sejak dini.
Filsafat moral mengkaji baik dan buruknya tindakan serta buahnya
yakni kesenangan ataupun kebencian dalam diri manusia. Melalui bahasa manusia
menyalurkan ekspresinya kepada komunitasnya. Bahasa yang baik akan menghasilkan
kesenangan, sedang bahasa yang kjasar akan menghasilkan kebencian.
B.
Saran
Mendidik anak berkarakter bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
Akan sia-sia segala pengajaran bapak/ibu guru dan sumbangsih pemerintah apabila
tak dibarengi dengan keikutsertaan orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar
untuk membina anak kita.
Diibaratkan tanaman, bilamana tanaman itu memiliki akar yang kuat
tentu tanaman itu siap menghadapi angin yang kencang, sehingga ia tidak mudah
tumbang. Sama halnya dengan anak kita. Apabila sedini mungkin orang tua
mengajarkan tata krama dan langsung memberi contoh secara kontinyu, maka tidak
mustahil anak kita akan menjadi anak yang berakhlak karimah dan dapat menjadi
pemimpin bangsa.
Mari kita didik anak-anak kita menjadi anak yang salih, yang dapat
bertutur kata halus dan menyenangkan, teristimewa, anak-anak kita mampu
bertutur dengan bahaa krama sesuai dengan unggah-ungguh khas Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat
Islam. 1985. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ats-Tsuwaini, Muhammad Fahd. Mendidik
Anak Tanpa Kekerasan. Surakarta: Abyan Solo
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, 2002. Jakarta: Gramedia
Mustofa, Bisri. Ngudi Susilo. 1954. Kudus: Menara
Franz Magnis-Suseno.Etika Dasar.
1987. Yogyakarta: Kanisius
__________________ Berfilsafat
dari konteks.1999. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat.1992. Jakarta: Bulan
Bintang
Isma’il,Fu’ad Farid & Abdul
Hamid Mutawalli.Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam). 2012.
Yogyakarta: IRCiSoD
Ngadiman,
Agustinus. Dalam makalah: Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan
Sekarang).
2011
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi ke-2. 1997. Jakarta: Balai Pustaka
Tjandra, Yustina Eka. Anakku
Peniru Paling Luar Biasa. 2012. Nganjuk: Sinar Ilmu
Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik.
2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[1] Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik.
2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 167
[2]Dr Ahmad Fuad Al Ahwani. Filsafat Islam. 1985. Jakarta: Pustaka
Firdaus. Hlm.123
[3]Dr. Fu’ad Farid Isma’il & Dr. Abdul Hamid Mutawalli. Cara Mudah
Belajar Filsafat (Barat dan Islam). Hal. 325
[4]Ibid. Hal. 241
[5]Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.
157-158.
[6] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 271
[7]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
hlm. 49-50.
[8]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987),
hlm. 14
[9]Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari konteks, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 11-12.
[10][10]Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik.
2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 175.
[11]Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari konteks, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 12-14.
[12]Ngadiman, Agustinus.
Dalam makalah: Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud
Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan Sekarang).
[13]Ats-Tsuwaini, Muhammad Fahd. Mendidik Anak Tanpa Kekerasan.
Surakarta: Abyan Solo. Hal. 63
[14]Yustina Eka Tjandra. Anakku Peniru Paling Luar Biasa. 2012. Nganjuk:
Sinar Ilmu. Hlm. 45
[15]Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik.
2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar