TAFSIR AYAT TENTANG PESERTA DIDIK
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas
mata kuliah Tafsir
Dosen Pengampu : Teguh Muhyiddin, M.Pd
Disusun oleh :
M. Abdul Ghofur (1310320005)
PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an benar-benar
merupakan mukjizat bagi Rasululah saw. Di antara bukti kemukjizatannya adalah
kisah-kisah gaib tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu. Misalnya, kisah
tentang Musa yang bertemu dengan Khidir, seorang yang diberi anugerah ilmu yang
dalam oleh Allah yang kemudian banyak memberi nasihat kepada Musa As.
Manusia adalah mahluk
pembelajar. Begitulah sejatinya kita hidup di dunia ini. Sesuai dengan
firman-Nya: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Tidak
main-main, melalui wahyu pertama-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Allah Swt.
secara tegas memerintah hamba-Nya untuk senantiasa membaca, menelaah, meneliti,
dan mempelajari ciptaan-Nya. Sehingga kita semakin dekat dengan-Nya dan dapat
menangkap pesan-pesan keagungan dzat-Nya.
Akantetapi, ada satu hal
yang sering ditinggalkan oleh para pembelajar, yakni adab. Adab atau etika
kepada guru (pendidik) seringkali diabaikan oleh pelajar (peserta didik).
Padahal, guru adalah pintu dari ilmu. Sedang ilmu tak dapat diraih tanpa
seorang guru. Ketika murid tak lagi menghormati gurunya, maka murid tidak akan
mendapat barakah dan manfaat ilmu, melainkan afat (bahaya) ilmu.
Bahkan Syekh Zarnuji secara
khusus mengarang kitab “Ta’limul Muta’allim” karena melihat buruknya
moral peserta didik kepada pendidik-pendidiknya. Kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir dalam suart al-Kahfi ayat 60 sampai 82 memberikan banyak kesan perihal
adab murid dan guru. Mulai dari niat, awal perjumpaan hingga perpisahan.
Disini penyusun akan
menyajikan sebuah makalah mengenai ayat-ayat dan tafsirnya yang berkenaan
dengan peserta didik. Semoga bermanfaat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini
adalah: Bagaimana tafsir surat al-kahfi ayat 60 s/d 82 menurut tafsir Jalalain,
tafisr Al-Mishbah, tafsir at-Thabari dan
Ibn Katsir?
C.
TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini
adalah agar pembaca dapat mengetahui tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82 menurut
beberapa pendapat ulama’ serta dapat mengkaitkan dengan dunia pendidikan,
khususnya tentang etika peserta didik.
D.
METODE PENELITIAN
Dalam pembuatan makalah ini,
penulis menggunakan metode pustaka dengan membaca literatur-literatur tentang al-Qur’an, mulai dari ayat, terjemah, tafsir, serta membandingkan
satu buku tafsir dengan buku atau kitab lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat al-Kahfi ayat 60 s.d 82[1]
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى
أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا
مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا
(61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ
سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ
فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ
أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ
ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ
مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ
أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي
السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ
شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ
صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ
أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ
قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا
نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ
بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا
أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ
لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ
هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ
عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ
فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ
كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ
فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا
وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً
وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ
فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا
رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ
تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82(
Artinya:
60. Dan (ingatlah) ketika Mûsâ berkata
kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke
pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Mûsâ kepada
muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku
lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang aneh sekali."64. Mûsâ berkata: "Itulah (tempat) yang kita
cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.66. Mûsâ berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu?"69. Mûsâ berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati
aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah
kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala
keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Mûsâ berkata: "Mengapa
kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Mûsâ berkata:
"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhir membunuhnya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76.
Mûsâ berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali)
ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu
sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga
tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu
kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka Khidhir menegakkan dinding itu. Mûsâ berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah
perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera
itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah
orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang
tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya
dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82.
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan
di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;
dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya".
B.
Tafsir Surat al-Kahfi ayat
60 s.d 82 menurut Tafsir Jalalain[2]
Ayat 60
(Dan) ingatlah (ketika
Musa berkata) Nabi Musa adalah anak lelaki Imran – (kepada muridnya:)
yang bernama Yusya’ bin Nun; ia selalu mengikutinya dan menjadi pelayannya
serta mengambil ilmu darinya. – (“Aku tidak akan berhenti) artinya aku
akan terus berjalan – (sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan)
tempat bertemunya Laut Romawi dal Laut Persi dari sebelah timurnya; yakni
tempat bertemunya kedua lautan tersebut – (atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun”) selama bertahun-tahun untuk mencapainya, sekalipun jauh.
Ayat 61
(maka tatkala keduanya sampai ke pertemuan dua buah
laut itu) yakni tempat bertemunya kedua laut itu – (mereka berdua lupa
akan ikannya) Yusya’ lupa membawanya ketika berangkat, Nabi Musa pun lupa
mengingatkannya – (maka ia mengambil) yakni ikan itu melompat untuk
mengambil – (jalannya ke laut itu) Allah-lah yang menjadikan jalan itu,
yaitu dengan menjadikan baginya – (dalam keadaan berlubang) seperti
lubang bekasnya, yaitu lubang yang sangat panjang dan tak berujung. Demikian
itu karena Allah Swt. menahan arus air demi untuk ikan itu, lalu masuklah ikan
itu ke dalamnya dengan meninggalkan bekas seperti lubang dan tidak terhapus
karena bekasnya membeku.
Ayat 62
(maka tatkala mereka berdua melewati) tempat
itu dengan berjalan kaki sampai dengan waktu siang, yaitu pada hari keduanya –
(berkatalah) Musa – (kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita)
yaitu makanan yang bisa dimakan pada siang hari, yakni makan siang – (sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”) payah, yang hal ini
baru mereka rasakan setelah berjalan jauh dari tempat itu.
Ayat 64
........ (Lalu keduanya kembali) kembali lagi –
mengikuti jejak mereka semula) menitinya – (secara benar-benar)
lalu keduanya sampai di batu besar tempat mereka beristirahat.
Ayat 66
(Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”) yakni ilmu yang dapat
membimbingku, dan menurut satu qiraat dibaca rasyadan. Nabi Musa meminta
hal tersebut kepada Khidir karena menambah ilmu adalah suatu hal yang
dianjurkan.
Ayat 69
(Musa berkata: Insyaallah kamu akan mendapati aku
sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang ) yakni tidak akan
mendurhakai – (kamu dalam sesuatu urusan pun) yang kamu perintahkan
kepadaku. Nabi Musa mengungkapkan jawabannya dengan menggantungkan kemampuannya
kepada kehendak Allah, karena ia merasa kurang yakin akan kemampuan dirinya di
dalam menghadapi apa yanag harus ia lakukan. Hal ini merupakan kebiasaan para
nabi dan wali Allah, yaitu mereka sama sekali tidak pernah merasa percaya
terhadap dirinya sendiri walau sekejap.
Ayat 70
(Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku) menurut qiraat yang lain, tas-alni
dibaca tas-alanni – (tentang sesuatu apapun) yang kamu ingkari
menurut pengetahuanmu dan bersabarlah kamu, jangan menanyakannya kepadaku – (sampai
aku sendiri menerangkannya kepadamu”) hingga aku menuturkan perihalnya
kepadamu berikut sebabnya. Lalu nabi Musa menerima syarat itu, yaitu memelihara
etika dan sopan santun murid terhadap gurunya
Ayat 71
........ (Musa berkata:) kepada Khidir – (“Mengapa
kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?)
menurut satu qiraat, lafaz litughriqa dibaca litaghraqa, dan
lafaz ahlaha dibaca ahluha - (Sesungguhnya kamu telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar”) yakni kekeliruan yang sangat besar. Menurut
suatu riwayat, air laut tidak masuk ke dalam perahu yang telah dilubanginya.
Ayat 73
(Musa berkata: “janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku) yakni atas kealpaanku sehingga aku lupa bahwa aku harus
menuruti perintahmu – (dan janganlah kamu membebani aku) memberikan
beban kepadaku – (dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”) kerepotan
dalam persahabatanku denganmu; atau dengan kata lain, perlakukanlah aku di
dalam bertean denganmu dengan penuh maaf dan kelapangan dada.
Ayat 74
.......... (Berkatalah ia:) yakni Nabi Musa – (mengapa
kamu bunuh jiwa yang bersih) jiwa yang masih belum berdosa karena belum
mencapai usia taklif. Dan menurut suatu qiraat, lafaz zakiyyatan dibaca
zakiyatan – (bukan karena dia membunuh orang lain?) dia tidak membunuh
orang lain – (Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”)
lafaz nukran dapat pula dibaca nukuran, artinya susuatu hal yang
mungkar.
Ayat 76
Oleh sebab itu, maka – (berkatalah Musa: “Jika aku
bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini) sesudah kali ini – (maka
janganlah kamu menemani aku lagi) artinya janganlah kamu biarkan aku
mengikuti kamu lagi – (sesungguhnya kamu telah cukup memberikan kepadaku)
dapat dibaca laduni atau ladunni, artinya dari pihakku – (uzur)
alasan agar aku berpisah denganmu.
Ayat 77
......... (Musa berkata:) kepadanya (“Jikalau
kamu mau, niscaya kamu mengambil) menurut suatu qiraat dibaca laittakhazta –
(upah untuk itu”) yakni persenan karena mereka tidak mau menjamu kita,
sedangkan kita sangat membutuhkan makanan.
C. Tafsir Surat al-kahfi ayat 60 s.d 82 menurut Tafsir Al-Mishbah
Ayat 60 - 61
Kelompok ayat ini
menguraikan suatu kisah menyangkut Nabi Musa as dengan salah seorang hamba
Allah yang saleh. Kisah ini tidak disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam
surah ini. Banyak juga hal yang disebut oleh kumpulan ayat ini yang tidak
secara jelas diuraikan. Mislnya, siapa hamba Allah yang saleh itu, di mana
pertemuan mereka, dan kapan terjadinya. Kendati demikian, banyak sekali
pelajaran yang dapat ditarik dari ayat-ayat ini.
Ayat 62 – 64
Perjalanan Nabi Musa dengan
pembantunya itu agaknya sudah cukup jauh walau belum sampai sehari semalam,
terbukti sari ayat ini bahwa mereka baru merasa lapar sehingga nabi Musa minta
untuk disiapkan makanan mereka.
Dia, yakni pembantunya,
berkata :”Tahukah engkau, wahai guru yang mulia bahwa tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidak
adalah yang menjadikan aku melupakannya kecuali setan.”
Ayat 65
Perjalanan kembali ke tempat
hilangnya ikan ditempuh nabi Musa as bersama pembantunya itu. Lalu mereka berdua
bertemu dengan seorang hamba mulia lagi taat.
Ayat 66 – 68
Dalam pertemuan kedua tokoh
itu, Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian ilmu-ilmu yang
telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?”
Ayat 69 – 70
Mendengar komentar nabi
Khidir, Nabi Musa berkata kepada Hamba Allah yang saleh itu: “Engkau insyaallah
akan mendapati aku sebagai seorang penyabar yang insyaallah mampu menghadapi
ujian dan cobaan, dan tidak akan menentangmu dalam suatu perintah yang engkau
perintahkan atau urusan apapun.”
Ayat 71 - 73
Setelah masing-masing
menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang dikehendaki, maka
berangkatlah keduanya, yakni Musa dan Khidir.
Nabi Musa sadar akan
kesalahannya, maka dia berkata, “janganlah engkau menghukum aku, yakni
maafkanlah aku atas keterlanjuran yang disebabkan oleh kelupaanku terhadap
janjiyang telah kuberikan kepadamu, dan janganlah engkau bebani aku dalam
urusanku, yakni dalam keinginan dan tekadku mengikutimu dengan kesulitan yagn
tidak dapat kupikul”.
Ayat 74 -75
Nabi Khidir memperkenankan
permohonan maaf nabi Musa as. Mereka kemudian meninggalkan perahu dengan
selamat dan turun ke pantai.
Pada ayat ini nabi Musa tidak
lupa lagi, tetapi benar-benar sadar karean besarnya peristiwa yang dilakukan
oleh Khidir yang membunuh seorang anak tak berdosa..
Ayat 76 – 77
Nabi musa sadar bahwa dia
telah melakukan dua kali kesalahan, tetapi tekadnya yang kuat untuk meraih
makrifat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan terakhir. Untuk itu, dia
berkata, “Jika aku bertanya kepadamu, wahai saudara dan temanku, tentang
sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau jadikan aku temanmu dalam perjalanan
ini lagi. Aku rela, dan tidak berkecil hati. Sesungguhnya engkau telah mencapai
batas yang wajar dalam memberikan uzur padaku karena telah dua kali aku
melanggar dan engkau memaafkanku.
Setelah itu, tatkala Khidir
menegakkan rumah yang hampir roboh, Musa berkata: “Jika engkau mau niscaya
negkau mengambil atasnya upah, yakni atas perbaikan dinding sehingga dengan
upah itu kita dapat membeli makanan.”
Sebenarnya, kali ini Musa
tidak secara tegas bertanya, tetapi memberi saran. Kendati demikian, karena
dalam saran tersebut terdapat semacam unsur pertanyaan, inipun telah dinnilai
sebagai pelanggaran oleh nabi Khidir.
D.
Tafsir Surat al-kahfi ayat
60 s.d 82 menurut Tafsir At – Tabari dan Ibnu Kasir[3]
Ringkasannya sebagai berikut:
Rangkaian ayat ini berbicara
tentang perjalanan Nabi Musa untuk mencari seorang hamba Allah yang diceritakan
mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang Allah lebih dari pengetahuan Musa.
Sebelum melakukan
perjalanan, Nabi Musa telah diperintahakan untuk membawa serta ikan yang telah
diasinkan. Dalam perjalanan Musa diberitahu bahwa jika ikan tersebut hilang,
itu merupakan pertanda.
Mereka pun berjalan hingga
mencapai pertemuan dua buah laut. Di sana mereka menemukan mata air kehidupan.
Mereka beristirahat dan tidur di sana. Ikan asin yang dibawanya terkena
percikan air. Kemudian ikan itu menggelepar di dalam keranjang yang terbuat
dari pelepah kurma. Ikan tersebut lama-kelamaan bergeser dan menceburkan diri
ke dalam lautan. Ia pun berjalan di atas air dan tidak berenang. Air tersebut
bagaikan jembatan. Air laut dan ikan tidak saling bercampur seperti hal yang
lumrah.
Dalam ayat ini, setelah
melewati tempat ikan tadi terlepas sekitar satu marhalah, pembantunya lupa
mengatakan bahwa ikannya tertinggal jatuh ke laut. {Maka aku lupa (Menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa kecuali setan. Dan (ikan)
itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali}. (Al-Misbah
Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 644).
Allah Swt menegaskan, murid
Musa berkata kepada Musa saat mengatakan kepadanya, “Berikanlah kepada kami
makanan kami untuk kami makan,” {Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang ikan itu}
di sana, {Dan tidak adalah yang melupakan aku kecuali setan}. Allah Swt
menegaskan, dan tidak ada yang melupakanku untuk menceritakan ikan itu kecuali
setan {Untuk menceritakannya}
Pada ayat 79-82 berbicara
tentang klarifikasi Khidir bahwa apa yang dilakukannya mempunyai tujuan dan ia
mempunyai pengetahuan tentangnya, dia melihat perahu milik orang-orang miskin
di kaum yang mereka memperolah penghasilan hidup di laut, dengan di rusaknya
perahu itu, mereka bisa selamat dari tirani raja yang tengah merompak setiap
kapal yang berlayar, dan kapal-kapal yang dirompaknya adalah kapal-kapal yang
masih bagus, dalam arti raja itu tidak mengambil dan merebut semua kapal yang
berlayar.
Adapun perbuatan kedua,
membunuh anak. Khdir mempunyai ilmu bahwa anak itu adalah seoarng kafir, namun
kedua orang tuanya beriman. Dikhawatirkan anak itu akan membuat kedua orang
tuanya durhaka kepada Allah. Dan Allah menggantinya dengan anak yang shaleh
serta menyayangi kedua orang tuanya.
Kasus yang ketiga adalah
penduduk suatu negeri yang enggan menyambut dan menjamunya. Sampai ketika Musa
dan Khidir menemukan tembok rumah yang hampir roboh, lalu Khidir menegakkannya
kembali dengan alasan bahwa di bawah tembok itu ada harta karun milik dua orang
anak yatim. (Tafsir At-Tabari, Jilid XIV, 2001: 353-366)
E.
BAB III
ANALISIS
Pada ayat 61 diceritakan
bahwa Nabi Musa As. rela berjalan bertahun-tahun demi bertemu dengan sang guru
(Nabi Khidir As.). Ia sudah bertekad akan menghabiskan waktunya untuk mencari
hamba Allah yang akan mengajarkannya sesuatu yang tidak Allah ajarkan kepada
Nabi Musa.
Hal inilah yang perlu dicontoh
oleh para peserta didik. Kita tidak diperkenankan putus asa dalam mencari ilmu.
Sekalipun berada di tempat yang jauh dan susah dijangkau, kita harus berupaya
untuk meraihnya.
Pada ayat 62 s/d 64, Perjalanan
baru saja dimulai dan Nabi Musa sudah kehilangan momen untuk bertemu Sang Guru.
Kesungguhannya untuk menuntut ilmu benar-benar diuji Allah. Setelah berjalan
seharian, mereka (Nabi Musa dan muridnya) justru berjalan terlampau jauh
sehingga harus kembali melangkahkan kaki ke tempat di mana jatuhnya ikan yang
dibawa.
Pada ayat 65 s/d 66,
akhirnya Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir. Nabi Musa memohon izin dengan
penuh rasa hormat kepada Sang Guru untuk diperkenankan mengikuti beliau supaya
Nabi Musa diajarkan ilmu-ilmu yang secara khusus Allah anugerahkan kepada Sang
Guru.
Penulis di sini beranggapan
bahwa mengikuti di sini tidak hanya berarti mengikuti langkah ke mana Sang Guru
pergi. Akantetapi, mengikuti dalam makna yang lebih luas yaitu bersedia
mengikuti kemauan guru, sanggup memenuhi tugas yang diberikan guru, serta
mematuhi dan menaati perintah guru.
Nabi Musa tidak memaksa Nabi
Khidir agar mau mengajarkannya. Padahal, Nabi Musa adalah seorang rasul.
Sedangkan Nabi Khidir hanyalah seorang nabi, di mana derajat seorang rasul
lebih tinggi dibanding nabi. Nabi Musa dengan legowo dan kulo nuwun
mohon diajarkan kepada hamba Allah yang setingkat dibawahnya.
Pada ayat 67 s/d 70, saat Nabi
Khidir meragukan kesabaran Nabi Musa, beliaupun berusaha meyakinkan Sang Guru
dan berkomitmen untuk memenuhi apa yang menjadi persyaratan selama belajar.
Nabi Musa berusaha memenuhi
perintah guru untuk bersabar selama proses pembelajaran dan berjanji tidak akan
memberontak, menentang, menolak, apa yang diperintahkan guru.
Nabi Musa tidak lupa
mengucapakan lafal insyaallah, sebagai ajaran bagi kita agar kita selalu berdoa
kepada Allah agar selama kita belajar, kita diberikan kekuatan untuk bersabar
dan kuat menghadapi segala kemungkinan yang terjadi selama proses menuntut ilmu
itu berjalan.
Kita tidak diperkenankan
untuk menyombongkan diri atas hal sekecil apapun. Nabi Musa datang dari jauh
dan berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk belajar kepada Nabi Khidir.
Dan Sang Guru hanya memberikan syarat agar mau bersabar selama belajar, Nabi
Musa tidak diperkenankan untuk bertanya atas apa yang ia lihat selama mengikuti
Nabi Khidir berkelana. Syarat yang terlihat sangat ringan dan tak sebanding
dengan beratnya perjalanan Nabi Musa ke tempat tujuan. Cukup diam dan tak perlu
banyak bicara. Namun begitu, Nabi Musa tak melewatkan membaca kalimah thayyibah
supaya diberikan kelancaran dan kemudahan dalam belajar.
Ayat 71 s/d 73. Setelah
kesepakatan dibuat, pembelajaran segera dimulai. Nabi Musa melihat kejanggalan
atas apa yang dilakukan Sang Guru yang melubangi perahu tumpangan mereka. Nabi
Musa tak sabar dan akhirnya menanyakan perihal perbuatan Sang Guru. Sang Guru
menegur murid atas pelanggaran yang ia buat. Bukankah kontrak belajar
sebelumnya telah disepakati bahwa Nabi Musa tidak diperkenankan untuk bertanya
selama proses belajar.
Nabi Musa sadar dan meminta
maaf kepada Sang Guru perihal khilafnya (menanyakan satu hal apapun dalam
proses belajar). Inilah yang perlu dilakukan seorang peserta didik manakala
membuat sebuah kesalahan. Tidak sungkan dan segera meminta maaf kepada guru
atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga guru mau memaafkan dan proses
pembelajaran dapat kembali dimulai dengan suasana saling memafkan.
Ayat 74 s/d 76. Setelah
turun dari perahu dan melanjutkan perjalanan, Nabi Musa dibuat kaget dengan
kemunkaran yang dilakukan Sang Guru. Kalau pelubangan perahu masih
dikhawatirkan akan menenggelamkan banyak orang, tapi kali ini nyawa orang
benar-benar hilang. Pembunuhan terhadap remaja oleh Sang Guru membuat hati Nabi
Musa bergetar dan bertanya dengan nada protes yang tinggi. Namun, sekali lagi
pertanyaan yang diajukan Nabi Musa adalah sebuah pelanggaran kontrak belajar di
awal pertemuan.
Nabi Khidir kembali menegur
muridnya. Nabi Musa sudah dua kali membuat pelanggaran yang mencederai
komitmennya sendiri, sehingga Nabi Musa merasa bersalah dan meminta maaf. Nabi
Khidir sudah mengingatkan Nabi Musa, bahwa nabi Musa tidak akan sanggup
bersabar mengikutinya. Akantetapi, Nabi Musa berusaha meyakinkan guru dengan
membuat statement yang gagal ia jaga.
Sembari menenangkan diri
melihat dua peristiwa sebelumnya, Nabi Musa mengajukan satu negosiasi sebagai
pembangkit semangat agar Sang Guru masih menaruh kepercayaannya dan sebagai
pemicu usaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Nabi Musa mengajukan
kesepakatan baru yakni apabila ia melakukan satu lagi pelanggaran maka Nabi
Musa siap untuk dihukum. Dan hukumannya adalah tidak diperkenankan melanjutkan
perjalanan lagi bersama Nabi Khidir. Begitulah kontrak baru yang dibuat bersama
antara seorang murid dan guru.
Ayat 77 s/d 82. Perjalanan
terus berlanjut dan sampailah mereka pada perkampungan yang penduduknya kikir.
Sehingga kedua nabi Allah itu berjalan dengan perut yang kosong dan lelah. Nabi
Musa dibuat terheran-heran dengan aksi spontan Nabi Khidir menegakkan sebuah rumah
yang akan roboh. Tanpa ada perintah dan upah, Sang Guru bekerja untuk penduduk
yang pelit walau untuk memberi sekadar makanan pengganjal perut.
“Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu”, saran Nabi Musa kepada nabi Khidir. Sang guru
menganggap muridnya telah melakukan pelanggaran lagi sehingga sesuai dengan
kontrak belajar yang baru saja diperbaharui, maka Nabi Musa tidak dapat lagi
menemani Nabi Khidir berkelana.
Di sini penulis melihat
bahwa hal-hal yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid mengandung banyak
pelajaran bagi kita semua, meskipun dalam konteks kisah di atas beberapa di
antaranya adalah sebuah pelanggaran. Antara lain adalah:
1.
Semangat Nabi Musa untuk
mencari ilmu meski harus berjalan ke tempat yang jauh;
2.
Nabi Musa tidak malu berguru
kepada orang yang derajatnya di bawahnya;
3.
Memohon ijin kepada guru
tempat kita menimba ilmu;
4.
Selalu berdoa memohon kepada
Allah dalam hal sekecil apapun;
5.
Menghindari sifat sombong;
6.
Bersedia mengikuti perintah
guru dan tidak membangkang;
7.
Menjaga etika dan sopan
santun;
8.
Menjaga komitmen memegang
janji
9.
Keberanian Nabi Musa untuk
menanyakan hal-hal yang ia lihat menunjukkan seorang peserta didik harus
memiliki rasa ingin tahu (curiosity);
10. Keberanian
Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada guru ketika melakukan kesalahan;
11. Kemampuan
Nabi Musa membaca situasi – memberikan saran untuk meminta upah atas pekerjaan
– manakala kelaparan di sebuah perkampungan;
12. Nabi
Musa memohon maaf kepada Sang Guru ketika melakukan kesalahan; dan
13. Menerima
keputusan yang diberikan oleh guru
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Surat
al-Kahfi ayat 60-82 menceritakan perjalanan Nabi Musa mencari ilmu. Adapun hal-hal
yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid yang belajar kepada Nabi Khidir
mengandung banyak pelajaran bagi kita semua, meskipun dalam konteks kisah di
atas beberapa di antaranya dianggap sebuah pelanggaran. Antara lain adalah:
1.
Semangat Nabi Musa untuk mencari
ilmu meski harus berjalan ke tempat yang jauh;
2.
Nabi Musa tidak malu berguru
kepada orang yang derajatnya di bawahnya;
3.
Memohon ijin kepada guru
tempat kita menimba ilmu;
4.
Selalu berdoa memohon kepada
Allah dalam hal sekecil apapun;
5.
Menghindari sifat sombong;
6.
Bersedia mengikuti perintah
guru dan tidak membangkang;
7.
Menjaga etika dan sopan
santun;
8.
Menjaga komitmen memegang
janji
9.
Keberanian Nabi Musa untuk
menanyakan hal-hal yang ia lihat menunjukkan seorang peserta didik harus
memiliki rasa ingin tahu (curiosity);
10. Keberanian
Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada guru ketika melakukan kesalahan;
11. Kemampuan
Nabi Musa membaca situasi – memberikan saran untuk meminta upah atas pekerjaan
– manakala kelaparan di sebuah perkampungan;
12. Nabi
Musa memohon maaf kepada Sang Guru ketika melakukan kesalahan; dan
13. Menerima
keputusan yang diberikan oleh guru
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Abu Bakar. Al-Muyassar
Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1 s/d 30 (Transliterasi). 2010. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Imam Jalaluddin al-Mahalli
dan Imam jalaluddin as-Suyuthi. Terjemahan Tafsir jalalain berikut Asbabun
Nuzul Jilid 2. 2009. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al Mishbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. 2009. Jakarta: Lentera
Hati
Sygma. Miracle The
Reference. 2010. Bandung: Sygma Publishing
[1] Anwar
Abu Bakar. Al-Muyassar Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1 s/d 30
(Transliterasi). 2010. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hal. 594
[2] Imam
Jalaluddin al-Mahalli dan Imam jalaluddin as-Suyuthi. Terjemahan Tafsir
jalalain berikut Asbabun Nuzul Jilid 2. 2009. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Hal. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar