PENGERTIAN USHUL FIQIH
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Hj. Istianah, MA
Disusun oleh :
M. Abdul Ghofur (1310320005)
PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada Masa Rasululah Saw, dikisahkan dua sahabat sedang bepergian. Saat mereka
hendak mengerjakan shalat, di sana tidak ditemukan air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu
yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu
shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.
Keduanya lalu mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi
sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang
shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Al-Quran
sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum.
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah Saw dengan sunahnya sehingga
sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan
nash al-Quran atau sunnahnya. Namun, setelah Rasul tiada, muncullah
permasalahan-permasalahan yang baru dan tidak mudah untuk diselesaikan.
Sehubungan
dengan perkembangan ilmu ushul fiqh yang telah digambarkan di atas, maka
alangkah baiknya jika kita mengetahui lebih dalam tentang Fiqh dan Ushul Fiqh.
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih
dahulu dibandingkan ilmu fiqh. Ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh
merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa definisi Ushul fiqih?
2.
Apa objek kajian Ushul
fiqih?
3.
Apa ruang lingkup Ushul
fiqih?
4.
Bagaimana hubungan ushul
fiqih dengan fiqih?
5.
Bagaimana Sejarah
perkembangan Ushul fiqih?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui definisi Ushul
fiqih
2.
Mengetahui objek kajian
Ushul fiqih
3.
Mengetahui ruang lingkup
ushul fiqih
4.
Mengetahui hubungan ushul
fiqih dengan fiqih
5.
Mengetahui Sejarah
perkembangan Ushul fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI USHUL FIQIH
Ushul fiqh
terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun,
yang berarti; pangkal, pokok, dasar dll. Sedangkan Fiqih, secara bahasa berarti
pemahaman. Secara istilah, fiqih: “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang
terperinci”.[1]
Ustadz
Abdul Hamid Hakim menjelaskan hukum-hukum dibagi menjadi delapan yaitu: Wajib,
Mandub, Haram, Makruh, Mubah, Shohih, Batal, Rukhsoh, Azhimah.[2].
Sedangkan menurut Imam Abi Ishaq, Hukum Syara’ dibagi menjadi enam, yaitu:
Wajib, Mandub, Mubah, Mahzhur, Makruh, Shohih, dan Batil.[3]
Ushul fiqih adalah seperangkat dalil syar’i yang diambil untuk mengeluarkan hukum yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang
bersifat umum pula. [4]
Sumber-sumber
dalil tersebut antara lain Firman Allah (Alqur’an), sabda, perbuatan, dan
ketetapan Nabi, ijma’, dan qiyas. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah
(metode berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses
penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Ad-Dimyati
mengatakan Ushul Fiqih adalah dalil-dalil [kaidah-kaidah] yang diambul dari
kitab [Alqur’an] dan sunnah, ijma’ untuk menetapkan hukum syara’.[5]
Jadi
ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode
yang memuat prosedur dan teknik merumuskan hukum syariat untuk pedoman hidup
dan jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
B. OBJEK KAJIAN
USHUL FIQIH
Objek pembahasan dalam ilmu fiqih
adalah: perbuatan manusia yang ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap
baginya, meliputi jual beli, sewa menyewa, pengadilan, perwakilan, salat,
puasa, haji, pembunuhan, tuduhan terhadap zina, pencurian, ikrar dan wakaf
supaya ia mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan ini.
Pada
intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath
dan system mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum
tentang perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Berpegang
pada pendapat Al-Ghazali, objek pembahasan ushul fiqh ada 4 bagian:
1. Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti
hakim, mahkumfih, dan mahkum alaih.
2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
3. Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dalil
itu.
4. Pembahasan tentang ijtihad.[6]
C. RUANG LINGKUP USHUL FIQIH
Secara
global, ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a.
Pengenalan terhadap
istilah-istilah tehnis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan syariah.
Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dll.
b.
Dalil-dalil hukum Islam
-baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah
mursalah- berikut penetapan rangking kehujahan masing-masing dalil.
c.
Penjelasan tentang
cara/metode “bagaimana menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang
dimaksud terdiri atas Qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari
Nash (al-Quran Hadis) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping
menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d.
Mujtahid, ijtihad, fatwa,
taklid dll.
Menurut
Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu
:
1)
Hukum-hukum syara’, karena hukum
syara’ adalah tsamarah (buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh.
2)
Dalil-dalil hukum syara’, seperti
al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
3)
Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh
dalalah al-adillah ), karena ini adalah thariq al-istitsmar ( jalan / proses
pembuahan ). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq (
tersurat ), dalalah bil mafhum ( tersirat ), dalalah bil dharurat (
kemadharatan ), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul ( makna rasional ).
4)
Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu
mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid
adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan
syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
D. HUBUNGAN USHUL FIQIH DENGAN FIQIH
Tujuan dari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum
syri’at terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi ilmu fiqih itu adalah
tempat kembalinya seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembalinya seorang
mukallaf untuk dapat mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan
perbuatan yang muncul dari dirinya.
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan
kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk
menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi berdasarkan kaidah dan
bahasan-bahasannya maka nash-nash syara’ dapat
dipahami secara sempurna. Disamping itu, dapat pula diadakan perbandingan antarmadhab
yang berlainan untuk mengurai hukum suatu kasus. Karena hal ini tidak akan
dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu ushul fiqih. Dengan demikian ilmu ushul
fiqih juga merupakan landasan dari fiqih perbandingan.
Ushul
Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan
hukum fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat
dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain:
1.
Ushul Fiqih ibarat rantai
penghubung antara fiqih dengan sumbernya
2.
Ushul Fiqih merupakan
sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para pakar fiqih
terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih.
3. Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu
fiqih yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu,
E. PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Secara
pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih,
meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak
terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu
sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.[7]
Masa
Nabi SAW
Pada
masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih
adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini
didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk
menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا
فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw.
mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal:
Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan
berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan
di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul Saw,
Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia
menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah Saw”.
(HR. Tirmizi)
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah
digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum
menjadi nama keilmuan tertentu. Salah
satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan
kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam
al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak
ditemukan maka dapat berijtihad.
Masa
Sahabat
Semenjak
Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai
pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam
dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi
Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai
dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali
dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu”
dalam melakukan ijtihad.
Istilah
“al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn
Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh
hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk
mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian.
Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun
demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama
ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Masa
Tabi’in
Pada
masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai
permasalahan baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas
meluasnya daerah kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok
negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan
orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada
periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para
sahabat. Tokoh-tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan
fatwa antara lain: Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i
di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan
memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah
dirintis oleh sahabat, seperti Qaul Sohabi (fatwa sahabat). Namun
demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.
Masa
Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada
periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun
ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum
dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan
perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa
sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya
sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada
zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam
Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi)
ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula
imam-imam yang lain.
Pada
periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia
memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta
petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i
bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi
pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran
fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara
fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal
pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam
Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih
Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang
yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang
menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah
inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi
nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah
yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan
ilmu Ushul Fiqih.
Masa
Pasca Imam Syafi’i
Sesudah
masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan
berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab
al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa
(al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H),
Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf,
cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili)
dll.
Namun
demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama,
Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli
Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam
corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan
kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan
Hadis.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Ushul
fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun,
yang berarti; pangkal, pokok, dasar dll.
Sedangkan Fiqih, secara bahasa berarti pemahaman.
Ushul fiqih adalah seperangkat dalil syar’i yang diambil untuk mengeluarkan hukum yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang
bersifat umum pula. Sumber-sumber
dalil tersebut antara lain Firman Allah (Alqur’an),
sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi, ijma’, dan qiyas.
Objek pembahasan dalam ilmu fiqih
adalah: perbuatan manusia yang ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap
baginya, meliputi jual beli, sewa menyewa, pengadilan, perwakilan, salat, dll.
Menurut
Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu
: Hukum-hukum syara’, Dalil-dalil hukum syara’, Sisi penunjukkan dalil-dalil (
wujuh dalalah al-adillah ), dan Mustamtsir.
Secara
pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih,
meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak
terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu
sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
B. SARAN
Perkembangan
zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban
kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau
oleh rumusan fiqih yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya
dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan
perangkat metodologisnya.
Diharapkan
dengan adanya ilmu Ushul Fiqih kita dapat memperkecil gejala pertentangan umat
Islam akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka
kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut. Serta kita dapat turut
aktif melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur
metodologis tehnik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim. Mabadi’
Awaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Abu Abdullah Muhammad ibn Qosim. Fathul
Qorib Almujib. 2005. Jakarta: Haromain
Ad-Dimyati. Hasyiyah Ad-Dimyati
‘Ala Syarh Al-Waraqat. Surabaya: Toko Kitab Alhidayah
Ade Dedi Rohayana. Ilmu Ushul Fiqih. 2006.
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Mufarrihul Hazin. http://www.mufarrihulhazin.com 2011. Diakses tanggal 8 September 2014 pukul 10.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar