Aku sama sekali tidak pernah bermimpi menjadi seorang penari. Gerakanku payah dan tak cukup luwes. Aku jogging aja jelek apalagi menari. Meskipun aku rajin ikut Pramuka dan lumayan cakap soal baris-berbaris nyatanya aku tak cukup bagus dalam mengatur gerak tubuh untuk menari.
Tempo hari ada undangan kawinan dari teman dengan suguhan
hiburan dangdutan. Di saat yang lain ‘keluar kandang’ maju ke depan dengan goyangan
lincah, aku cukup puas dengan hanya duduk di pojokan sambil manggut-manggut. Kalau
lagi asyik kaki ikut menghentak.
Sekedar berjoget kecil saja aku canggung, apalagi sampai
meliuk-liuk menggoyangkan pinggul. Kaku banget brooo.. Sepertinya bakatku
memang tidur. Di situ aku bisa sangat tenang dan menghayati sedalam-dalamnya.
Wkwk.
Namun, kali itu aku bersama kawan-kawan PGMI mau tidak mau
harus menari. Kaprodi menyelenggarakan pentas bertajuk Gebyar Kreasi Seni untuk
pertama kalinya di kampus. Kegiatan tersebut adalah sebuah penilaian kompetensi
tari mahasiswa yang dipentaskan sehingga disaksikan banyak orang.
Wow!! Menari dan dilihat banyak orang. Tentu hal ini cukup
memberi tekanan yang berarti pada diri kami. Antara tertantang dan terpaksa
kami tak sanggup mengelaknya karena kegiatan ini juga termasuk syarat untuk
daftar skripsi. Kami pun menjalaninya dengan lapang dada dan keyakinan baja, aku
pasti bisa menari meski dengan gerakan patah-patah bak orang stroke.
BTW, kami punya kesempatan satu bulan untuk berlatih menari.
Beberapa pertemuan dibimbing pelatih, Ibu Dyah, dan sisanya kami atur jadwal
untuk berlatih sendiri. Kebetulan kelompokku terdiri tujuh orang, lima pemuda
dan dua kepala tiga. Iya.. temenku tua-tua.. Haha. Enggak ding. Senior. wkwk
Sialnya, di waktu bersamaan kami juga sedang menjalani
Praktik Profesi Lapangan (PPL) di Madrasah dekat kampus. Jadi kami tidak dapat
melakukan pertemuan secara maksimal, apalagi berlatih. Seingatku kami hanya
empat kali latihan setelah dua kali dibimbing langsung pelatih. Dan hanya
sekali latihan dengan formasi komplit.
Oh ya, nama tarinya adalah tari topeng edan. Tari ini
menceritakan tentang seorang yang tidak peduli dengan kondisi luar. Ia hanya
fokus pada diri sendiri tanpa mau mengurusi kehidupan orang. Gimana? Lumayan
filosofis ya. hehe
Soal kostum, kami memakai udeng, kaos putih dengan rompi,
celana dan jarik sepaha. Kami juga mengenakan topeng karakter yang kami cari
sendiri dari Kliwon hingga Bitingan. Lha ketemune malah di Undaan. Waduhee
Berlatih tanpa didampingi pelatih membuat kami kerepotan. Bisa
dibilang 30% waktu adalah berlatih kekompakan dan sisanya adalah padon. Wkwk. Di
antara kami ada saja yang mengeluh tentang sulitnya gerakan tarian tersebut. Sehingga
kami memutuskan untuk melakukan improvisasi, yakni membuat gerakan sendiri
menyesuaikan kemampuan teman-teman. Padahal kami bertujuh sama sekali tidak
pernah menari. Gitu aja sok-sokan punya ide. Wakakak.
Tak terhitung berapa kali kami melakukan perubahan pola lantai
dan gerakan. Bahkan baru pada latihan malam terakhir sebelum esok pentas kami
baru menyepakati gerakan yang akan kami tampilkan besok. Dan jadilah kami akan
mementaskan tari.
Sungguh ini adalah penampilan gila. Persis seperti nama tariannya.
Serba mepet dan cukup terpaksa. Namun di sisi lain kami mencoba untuk menjaga
semangat bahwa kami sebetulnya bisa. Atau paling tidak misalkan penampilan kami
jelek, kami yakin masih ada yang lebih jelek dari pada kami. Jadi kami tak
perlu risau dengan hasilnya. Insyaallah dimakfu. Wakakak
Dan hari yang ditunggu tiba. GOR kampus ramai oleh para
penonton dari mahasiswa hingga para dosen yang mulia. Para penari cewek tentu
saja menjadi sorotan. Make up nya tebel dan gincunya kinclong menggetarkan iman
setiap lelaki di sana.
Lha sementara itu kami santai-santai saja di ruang transit
menunggu panggilan. Ga perlu make up hla wong kita pakai topeng. Sebenarnya ada
satu stage di mana kami membuka topeng beberapa saat. Hanya saja teman-teman urung
niat berias.
Dan saat nama kelompok kami dipanggil ternyata sambutan dari
penonton cukup serius. Aku sampai merinding mendengar tepuk tangan para
penonton. Belum tampil lho itu.. udah disambut bak artis boliwud.
Hal itu tak mengherankan mengingat kami adalah mahasiswa
kelas ekstensi yang hanya memiliki jam kuliah dua hari per pekan. Jelasnya kami
itu mahasiswa yang nyambi kerja jadi di kampus ya buat kuliah aja. Gada waktu
buat nongki-nongki apalagi ikut UKM. Dan kebetulan seperti aku jelaskan di atas
ada bapak-bapak di kelompok kami. Pada penasaran kan. Apakah kami bisa menari?
Dung dung dung... musik pembuka berjalan dan kami memulai
aksi. Kami melakukan gerakan tarian dengan baik dan kompak. Aku mencoba
menghayati tiap gerakan tubuh, langkah demi langkah menyerasikan dengan alunan
musik. Saking menghayatinya, jadi pengen tidur aku.. haha
Semua gerakan dan pola latar antar penari bisa padu dan
sesuai harapan. Sepuluh menit kami lalui dengan khidmat. Apalagi saat stage
goyang pantat. Wah aku tak peduli. Pakai topeng juga.. bodo amaaattt... dan hal
itu disambut gelak tawa penonton. Masuk pak Ekoo..
Tari ini masuk dalam kategori tari kreasi. Jadi tidak ada
gerakan pakem. Kami bebas menentukan gerakan asal masih sesuai tajuk. Sifatnya adalah
lucu dan menghibur.
Sungguh kami tak menyangka bisa melalui menit-menit krusial
itu dengan baik mengingat kami merasa tak cukup baik dalam melakukan latihan persiapan.
Seorang kawan yang jarang ikut latihan bisa mengikuti gerakan kami meski
sesekali tertinggal. Di sisi lain kami cukup beruntung mengenakan topeng
sehingga membantu untuk mengurangi demam panggung.
Selesai penampilan para penonton sekali lagi memberikan
tepukan yang meriah. Aku lirik para penilai dan tamu di depan sepertinya mereka
menyukainya. Alhamdulillah, ini bakal jadi sejarah dan layak untuk kami
ceritakan kepada siapapun. Minimal aku akan bilang, “Nak, dulu bapak pernah
menari. Ini ada sertifikatnya loh”. Aku harap ketika anakku kelak melihat
videoku menari tidak lantas mengelak bahwa itu bukan aku. wakakak