TASAWUF DAN PERANANNYA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pembelajaran Aqidah Akhlak MI
Dosen : H. Saiful Mujab, M.Pd.I
Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Taufiqurrohman (1310320018)
PROGRAM
STUDI
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Munculnya
berbagai sanggar pengajian tasawuf di kota-kota besar dan publikasi
besar-besaran buku-buku bertema tasawuf akhir-akhir ini, menandakan bahwa
ajaran tasawuf kembali diminati oleh masyarakat Islam. Dalam beberapa tahun
terakhir, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan sosial juga terlihat
lebih jelas. Media massa sering melaporkan dan menurunkan tulisan, bahwa
buku-buku tasawuf termasuk di antara buku-buku terlaris di pasaran perbukuan.
Kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan di berbagai kota telah menarik minat
yang cukup tinggi.
Munculnya
kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi tasawuf pada
satu sisi cukup membanggakan sebagai sebuah pengakuan terhadap kembalinya nilai
spiritualitas Islam, tapi di sisi yang lain cukup mengkhawatirkan karena
ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh
agama tertentu (spiritualitas tanpa agama), atau jika ditopang oleh ajaran
agama tertentu, coraknya masih anti-sosial.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan tasawuf?
2.
Apa ajaran pokok tasawuf?
3.
Bagaimana peran tasawuf dalam kehidupan
sehari-hari?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
1.
Mengetahui pengertian tasawuf
2.
Mengetahui ajaran pokok tasawuf
3.
Mengetahui peran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tasawuf
Secara etimologis, tasawuf memiliki banyak arti, antara lain:[1]
1.
Ahl
al-suffah ( أهل الصفة ) orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi
dari Mekah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin
dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur diatas
bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana
disebut suffah (Saddle-Cushion) dan kata sofa dalam bahasa
Eropa berasal dari kata suffah ( صفة ).
2.
Saf ( صف ) pertama. Sebagaimana orang sembahyang di saf pertama
mendapat kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan
diberi pahala.
3.
Sufi
( صوفى ) dan صافى dan صفى yaitu suci. Seorang sufi orang yang disucikan dan kaum sufi
adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan
lama.
4.
Sophos
kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya
dengan hikmat, hanya huruf s dalam sophos ditranliterasikan ke
dalam Bahasa Arab menjadi س dan bukan ص, sebagai kelihatan dalam kata فلسفة dan kata philosophia. Seharusnya
sufi ditulis سوفى dan bukan .صوفى
5.
Suf ( صوف ), kain yang terbuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wool yang
dipakai kaum sufi, wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol
kasar di waktu itu simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya memakai sutra,
oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi
sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati
suci dan mulia, menjauhi pamakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol
kasar.
Sedangkan pengertian tasawuf secara terminoligis menurut beberapa
para ahli di antaranya:
1.
Sebagaimana
yang dikutip oleh Solihin dkk. yaitu:[2]
a.
Al-Jurairi:
Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari
budi pekerti yang rendah.
b.
Al-junaidi:
Tasawuf adalah (kesadaran) bahwa yang hak (Allah) yang menghidupkanmu dan yang
menghidupkanmu.
c.
Abu
Hamzah: Tasawuf merupakan memilih hidup fakir setelah (sebelumnya hidup) kaya,
memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan, memilih
menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal.
d.
‘Amir
bin Usman al-Maqi: Tasawuf adalah melakukan sesuatu yang terbaik di setiap
saat.
e.
Muhammad
Ali al-Qassab: Tasawuf merupakan akhlak mulia yang timbul di waktu mulia dari
seorang yang mulia di tengahtengah kaumnya yang mulia pula.
f.
Syamnun:
Tasawuf adalah memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
g.
Ma’ruf
al-Kurkhi: Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa
yang ada di tangan makhluk.
2.
Pendapat
dari Syaikhul Islam Zakariya Al-anshari, sebagaimana yang dikutip oleh
Mosthofa, Tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara mensuci
bersihkan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk
mencapai kebahagiaan yang abadi.[3]
Jika tasawuf dilihat dari sudut pandang yang digunakan manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang, pengertian tasawuf adalah upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika sudut pandang yang digunakan manusia
sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah
(ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan
yang dapat menghubungkan manusia dengan tuhan.[4]
Dari pendapat
di atas maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah sikap atau perilaku manusia yang terpuji, mengandung kebaikan dan
menuju ridla Allah SWT. sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan ayat 63.
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang
itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan
apabila orang yang bodoh menyapa mereka, maka mereka mengatakan kata-kata yang
mengandung keselamatan”
B.
Pokok Ajaran
Tasawuf
1. Maqomat
Ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar penyucian jiwa dan jalan
pendekatan diri menuju Tuhan. Proses dan jalan itu sendiri cukup panjang dan
melalui tahapan-tahapan yang disebut “maqomat”. Maqomat adalah bentuk jamak
dari maqam yang berarti posisi, kedudukan, tingkatan. Dalam tasawuf sebagai
diungkapkan Harusn Nasution, maqomat lazim dipahami sebaagai tempat
pemberhentian atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Abu
Nasr al-Tusi dari Iran mengatakan bahwa maqamat merupakan kedudukan seorang
hhamba di hadapan Allah SWT yang berhasil diperolehnya melalui ibadah,
perjuangan melawan hawa nafsu (jihat an-nafs), berbagai latihan
spiritual (riadlah), dan penghadapan dengan segenap jiwa raga (intiqa’) kepada
Allah SWT. Ada beberapa maqamat yang
harus dilalui oleh seorang sufi. Menurut Abu Bakar al – Kalabadzi (990 M),
tokoh sufi asal Bukhara, Asia Tengah, ada tujuh maqam yang harus dilalui
seorang sufi menuju Tuhan yaitu, tobat, zuhud, sabar, tawakal, ridla, mahabbah,
(cinta) dan ma’rifat.[5]
a. Tobat
Kata tobat berasal dari bahasa Arab Taubat yang berarti kembali.
Dalam istilah tasawuf tobat berarti kembali dari perbuatan tercela menuju
perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama. Tobat merupakan penyesalan
manusia dihadapan Tuhannya, dan ia tidak akan mengulangi kelalaiannya lagi.
Menurut Mohammad Amin al-kurdi (1913), tokoh Tarikat Naksyabandiyyah dari etnis
Kurdi, tobat merupakan awal dari maqamat. Kedudukannnya laksana fondasi dari
sebuah bangunan. Tanpa fondasi bangunan tidka akan berdiri tegak. Tanpa tobat
seseorang tidak akan dapat mensucikan jiwanya dan tidak akan dekat dengan
Tuhannya.
Ada tiga tingkatan tobat dalam tarikat. Peringkat pertama atau
terendah yaitu bertobat dari berbagai dosa besar, seperti menyekutukanTuhan,
durhaka dengan orang tua, berzina, membunuh orang yang tak bersalah, meminum
khomer. Peringkat kedua, tobat dari dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, sikap
menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat dengan Tuhan.
Adapun tingkatan ketiga yaitu, tingkatan yang paling tinggi yakni, tobat dari kelengahan
hati mengingat allah SWT. Kendati hanya sekejab.
Di dalam al-Qur’an tidak kurang dari 71 ayat yang menyebutkan
tentang kalimat tobat, sepeti QS: At-Tahrim: 8: “Hai Orang-orang yang
beriman bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan akan
memasukkan ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.”
b. Zuhud
Dalam istilah sufi zuhud diartikan sebagai kebencian hati terhadap
hal ikhwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah SWT,
padahal ada kesempatan untuk memperolehnya. Hal ikhwal keduniaan itu tidak lain
sebagaimana diisyaratkan dalam Al – Qur’an surat Ali Imran ayat: 14 yaitu
berupa kesenangan material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberi
kepuasan terhadap manusia.
“Dijadikan
indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa –apa yang diingini, yaitu
anak-anak, wanita-wanita, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesengan hidup
didunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).
Segala bentuk kesenangan dunia mengacu kepada kepuasan semu dan
terbatas. Meski demikian, menurut Abu Hasan as Sazili, (1256 M) pendiri tatikat
As- Saziliah, keperluan manusia terhadap hal ikhwal keduniaan tidak dapat
dikesampingkan. Menurutnya, yang dikatkan orang zuhud ialah orang yang
menggunakan hal ikhwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat
hidup itu sendiri terdiri dari beberapa kompunen. Ada yang berbentuk kebutuhan
individual, keluarga, masyarkat, bahkan dalam hal bernegara. Orang yang zuhud
ialah orang yang menggunakan hal ikhwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum
dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan.[6]
c. Sabar
Al Qur’an mengatakan sabar dengan segala derivasinya sebanyak 103
kali. Salah satunya dinyatkan bahwa sabar nerupakan sifat Rasul, terutama para
rasul yang dijuluki “Ulul Azmi” (yang memiliki keteguhan hati). Allah
mengajarkan kepada kita agar sabar dalam menghadapi para musuh
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (diperbtasan Negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung.” (QS:3:200)
Syeh Abd Qodir Jailani membagi sabar menjadi tiga tingkatan.
Pertama sabar untuk Allah (sabr li-Allah), yaitu keteguhan hati dalam
melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya. Kedua sabar bersama
Allah (sabr ma’a Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima keputusan dan
tindakan Allah SWT. Ketiga, sabar atas Allah (sabr „ala Allah), yaitu keteguhan
hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan Allah, berupa
rizki, kelapangan hidup dan lain sebagainya.[7]
d. Tawakkal
Kata tawakkal menurut bahasa berarti mempercayakan atau mmewakilkan.
Dalam tasawuf tawakkal berarti mempercayakan atau menyerahkan segala masalah
kepada Allah dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai maslah yang
dihadapi.
Abu Turob an Naqsabi, katanya sufi suka mengembara ketika ditanya
tentang tawakkal, tawakkal berarti menunndukkan badan seperti rukuk dan sujud
dalam shalat, mengikatkan hati dalam rububiyyah Allah SWT sebagai sang penguasa
dan sang Pengatur, merasa tenteram dengan apa yang ada, jika diberi bersyukur,
dan jika rezekinya ditahan ia sabar.[8]
Sementara al-Ghazali melihat tawakal itu ada tiga tingkatan.
Pertama, menyerahkan diri kepada Allah seperti menyerahkan kekuasaan dalam
suatu urusan kepada wakilnya, ssetelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan
kesungguhan wakilnya dalam menangani urusan. Kedua, menyerahkan diri kepada
Allah seperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya.
Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah SWT laksana mayat di tangan orang yang
memandikannya.[9]
e. Rida
Rida merupakan puncak perkembangan sikap tawakal. Rida dalam
tasawuf berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah SWT baik
yang menyusahkan atau yang menyenangkan. Rida kepada Allah muncul dari
keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadadp seseorang lebih baik dari pada
keputusan orang itu sendiri bagi dirinya. Kalau seseorang telah merasa rida
kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT pun rida kepadanya. Allah berfirman: Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebearan mereka.
Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir suangai-sungai, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mmereka pun trida
terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (QS:5:119)
f. Mahabah dan Ma’rifat
Kata mahabah memiliki beberapa arti di antaranya dari kata habb (bentuk
jamak dari habbah) yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta.
Rabia’ah al Adawiyyah (801 M) adalah sufi yang masyhur dalam
memperkenalkan konsep cinta sufi. Menurutnya, mahabah atau cinta merupakan
dasar dan prinsip dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Bagi Rabi’ah,
mahabah muncul terlebih dahulu sebelum ma’rifat. Sebab seorang hamba belum
dapat mencapai ma’rifat yakni mengenal Tuhan melalui mata hatinya, sebelum
terlebih dahulu mencintai-Nya.[10]
Sementara Ma’rifat menurut kaum sufi ada tiga tingkatan. Pertama,
pengetahuan awwam, yang merupakan pengetahuan lapisan terbesar umat manusia.
Mereka mengenal Tuhan secara taklid, yang hanya terbatas pada pengucapan
kalimah syahadat. Kedua, Pengetahuan orang-orang berilmu, yang mengenal Tuhan
dengan lantaran logika dan dalil-dalil pembuktian. Ketiga, pengetahuan „arif,
yang mengenal Tuhan melalui hati nuraninya.
Abdul Karim al-Qusyairi (998 M-1086 M), tokoh tasawuf Suni,
menyebutkan, ada tiga media dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk
mengenal Tuhan, yakni qalb, ruh, dan sirr (rahasia, bagian yang paling dalam
dari hati). Kalbu adalah untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk
mencintai Tuhan, dan sirr untuk mengenal Tuhan. Sirr inilah yang dpat menerima
iluminasi (pancaran cahaya) Illahi, ketika ia telah disucikan dari berbagai
kotoran. [11]
2. Tarikat
a. Konsep Tarikat
Tarikat merupakan ajaran tasawuf yang cukup penting setelah adanya
maqomat. Yang dimaksud dengan istilah tarikat dalam tasawuf yaitu jalan menuju
Allah SWT guna mendapatkan rida-Nya. Dengan menaati ajaran-Nya.
Istilah tarikat dalam tasawuf sering dihubungkan dengan syari’ah
dan hakikat. Ketiga istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan peringkat
penghayatan keagamaan muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal disebut
syariat, peringkat kedua disebut tarikat, dan ketiga disebut hakikat.
Yang dimaksud syari’at adalah jalan utama yang mengandung peraturan
keagamaan yang bersifat umum dan formal. Adapun tarikat merupakan jalan yang
lebih sempit yang terdapat dalam jalam umum syari’at dan lebih khusus yang
ditujukan kepada orang-orang yang ingin mencapai penghayatan keagamaan yang
lebih tinggi. Pengamalan syari’at merupakan jenis penghayatan keagamaan
eksoteris, sedangkan tarrikat merupakan jenis penghayatan esoteris.adapun
hakikat secara harfiah merupakan berarti “kebenaran”, tetapi yang dimaksud
debgan hakikat di sini ialah pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, yang
dimulai dengan pengamalan syari’at dan tarikat secara seimbang.
b. Komponen Tarikat
Di dalam organisasi tarikat dikenal adanya komponen utama yang
mewarnai organisasi itu. Yaitu terdiri dari guru, murid, amalan, zawiyyah, dan
adab[12].
1.
Guru
tarikat disebut syeh, murad, atau pir. Seorang syeh atau mursyid harus
menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap.
Pemikiran, perkataan dan perilakuknya harus mencerminkan akhlak yang terpuji.
2.
Murid
disyaratkan harus berjanji setia pada dirinya di hadapan mursyid, bahwa ia akan
mengamalkan segala bentuk amalan dan wirid yang telah diajarkan mursyid
kepadanya dengan sungguh-sungguh.
3.
Wirid,
salah satu amalan utama yang menjadi inti wirid ialah zikir. Semua kelompok
tarikat mengajarkan zikir ini. Al-Qur’an menerangkan: “(Yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
4.
Zawiat, yakni majelis tempat para salih mengamalkan suluk, zikir,
dan berbagai wirid tarikat yang lain. Zawiat menurut pengertian bahasanya ialah
sudut atau pojok. Mulanya para sufi para pengembara membutuhkan suatu tempat
peristirahatan disalah satu pojok masjid distiap rute perjalanan yang merke
lewati.
5.
Adab
atau etika hubungan salik dengan syekh dalam sebuah tarikat.
C.
Peran Tasawuf dalam
Kehidupan Sehari-hari
Memperhatikan berbagai permasalahan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat
modern sekarang, khususnya di Indonesia seperti yang telah digambarkan di atas,
maka ada beberapa nilai tasawuf yang penulis tawarkan sebagai alternatif solusi
spiritual terhadap problem kemanu-siaan maupun kenegaraan. Tentunya dengan mengutip
sebahagian pendapat para ahli tasawuf:[13]
1.
Zuhud,
cocok diaplikasikan dalam menghadapi persaingan dan keserakahan untuk
memperebukan jabatan, pangkat dan kedudukan demi mengejar materi
sebanyak-banyaknya. Zuhud dapat dijadikan solusi dalam menghadapi
persoalan persaingan ekonomi. Persaingan yang tidak sehat, yang mengabaikan
aturan syariat Islam terjadi karena hausnya manusia terhadap harta. Namun
dengan menanamkan zuhud dalam diri, jiwa serakah akan terminimalisir.
2.
Dermawan (sakha’)
dan murah hati (jùd), esensi keduanya sama, yaitu kerelaan mengorbankan
sesuatu tanpa diiringi rasa kehilangan atau kesusahan. 48 Kemurahhatian
(kemauan berinfak) di zaman modern, cocok untuk ditanamkan kepada jiwa-jiwa
yang sudah diliputi oleh keserakahan dan persaingan di bidang material yang
berakibat terjadinya jurang yang dalam antara simiskin dan sikaya. Dalam ajaran
sufi, kedermawanan dan kemurahan hati, dilawankan dengan kikir (bukhl). Bila
sikikir telah karam dalam kepemilikan harta benda, maka iapun rela berkorban
demi materi.
3.
Cinta (al-Hubb),
berimplikasi pada cinta kepada sesama manusia, dan hal ini bisa mengokohkan
persatuan dan perdamaian antara sesama manusia akibat pertentangan, permusuhan
dan peperangan yang senantiasa muncul di masyarakat modern. Cinta akan
melahirkan sifat lemah lembut terhadap sesama manusia dan gerakan mereka adalah
gerakan Tuhan dan semuanya dibawa pengawasan-Nya.50 Ketika manusia mulai
mencintai Allah, cinta Allah akan bertambah hingga memberi kemampuan pada
manusia untuk meneladani Nabi Muhammad saw, menyucikan dan menumbuhkan jiwa untuk
selalu mengingat Allah akhirnya menjadi manusia yang sempurna
4.
Wahdah al-adyan,
yang berarti kesatuan agama kendatipun konsep tersebut dicetuskan pertama kali
oleh al-Hallaj, namun yang dimaksud dalam hal ini kesatuan pandangan secara
sosial bahwa semua manusia menyembah Tuhan. Kesamaan-kesamaan inilah perlu
dirujuk dan dipertautkan menuju titik yang satu yaitu Tuhan; sehingga
pertentangan, pertikaian, permusuhan bahkan pembunuhan antarmanusia yang
berlatar belakang sentimen agama bisa terhindarkan.
5.
Mengingat mati,
sangat efektif untuk menekan kasus korupsi. Oleh karena itu bagi koruptor, baik
skala kecil maupun besar, yang mengingat akan kematian maka ia akan sadar, dan
kemudian akan menghentikan perbuatan hinanya tersebut.
6.
Tafakkur
(berfikir) merupakan ciri khas manusia, sebab apabila manusia
hilang akalnya tidak ubahnya sebagai binatang. Dalam Kitab Mau’izatul
Mu’minin (Ringkasan Kitab Ihya ‘Ulumuddin karangan Al-Ghazali) bahwa
ada empat hal yang harus difikirkan, yaitu: a. Ketaatan b. Kemaksiatan c.
Sifat-sifat yang merusakkan d. Sifat-sifat yang menyelamatkan. Apabila setiap
orang pandai memikirkan dan membandingkan keempat hal tersebut, kemasiatan dan
kejahatan yang terjadi di kalangan masyarakat dapat berkurang.
7.
Taubah.
akan dilakukan oleh orang yang merasa dirinya bersalah atas perbuatannya. Taubah
dapat menyelamatkan seseorang dari kehinaan di hadapan Allah dan manusia.
Orang yang bertaubah dengan taubah yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha)
akan mengambil hikmah dari kesalahan yang telah dilakukannya di masa yang lalu.
8.
Sabr.
Sabar merupakan modal utama dalam menghadapi hawa nafsu. Banyaknya tantangan
yang mengakibatkan timbulnya angkara murka menjadikan hawa nafsu lebih dominan
dibandingkan akal sehat. Akibat mengikuti hawa nafsu pertengkaran, perkelahian,
atau bahkan pembunuhan bisa terjadi. Dengan Sabr nafsu dapat terkendali
dan yang dominan adalah pikiran yang jernih.
9.
Tawakkal dapat
menyebabkan manusia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan
atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Menurut Hamka, tidaklah keluar
dari garis tawakkal, jika kita berusaha menghindarkan diri dari
kemelaratan, baik yang menyinggung diri, atau harta benda, serta anak
turunan.53 Dengan demikian, menghindari sesuatu yang akan menyusahkan diri
sendiri tidaklah berdosa.
Demikianlah tasawuf yang dipraktekkan dengan benar dan tepat akan
menjadi metode yang efektif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi
apapun zamannya atau bagaiman pun gejolak dimuka bumi ini, semua kenyataan
hidup akan dihadapi secara proporsional dengan pikiran yang jernih, suasana
hati yang dingin dan penuh ketenangan (tuma’ninah).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Tasawuf adalah sikap atau perilaku manusia yang terpuji, mengandung kebaikan dan
menuju ridla Allah SWT. sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan ayat 63.
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang
itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan
apabila orang yang bodoh menyapa mereka, maka mereka mengatakan kata-kata yang
mengandung keselamatan”.
2.
Pokok ajaran tasawuf meliputi maqamat, yakni: tobat, zuhud, sabar, tawakkal, rida, mahabah dan ma’rifat dan
tarikat yang terdiri dari guru, murid, amalan, zawiyyah, dan adab.
3.
Peran Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari antara lain dapat berperan sebagai penumbuh sikap Zuhud,
Dermawan (sakha’) dan murah hati (jùd), Cinta (al-Hubb), Wahdah
al-adyan, Tafakkur Taubah, Sabr, Tawakkal.
4.
Tasawuf
yang dipraktekkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif untuk
menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi apapun zamannya atau bagaiman pun
gejolak dimuka bumi ini, semua kenyataan hidup akan dihadapi secara
proporsional dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin dan penuh
ketenangan (tuma’ninah).
DAFTAR ISI
Abudin
Nata. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
al-Ghazali.
1995. Abu hamid Muhammad, Akhlak
Seorang Muslim, terj. H. Muhamad Rifa’I .Semarang: Wicaksana,
Budi Munawar
Rahmad, dan Asep Usman Ismail. Cinta Tuhan di tempat Matahari Terbit:
tarikat Kadiriah – Nahsabandiah di Surabaya, dalam JURNAL ILMU DAN KEBUDYAAN ULUMUL QUR’AN,
Vol. 8, 1991
Harun
Nasution. 1995.Filsafat dan MistisismeDalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Mahdi
Malawat. Peranan Tasawuf Dalam Mengatasi Dilema Kemanusiaan dalam JURNAL
FIKRATUNA, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni 2013
Murtada
Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan”dalam JURNAL AL-HIKMAH No.13
Zulkaidah/Juni 1994, 33
Nurcholish
Madjid.1994. Selayang pandang tentang Tarikat di Indonesia, dan Masa
depannya, Makalah Klub Kajian Agama . Jakarta: Yayasan Paramadina
Solihin, dkk. 2008.
Ilmu Tasawuf . Bandung: Pustaka Setia
[1]
Harun Nasution, Filsafat dan MistisismeDalam Islam. (Bulan Bintang:
Jakarta.1995), h. 57-58.
[2] Solihin, dkk. Ilmu
Tasawuf (Pustaka Setia: Bandung, 2008), h. 13-15.
[3]
Musthofa, Akhlak tasawuf (Pustaka Setia:Bandung), h. 207.
[4]
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 1996), h. 180.
[5] Murtada
Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” al-Hikmah No.13
Zulkaidah/Juni 1994, 33
[6] Murtada Mutahhari,
Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 35
[7] 8 Budi Munawar
Rahmad, dan Asep Usman Ismail, Cinta Tuhan di tempat Matahari Terbit:
tarikat Kadiriah – Nahsabandiah di Surabaya, jurnal Ilmu dan Kebudyaan
Ulumul Qur’an, Vol. 8, 1991 41
[8] Ibid, hal 42
[9] al-Ghazali, Abu
hamid Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, terj. H. Muhamad Rifa’I (Semarang:
Wicaksana,1995, 20)
[10] Murtada
Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 36 12 Murtada
Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 37
[11] Murtada
Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 37
[12] Nurcholish
Madjid, Selayang pandang tentang Tarikat di Indonesia, dan Masa depannya,
Makalah Klub Kajian Agama ( Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994)2
[13]
Mahdi Malawat. Peranan Tasawuf Dalam Mengatasi Dilema Kemanusiaan dalam JURNAL
FIKRATUNA, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni 2013: 49-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar