STRUKTUR JIWA DALAM PSIKOLOGI ISLAM
(KEPRIBADIAN ISLAM, STRUKTUR JIWA DAN
DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM)
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Psikologi Islam
Dosen : Farida Ulyani, M.Pd.
Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur
(1310320005)
Diah Fara Tamia
(13103200
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs,
dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul
dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau
Spirit. Jadi, sebenarnya sejak manusia mengalami proses kejadian sampai dengan sempurna
menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan
fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya
unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini
akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis)
dengan segala kegiatannya. Tulisan ini akan memaparkan
sekilas pembahasan mengenai jiwa menurut paradigma
psikologi Islam di Indonesia dimulai pada periode pra-psikologi Islam
(Hamka) sampai dengan periode psikologi Islam
berkembang (Mujib & Muzakir).
Jiwa merupakan kajian utama pada ruang
lingkup psikologi, berbeda dengan fisiologi yang mempelajari struktur dan
fungsi organ fisik biologis manusia, karena psikologi secara etimologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jiwa merupakan cerminan dari
perilaku yang dimunculkan oleh seseorang dalam bentuk tindakan dan perbuatan
nyata yang meliputi tindakan yang dapat teramati (perilaku terbuka) maupun
tindakan yang tidak dapat diamati secara langsung (perilaku tertutup) dalam
hubungannya dengan realitas ekternal di luar dirinya.
Manusia perlu mengenal siapa dirinya agar mengetahui
jatidirinya. Bahwa manusia tidak hanya terdiri dari aspek jasmani saja
melainkan juga aspek rohani. Dengan demikian, manusia tidak hanya butuh makan
dan minum, tetapi juga butuh nutrisi pemenuh dahaga jiwa. Berbagai perilaku manusia muncul tidak hanya
terjadi begitu saja melainkan ada hal-hal yang mendorongnya. Di sini pemakalah
akan mengurai apa-apa yang ada dalam jiwa manusia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana struktur jiwa
manusia dalam psikologi Islam?
2.
Bagimana kepribadian manusia
dalam psikologi Islam?
C.
Tujuan
1. Mengetahui struktur jiwa manusia dalam psikologi Islam
2. Mengetahui kepribadian manusia dalam psikologi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Jiwa
Hamka boleh dibilang sebagai salah satu
pemikir Islam Indonesia yang diperhitungkan di zamannya. Dalam beberapa buku
yang beliau karang terdapat juga pembahasan mengenai jiwa manusia. Menurut Hamka
jiwa merupakan jejak atau hasil interaksi antara aspek-aspek jiwa, yaitu akal,
hawa nafsu dan kalbu. Konsep jiwa yang ditawarkan Hamka lebih menitikberatkan
pada perseteruan akal dengan hawa nafsu sebagai dua kekuatan utama dalam jiwa
manusia, sementara kondisi kalbu yang akan menjadi kondisi jiwa secara
keseluruhan sepenuhnya tergantung pada hasil perseteruan tersebut.[1]
Mujib dan mudzakir lebih menekankan
keutamaan kalbu dalam konsep struktur jiwa yang ditawarkannya. Lebih lanjut,
menurutnya jiwa manusia berasal dari dua substansi yang saling bertolah belakang
yaitu substansi jasmani yang diwakili
oleh jasad dan substansi ruhani yang yang diwakili oleh ruh. Hasil penggabungan
kedua substansi tersebutlah yang menghasilkan jiwa, serupa dengan pendapat
Hamka, Mujib dan Muzakir juga berpendapat bahwa jiwa terdiri dari kalbu, akal
dan nafsu. Konsep jiwa yang ditawarkan lebih menekankan keutamaan peranan kalbu
sebagai pusat dari dinamika jiwa manusia.Secara umum struktur jiwa digambarkan
sebagai berikut:
Sementara itu, Barmawie Umary mambagi substansi
penyusun jiwa menjadi empat yang terdiri dari Ruh, qalb, aqlu, dan
nafsu.[2]
a. Ruh
Ruh adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa Mesir purba
memandang ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel melihat manusia sebagai
jalinan badan dan ruh. Setelah meninggal badan kembali ke tanah sedangkan ruh
kembali ke Tuhan untuk memperoleh balasan.
Dalam alquran, istilah ruh sering disebutkan tetapi mempunyai
makna-makna yang berbeda. Adakalanya ruh sebagai pemberian hidup dari Allah
kepada manusia, adakalanya penciptaan terhadap nabi Isa, ruh menunjukkan
alquran, juga menunjukkan wahyu dan malaikat yang membawanya, semua pengertian
tersebut tidak satupun menunjukkan badan atau badan ruh, sehingga menunjukkan
bahwa ruh berbeda sengan nafs.[3]
Setinggi apapun ilmu seseorang, ia tidak mungkin menemukan hakikat ruh, karena
merupakan bagian dari misteri ilahi dan manusia tidak mempunyai pengetahuan
penuh untuk memahaminya.
Allah berfirman pada surat Al-Isra:
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
(Q.S.17:85).
b. Qalb
Qalb termasuk rahasia manusim yang merupakan anugrah Allah
yang paling mulia. Hal ini karena dengan qalb ini manusia mampu beraktifitas
sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah. Qalb berperan sebagai sentral
kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada
kebaikan. Sentral aktifitas manusia bukan ditentukan oleh “badan yang sehat”
sebagai mana yang dipahami oleh kebanyakan para ahli biologi.
Hamka tidak terlalu dalam mengupas kalbu atau hati, namun
secara gamblang beliau menyatakan bahwa hati adalah medan pertempuran yang
diperebutkan oleh akal dan hawa nafsu. Warna kalbu akan mengikuti akal atau
nafsu yang nantinya akan menguasainya. Jika akal yang menang selamatlah hati
dan selamatlah seluruh jiwa, jika nafsuyang berkuasa maka alamat rusaklah jiwa
keseluruhannya. Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada
segumpal daging jika ia baik seluruh tubuh akan baik, jika ia rusak seluruh
tubuh akan rusak. Ketahuilah dialah hati” (HR. Muttafaq Alaihi).
Qalb mempunyai nama-nama lain yang disesuaikan dengan
aktifitasnya. Ia dapat dikatakan sebagai dhamir karena sifatnya yang
tersembunyi, fu’ad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, karena
berbentuk benda, luthfu karena sebagai sumber perasaan halus, qalb karena suka
berubah-ubah kehendaknya serta sirr karena bertempat pada tempat yang rahasia
dan sebagai muara bagi rahasia manusia.[4]
c. Aqlu
Menurut Hamka hakikat akal adalah aspek jiwa manusia
yang berfungsi untuk mengikat hawa
nafsunya, sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari kemana-mana,
akal manusia akan mengikatnya agar ia tidak lepas kendali, dengan mudah dan
serta merta mengikuti hawa nafsunya. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa akal
digerakkan oleh tigadaya yang dimiliki jiwa, yaitu fikiran (al-fikr), perasaan
(al-wijdan) dan kemauan (al-iradah).
d. Hawa
Nafsu
Nafsu daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan
alghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu
daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari
segala yang membahayakan. Alsyahwat adalah
suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala
yang menyenangkan. Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar hasrat-hasratnya. Prinsip kerja
nafsu hampir sama dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang
buas maupun binatang jinak. Binatang buas memiliki dorongan
agresi, sedangkan hewan jinak memiliki dorongan
seksual.[5]
Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka adalah nafsul
amarah yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kecenderung manusia yang
lebih rendah dari pada binatang. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs. Yusuf:53)
B.
Kepribadian Islam
Terdapat perebedaan pada term kepribadian dari sisi Islam, seperti pada
literatur klasik dalam pemikiran al-Ghazali kepribadian lebih merujuk pada term
akhlak yang berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi dan juga berusaha
menilai baik-buruknya.[6] Sedangkan
kepribadian dalam psikologi merupakan tingkah laku (attitude) yang
didiagnosa untuk mencari sebuah gejala dan sifat seseorang.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan
subtansi manusia, sebab dengan pembahasan subtansi tersebut dapat diketahui
hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia
atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs, seperti firman Allah berikut ini:
“Ingatlah, menciptakan (al-khalq)
dan memerintah (al-amar) hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.” (Q.S.7:54)
Lafadz al-khalq pada
ayat tersebut menurut al-Ghazali berarti, alam penciptaan, sedangkan
lafadz al-amar berarti alam perintah. Alam penciptaan
menghasilkan jasad, sedang alam perintah menghasilkan ruh manusia.[7]
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan.
Ada beberapa substansi dalam diri manusia itu sendiri diantaranya adalah:[8]
a. Substansi Jasmani, substansi model ini lebih mengacu terhadap struktur
organisme fisik.
b. Substansi Ruhani, merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi
kehidupannya.
c. Substansi Nafsani, model yang menggabungkan antara jasad dan ruh. Substansi
nafsani memiliki potensi gharizah (insting). Jika potensi ini dikaitkan
dengan subtansi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) al-qalb
yang berhubungan dengan rasa atau emosi; (2) al-'aql yang berhubungan
dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya al-nafs yang berhubungan dengan
karsa atau konasi. Ketiga ini merupakan sub-sistem nafs manusia yang dapat
membentuk kepribadian. Jadi, secara sederhana nafsani (nafs) adalah
keseluruhan diri pribadi manusia itu sendiri, yang meliputi eksistensi manusia
yang paling luar (jasad) sampai esensi yang paling dalam (ruh).
Dari beberapa unsur diatas, kepribadian dalam psikologi Islam adalah
integrasi sistem qalb, 'aql, dan, daya al-nafs manusia
yang menimbulkan tingkah laku. Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya
yaitu: (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia
yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai
aspek kesdaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah
hayawaniah) sebagai aspek pra atau bawah-sadar manusia
yang memiliki daya konasi (karsa).
Sementara itu Sigmun Freud[9],
seorang ahli psikoanalisis menyatakan bahwa manusia memiliki tiga kehendak
yaitu Id, Superego, dan Ego. Id merupakan naluri primitif yang terletak di
bagian sadar dari kepribadian. Id paling besar pengaruhnya dalam kepribadian,
kerjanya tidak rasional, tetapi bersifat impulsif.[10]
Superego merupakan tempat penyimpanan nilai luhur yang dimiliki seseorang,
termasuk moral dan sikap yang ditanamkan melalui sosialisasi san masyarakat.
Ego adalah bagian yang berperan sebagai arbitrator atau pengendali konflik
antara id dan superego. Kendatipun ketiga aspek itu mempunyai fungsi yang
berbeda, ketiganya berhubungan erat dan tak terpisahkan. Oleh karenanya ketiga
aspek itu berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang.
a.
Kepribadian Ammarah (Nafs
al-Ammarah)
Kepribadian ammarah adalah model kepribadian yang cenderung pada
tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure
principle). Nafs al-ammarah menarik kalbu manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia
merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak membebaskan diriku
(dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (Q.S.12:53).
Kepribadian ammarah adalah bentuk kepribadian di bawah-sadar
manusia. Dan orang yang memiliki kepribadian ini maka orang tersebut tidak lagi
memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang.
Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya
tetapi juga orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat
yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan
urusan orang lain, dan sebagainya, (2) daya ghadhab yang selalu tamak,
serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong,
angkuh, dan sebagainya. Pada dasarnya, orientasi kepribadian ammarah adalah
mengikuti sifat-sifat binatang (hewani).
Kepribadian ammarah dapat beranjak menuju kepribadian yang lebih
baik apabila orang yang berkepribadian tersebut telah diberi rahmat oleh Allah
swt. Pendakian kepribadian ammarah menuju menuju ketingkat kepribadian
yang lebih baik hanya dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian
yang ada, yaitu kepribadian lawwamah. Hal tersebut disebabkan oleh persentase
daya nafsu lebih dekat dengan persentase daya akal dan terlalu jauh jaraknya
dengan daya kalbu (lihat tabel diatas). Pendakian ini membutuhkan latihan
khusus yang biasa disebut dengan riyadhah, untuk menekan daya nafsu dari
hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa, dan sebagainya.
b.
Kepribadian Lawwamah (Nafs
al-Lawwamah)
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit
untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam hal ini, kadang-kadang
tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zhulmaniah (gelap)-nya,
namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela
perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan ber-istigfar. Hal itu
dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan
antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah.
Sebagaimana firman Allah swt.
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang
amat menyesali (dirinya sendiri).”(Q.S.75:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi komponen
akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja
rasionalitistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran.
Apabila sistem kendalinya berfungsi, maka manusia tersebut akan mencapai
puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh
kaum Humanis yang pola pikirnya berorientasi pada kekuatan serba
manusia, sehingga sifatnya antroposentris. Apabila akal telah diberi
percikan nur kalbu, maka fungsinya menjadi baik. Dalam hal ini, akal dapat
dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju kepada Tuhan. al-Gazhali
sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa (zawq), namun
masih menggunakan kemampuan akal pula. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu
mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu mencapai akal mustafad.[12] Akal
mustafad ini adalah akal yang mampu menerima limpahan pengetahuan dari
Tuhan melalui Akal fa'al (Malaikat Jibril).
c.
Kepribadian Muthmainnah (Nafs
al-Muthmainnah)
Kepribadian Muthmainnah ini adalah kepribadian yang telah telah
diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela
dan kemudian tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian ini selalu berorientasi
kepada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala
kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang, begitu tenangnya sehingga ia
dipanggil oleh Allah swt dengan firmannya:
“Hai jiwa yang tenang.(28)
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Q.S.
89:27-28)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang tenteram dan
bersumber dari kalbu manusia yang mampu merasakan thuma'ninah sebagaimana
dalam firman Allah:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. 13:28).
Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau
supra-kesadaran manusia, karena kepribadian muthmainnah merasa tenang
dalam menerima keyakinan fitriah. Adapun jalan atau cara untuk membentuk
kepribadian seperti ini adalah dengan cara memperbanyak dzikir (ingat)
kepada Allah swt sebagaimana tercantum dalam ayat di atas. Esensi dzikir yang
bermuasal dari aspek vertikal antara Tuhan dengan manusia menjadi aspek
horisontal dimana manusia juga menerima manfaat secara lahir.
Kepribadian muthmainnah akan membentuk enam kompetensi keimanan,
lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. Aktualisasi
bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah
yang dihujamkan oleh Allah swt.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Barmawie Umary mambagi substansi
penyusun jiwa menjadi empat yang terdiri dari Ruh, qalb, aqlu, dan
nafsu
2. Ruh
adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa Mesir purba memandang ruh sebagai inti kepercayaan.
Orang Israel melihat manusia sebagai jalinan badan dan ruh. Setelah meninggal
badan kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke Tuhan untuk memperoleh balasan.
3. Qalb
termasuk rahasia manusim yang merupakan anugrah Allah yang paling mulia. Hal
ini karena dengan qalb ini manusia mampu beraktifitas sesuai dengan hal-hal
yang dititahkan oleh Allah. Qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan
kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada kebaikan.
4. Menurut
Hamka hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya,
sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari kemana-mana, akal
manusia akan mengikatnya agar ia tidak lepas kendali, dengan mudah dan serta
merta mengikuti hawa nafsunya.
5.
Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka
adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kecenderung
manusia yang lebih rendah dari pada binatang.
6.
Terdapat perebedaan pada term
kepribadian dari sisi Islam, seperti pada literatur klasik dalam pemikiran
al-Ghazali kepribadian lebih merujuk pada term akhlak yang berkaitan dengan
tingkah laku yang dievaluasi dan juga berusaha menilai baik-buruknya. Sedangkan
kepribadian dalam psikologi merupakan tingkah laku (attitude) yang
didiagnosa untuk mencari sebuah gejala dan sifat seseorang.
7.
Mujib dan Mudzakkir
menjelaskan struktur kepribadian Islam adalah sebagai berikut: Kepribadian Ammarah (Nafs al-Ammarah), Kepribadian Lawwamah (Nafs al-Lawwamah), dan Kepribadian Muthmainnah (Nafs
al-Muthmainnah)
8.
Sementara itu Sigmun Freud, seorang
ahli psikoanalisis menyatakan bahwa manusia memiliki tiga kehendak yaitu Id,
Superego, dan Ego. Id merupakan naluri primitif yang terletak di bagian sadar
dari kepribadian. Id paling besar pengaruhnya dalam kepribadian, kerjanya tidak
rasional, tetapi bersifat impulsif.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah
Gagasan Membangun Pendidikan Islam. 2009. Yogyakarta: Teras.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-nuansa
Psikologi Islam. 2002. Jakarta: Rajawali Pers.
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya'
Ulum al-Din. 1980. Beirut: Dar al-Fikr.
Barmawie Umary. Materi Akhlak. 1989.
Solo: Ramdhani.
Ema Yudiani. DINAMIKA JIWA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM. JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/45-59
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. 1995. Jakarta:Bulan Bintang.
Hasan Langgulung. Asas-asas pendidikan
Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Alhusna.
[3] Hasan Langgulung. Asas-asas pendidikan
Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Alhusna. Hal 272
[7] Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. 2002. Jakarta:
Rajawali Pers. hal. 39.
[9] Pendiri dan penentu Psikoanalisa adalah Sigmund Freud
(1856-1939). seorang neurolog berasal dari Austria. keturunan Yahudi. Berangkat
dari pengalaman dengan para pasien. Freud menemukan ragam dimensi dan
prinsip-prinsip mengenai manusia yang kemudian menyusun teori psikologi yang
sangat mendasar. majemuk. dan luas implikasinya di lingkungan ilmu-ilmu sosial.
humaniora. filsafat. dan ilmu agama serta memberi ilham terhadap berbagai
kreasi seni. (Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju
Psikologi Islami. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar. 1997. hal. 49)
[10] Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam;
Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Hal. 45-46. Yogyakarta: Teras. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar