KONSEP ISLAM TENTANG
ALAM, MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat
Pendidikan Islam
Dosen : Marsyanah, M.Pd.I
Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur
(1310320005)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Sesungguhnya dalam menciptakan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): Ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS.
Ali Imran, 3;190-191).
Sifat manusia
selalu ingin tahu apa yang ditangkap oleh indranya, minimal setelah indranya
menangkap sesuatu, dia akan bertanya; apa itu? Dari mana asalnya? Bagaimana
sehingga ada? Dan bagaimana kesudahannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan filosfis.
Demikian halnya dengan alam, pertanyaan yang terlintas;
apa itu alam?; bagaiamana sehingga ia ada?; dan bagaimana ujung dari alam ini?
Pertanyaan tersebut telah berusaha untuk dijawab oleh para filosof, di antara
mereka terjadi perbedaan tentang asal-usul alam.Sehingga pertanyaan tidak
Sebatas tentang alam saja, tetapi pertanyaan-pertanyaan lain pun berdatangan
sehingga sampai pada pertanyaan yang berhubungan dengan hakekat “wujud” atau
“ada”, dan ini merupakan objek filsafat.[1]
Tuhan menciptakan alam semesta dengan berbagai macam ciptaan
yang mendukung kebutuhan manusia. Adam As (nenek moyang manusia) dipersiapkan
untuk menjadi pemimpin (khalifatullah) yang bertugas menjaga,
melestarikan, dan menyejahterakan kehidupan di bumi. Manusia dalam pandangan
Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki
karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam
ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan
kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk
Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan
yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus
dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Tuhan.[2]
Dengan dibekali nafsu dan akal manusia berpotensi untuk
mengolah sedemikian rupa tanah dan air yang terhampar di bumi. Pun demikian,
manusia juga berpotensi untuk membuat kerusakan bahkan kehancuran di muka bumi.
Oleh karenanya, pendidikan diperlukan agar manusia sekalian dapat menjalankan
tugas-tuganya dengan baik dengan merujuk pada ketentuan Allah yang termaktub
dalam kitab suci Alquran.
Dalam makalah ini penyusun akan mengurai konsep alam
manusia, dan pendidikan menurut perspektif islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep alam menurut perspektif Islam?
2.
Bagaimana hubungan manusia dengna alam?
3.
Bagaimana peran pendidikan terhadap hubungan manusia dan
alam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui konsep alam menurut perspektif Islam
2.
Mengetahui hubungan manusia dengna alam
3.
Mengetahui peran pendidikan
terhadap hubungan manusia dan alam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alam Menurut Perspektif Islam
1. Pengertian
Kata alam merupakan serapan dari bahasa Arab yang berakar
dari kata علم yang mempunyai
arti dasar bekas atau tanda sesuatu yang membedakan dengan yang lain.[3]
Di dalam bahasa
Indonesia, alam mempunyai bermacam-macam arti, antara lain: 1). dunia; 2).
segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi,
bintang-bintang,kekuatan-kekuatan); 3). daerah (keadaan, masa, kehidupan, dan
sebagainya); 4). Segala sesuatu yang
termasuk dalam satu lingkungan (golongan dsb) dan dianggap sebagai satu
keutuhan; 5). segala daya (kekuatan dsb.) yg menyebabkan terjadinya dan
seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini, seperti: hukum alam;
ilmu alam.[4]
Dari makna etimologi yang dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa alam adalah semua yang ada; baik yang bersifat materi atau nonmateri,
yang dilihat atau yang tidak. Tuhan tidak termasuk alam, walaupun Dia “Ada”,
karena Dia tidak bersifat materi atau non materi.
2. Proses
kejadian alam
Salah satu yang menjadi perdebatan antara para filosof
dan teolog muslim (Asy‘ariyah), adalah tentang asal-usul terciptanya alam. Secara umum ada
dua teori besar yang menjadi pangkal pembahasannya, yaitu teori keadaan tetap
(Steady-State Theory) dan teori dentuman besar (Big-Bang Theory).[5]
a. Teori
keadaan tetap (Steady-State Theory)
Teori ini berdasarkan prinsip kosmologi sempurna yang
menyatakan bahwa alam semesta di manapun dan bilamanapun selalu sama. Berdasarkan prinsip tersebut
alam semesta terjadi pada suatu saat tertentu yang telah lalu dan segala
sesuatu di alam semesta selalu tetap sama walaupun galaksi-galaksi saling bergerak menjauhi satu sama lain. Teori ini
ditunjang oleh kenyataan bahwa galaksi baru mempunyai jumlah yang sebanding dengan galaksi lama.
Dengan demikian teori ini secara ringkas meyatakan bahwa tiap-tiap galaksi
terbentuk (lahir) tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati. Jadi, teori ini
beranggapan bahwa alam semesta itu tak terhingga besarnya dan tak terhingga
tuanya tanpa awal dan tanpa akhir.[6]
b. Teori
dentuman besar (Big-Bang Theory)
Teori ini
berlandaskan dari asumsi adanya massa dan massa jenis yang sangat besar, karena
adanya reaksi inti kemudian meledak dengan hebat. Massa tersebut kemudian
mengembang dengan cepat menjauhi pusat ledakan.[7]
Para teolog (mutakallimin) mengatakan bahwa alam
ini baharu, dan adanya dari yang tidak ada. Pandangan teolog sejalan dengan
al-Kindi yang berpendapat bahwa alam diciptakan dari ketiadaan, dia merupakan
ciptaan Allah, beredar menurut aturannya (sunnatullah) tidak qadim
tetapi mempunyai permulaan.[8]
Kosmolog modern dalam menjelaskan penciptaan alam semesta
berpegang pada teori Big Bang. Menurut teori ini, alam semesta terkemas dalam
singularitas yang sekitar 15 miliar tahun kemudian meledak, pecah
berkeping-keping dengan dahsyatnya. Pecahan inilah yang menjadi atom,
bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Karena pemuaian alam semesta, galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dan akan
terus bergerak.[9]
Namun
begitu, Ibn Rusyd berbeda pendepat. Menurut beliau, alam diciptakan dari
sesuatu yang sudah ada, yaitu al-maddah, penciptaan ini terus menerus
sejak azali. Untuk mendukung argumentasinya, Ibn Rusyd merujuk kepada Alquran.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa firman Allah dalam Q.S. Hud (11):7.
“dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air...“
ayat ini zahirnya mengisyaratkan bahwa “ada” sebelum “yang
ada” yaitu, al-‘arsy dan air, ada waktu sebelum waktu ini, dan firman Allah
dalam Q.S. Ibrahim/17:48.
“(yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit,… “
Ayat ini pun mengisyartakan bahwa “ada yang kedua” setelah
“yang ada ini”, begitupun dengan firman Allah dalam Q.S. Fussilat (41):11.
“kemudian
Dia menuju ke langit dan langit itu masih berupa asap,… yang mengisyaratkan
bahwa langit diciptakan dari sesuatu.”
Walaupun Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang yang rasional
dan mempercayai apa yang dihasilkan oleh akal, namun dalam penetapan qidam-nya
alam, beliau menganggap tidak termasuk yang dapat dianalogikan dan dibuktikan
dengan penelitian, tetapi harus lewat pendengaran (wahyu).[10]
Dengan penjelasan ini, penelitian yang telah dilakukan oleh kosmolog, bahwa alam terjadi
dari ketiadaan, seakan membantah pendapat Ibn Rusyd, dan mendukung pendapat
teolog.
Bagaimana dengan isyarat-isyarat Alquran? Alquran seakan membenarkan
kedua pendapat tersebut. Saat Ibn Rusyd berpendapat bahwa alam diciptakan dari maddah
seperti yang telah dijelaskan beliau merujuk
kepada Alquran (Q.S. Hud (11): 117, Ibrahim (14 ):48, Fussilat 11),
demikian juga para teolog, mereka berargumentasi dengan menggunakan Alquran,
bahwa Alquran menggunakan lafal-lafal seperti: بدع, خلق, فطر dan menurut al-Asfahaniy kesemuanya mengandung makna
penciptaan dari yang tidak ada dan tidak ada contoh sebelumnya. Oleh karena
itu, kata bid‘ah (berasal dari kata bada‘a) bermakna: berkata atau berbuat
sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Selain itu, Alquran juga menyebutkan bahwa penciptaan terjadi
mempunyai permulaan, hal ini bermakna penciptaan mempunyai zaman atau waktu,
berbeda dengan pendapt Ibn Rusyd yang berpendapat keberadaan alam tidak
didahului oleh zaman.[11]
B. Hubungan Manusia
dengan Alam
Alam merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena susungguhnya Allah menciptakan
alam serta isinya hanya untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi justru dengan tangannya kadang manusia
merusak alam yang seharusnya dilestarikan, dimakmurkan, dan dipelihara sebagai
suatu amanah dari Allah. Padahal, alam seharusnya menjadi sahabat manusia yang
kemudian alam akan memberikan manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia.
Berkali-kali Allah mengingatkan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri karena dengan mengenal dirinya manusia dapat
mengetahui substansinya. “man arafa nafsah faqad arafa rabbah”, siapa
yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.
Dalam Alquran, manusia
disebut dengan tiga macam kata, yakni basyar, al-insan,
dan an-nas.[12] Pertama,
Kata basyar disebut dalam Alquran 27 kali. Kata basyar
menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS. Ali ‘Imran [3]:
47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan,
minum, hubungan seksual dll.
Kedua, kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalam Alquran yang dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori.
a. al-insan dihuhungkan dengan khalifah sebagai
penanggung amanah
b. al-insan dihubungkan dengan predisposisi negatif
dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah dan kikir
c. al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya
yang terdiri dari unsur materi dan non materi.
Ketiga, kata an-nas yang disebut sebanyak 240 kali dalam
Alquran mengacu pada eksistensi manusia sebagai makhluk social secara
keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya. Para humanis menyatakan bahwa manusia
memiliki dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya
mencapai tujuan yang positif. Mereka menganggap manusia itu rasional dan
dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini membuat manusia itu terus berubah
dan berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih sempurna.
Manusia dapat pula menjadi anggota kelompok masyarakat dengan tingkah laku yang
baik. Mereka juga mengatakan selain adanya dorongan-dorongan tersebut, manusia
dalam hidupnya juga digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan keinginan
mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai makhluk individu
dan juga sebagai makhluk sosial.[13]
Bagaimana pandangan filsuf
barat tentang manusia? Socrates misalnya, menyebut manusia sebagai Zoon
politicon atau hewan yang bermasyarakat, dan Max Scheller menyebutnya
sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan
gelisah.[14]
Ilmu-ilmu humaniora termasuk
ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu,
sehingga terdapat banyak rumusan atau pengertian tentang manusia. Selain yang
telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia
adalah sebagai berikut:[15]
1. Homo sapiens atau makhluk yang mempunyai budi.
2. Homo faber atau Tool making animal yaitu
binatang yang pandai membuat bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebutuhan
hidupnya.
3. Homo economicus atau makhluk ekonomi.
4. Homo religious
yaitu makhluk beragama.
5. Homo laquen atau makhluk yang pandai menciptakan
bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang
tersusun.
Di samping itu masih ada ungkapan lain tentang definisi manusia, di
antaranya, manusia sebagai: animal rationale (hewan yang rasional atau
berpikir), animal symbolicum
(hewan yang menggunakan symbol) dan animal educandum (hewan yang bisa
dididik). Tiga istilah terakhir ini menggunakan kata animal atau hewan
dalam menjelaskan manusia. Hal ini mengakibatkan banyak orang terutama dari
kalangan Islam tidak sependapat dengan ide tersebut. Dalam Islam hewan dan
manusia adalah dua makhluk yang sangat berbeda. Manusia diciptakan Allah
sebagai makhluk sempurna dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada
hewan, seperti potensi akal dan potensi agama. Jadi jelas bagaimanapun
keadaannya, manusia tidak pernah sama dengan
hewan.
Dalam ilmu mantiq (ilmu
logika) kita temukan rumusan tentang manusia dengan sebutn sebagai “al-insanu
hayawanun natiq” yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita menjadi insan atau
manusia adalah hewan yang natiq, yaitu berkata-kata, mengeluarkan
pendapat dengan berdasarkan pemikirannya.
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa
manusia bisa menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang
diberikan Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal), kalbu, jiwa,
raga serta panca indra. Dalil Alquran yang diajukannya adalah surah alA’raf:
“… mereka (manusia) punya
hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka punya
mata tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga tapi tidak
dipergunakan untuk (mendengar ayat-ayat Allah). Mereka itu sama dengan binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang yang lalai.” (QS:7:179).
Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa manusia memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk terbaik
dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Namun
apabila manusia tidak bisa mengembangkan
potensinya tersebut bisa saja manusia menjadi lebih rendah dari makhluk lain,
seperti hewan misalnya.[16]
1. Manusia mempunyai hakikat sebagai mahluk dwi tunggal.
Yaitu memiliki unsur rohaniah dan jasmaniah, unsur halus dan kasar, jiwa dan
raga.
2. Manusia mempunyai dua sifat hakiki yaitu mahluk
individual dan mahluk sosial. Sebagai mahluk individual manusia mempunyai
kebutuhan, keinginan, bahkan pemikiran tersendiri yang kemungkinan berbeda satu
dengan lainnya. Sementara sebagai mahluk sosial manusia mempunyai naluri untuk
hidup bersama, berkelompok, berbaur, dan tolong-menolong. Hal itu dikarenakan
karena manusia sadar bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri tanpa dukungan
manusia lainnya.
3. Manusia mempunyai hakikat sebagai mahluk susila
atau berketuhanan. Manusia menyadari bahwa mereka adalah mahluk yang lemah.
Mereka mempunyai hanya mempunyai sedikit kekuatan dan terbatas. Di luar sana
ada dzat yang mempunyai kekuatan yang lebih besar dan tak terkalahkan. Dari
situ manusia tunduk dan patuh terhadap Tuhan yang melindunginya. Manusia
mengikuti ketentuan-ketentuan berupa wahyu yang diterima. Tata hidup untuk
berlaku baik diterapkan menjadi norma dalam keseharian. Manusia dituntut mampu
membedakan yang baik dan buruk demi dapat memenuhi kehendak Tuhan.
Kesimpulannya adalah apabila hakikat di atas
terpenuhi dalam diri manusia maka dapat diyakini bahwa manusia tersebut adalah
manusia yang sempurna (insan kamil).
C. Peran Pendidikan
Islam Bagi Manusia
Dalam bahasa Arab terdapat
beberapa kata yang merujuk kepada
pendidikan. Antara kalimah yang selalu digunakan ialah:[18]
1. Tarbiyyah. Kalimah tarbiyyah berasal
daripada kata dasar ‘rabba’ (mengasuh, memelihara atau memimpin). Ia juga
merujuk kepada proses perkembangan potensi individu, mengasuh atau mendidik
untuk menuju kepada satu keadaan yang matang.
2. Ta’lim. Kalimah ta’lim berasal daripada
konotasi ‘alima (mengetahui, memberitahu, melihat, mencerap, menganggap). Ia
merujuk kepada proses menyampaikan atau menerima ilmu pengetahuan yang
kebiasaannya didapati melalui latihan, arahan, tunjuk ajar atau lain-lain
bentuk pengajaran.
3. Ta’dib berasal daripada kalimah aduba
(memperhalus, berdisiplin dan berbudaya). Ia merujuk kepada proses pembinaan
watak dan pengajaran asas-asas penting untuk hidup bermasyarakat, ini
termasuklah memahami dan menerima prinsip yang paling asas sekali yaitu
keadilan.
Menurut al-Attas, antara
ketiga-tiga kalimah tersebut, kalimah ta’dib lebih tepat kerana ia
mempunyai makna yang lebih spesifik untuk menggambarkan proses pendidikan
manusia berbanding dengan kalimah tarbiyyah yang mempunyai maksud yang
lebih luas sehingga meliputi hewan, di samping penekanannya kepada pengasuhan fisik
lebih daripada penngajaran mental dan rohani. Hujahnya diperkuatkan lagi dengan
mengambil contoh Rasulullah saw yang telah menggunakan perkataan ta’dib
untuk merujuk tentang pendidikan yang diberikan oleh Allah kepada Baginda.[19]
Semula alam (bumi) adalah sebuah padang yang gersang, tandus
dan panas serta penuh kerusakan. Tuhan menyuratkannya pada surat Al-a’raf ayat
56:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah
(Allah) memperbaikinya …”
Karenanya Tuhan menginginkan agar ada seorang
makhluknya yang dipercaya untuk mengemban amanat sebagai pemimpin di bui yang
bertugas memelihara kemakmurannya.
Tuhan menciptakan alam beserta isinya dan
menghendaki manusia sebagai khalifahnya (pengganti). Namun, malaikat
mempertanyakan kehendak-Nya, kenapa harus manusia? Bukankah itu tugas yang berat?
Kenapa tidak kami (malaikat) saja yang setiap saat bertasbih dan bersujud
kepada Allah? Justru bukankah mereka (manusia) suka membuat keonaran dan
kerusakan?
Lalu Tuhan menciptakan Adam
yang kemudian diajari ilmu-ilmu tertentu. Dengan fitrah dan potensinya, Adam
dapat membuktikan kepada sekalian penduduk surga bahwa beliau laik menjadi
seorang khalifatullah. Malaikatpun tunduk dan mengakui keunggulan manusia.
Segenap mahluk Allah bersujud hormat kepada Adam, manusia dengan daya pikir
yang hebat.
Di sana dapat kita lihat
bagaimana proses Adam yang semula diragukan akan kemampuannya, dapat
membuktikan siapa beliau sesungguhnya. Ya, terlihat pendidikan menjadi amat penting. Andai saja Adam tidak
diajarkan Tuhan (tidak mendapat pendidikan), tentu beliau tidak akan dapat
meyakinkan malaikat akan kemampuan manusia.
Manusia dibekali dengan nafsu dan akal. Nafsu untuk mengembangkan daya
kreasi dalam mengelola, mengolah, dan memakmurkan bumi Allah. Sedangkan akal
untuk memanifestasikan keinginan manusia.
Pendidikan membantu manusia mengasah akal dan potensi untuk memenuhi
nafsunya (keinginan). Bagaimana mereka mampu membuat kedamaian dan
kesejahteraan hidup sesuai yang diharapkan dapat diraih dengan menempuh
pendidikan. Namun demikian, pendidikan itu harus disandarkan kepada Sang Khaliq
untuk menjaga dan memelihara kesadaran manusia bahwa mereka harus menjaga
keseimbangan alam. Alam tidak untuk digunakan seenaknya melainkan harus melihat
dampak kedepannya. Pendidikan mengingatkan manusia agar bertindak arif dan
bijaksana bahwa alam bukan tujuan melainkan hanya sebuah titipan. Kaitannya
dengan alam sudah maklum bahwa manusia wajib menjaga kelestarian alam. Allah
berfirman dalam surat ar-Rum ayat 41-42:
“Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah
perjalanandimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)
Menurut konsep islam, konsep pendidikan yang
dikehendaki adalah pendidikan yang mempu mengoptimalkan daya potensi positif
yang diberikan oleh tuhan kepadanya untuk terus menerus menuju kesempurnaan-Nya
dan meminimalkan atau menumpas habis daya potensi negatif. Dan untuk itu,
manusia harus secara terus menerus mengasah diri, memperdalam kesadarannya,
memperhebat semangat atau kehendak dan etos kerjanya dan mempertajam
pemikiranny.dari sini maka tersiratlah bahwa manusia harus menguasai ilmu
dinianya sebagai akibat logis dari pemberontakannya untuk melawan kehidupan duniawi
yang tidak memuaskan dan terpanggil membangunnya dan harus menguasai ilmu
ukhrowi.[20]
Apabila kita melihat program pendidikan sebgai
usaha untuk menumbuh kembangkan anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan
insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif, dapat
dikatakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat
mengantarkan pada tumbuhnya daya kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan penndidikan keterampilan dari lingkungan
sekolah dan luar sekolah yang terprogram.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak
anak didiknya menjadi ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuh kembangkan
potensi dasarnya serta kecenderungan terhadap sesuatu yang diminati sesuai
dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki.
Pendidikan islam menjembatani manusia dan alam
agar saling berkolaborasi dalam mengesakan Tuhan. Sehingga, dengan pendidikan islam
seorang muslim diharap mampu menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan
kepribadian yang lebih baik (insan kamil) karena tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri adalah
agar manusia beribadah kepada Sang Pencipta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. alam
adalah semua yang
ada; baik yang bersifat materi atau nonmateri, yang dilihat atau yang tidak.
Tuhan tidak termasuk alam, walaupun Dia “Ada”, karena Dia tidak bersifat materi
atau non materi.
2. Secara
umum ada dua teori besar yang menjadi pangkal pembahasannya, yaitu teori
keadaan tetap (Steady-State Theory) dan teori dentuman besar (Big-Bang Theory)
3. Dalam Alquran, manusia disebut dengan tiga macam kata,
yakni basyar, al-insan, dan an-nas.
4. Beberapa rumusan atau definisi lain
tentang manusia adalah Homo sapiens, Homo faber, Homo economicus, Homo religious, Homo laquen
5. Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada
hakikatnya manusia digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang
bersifat instingtif. Hal ini menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang
memang ada dalam diri manusia.
6. Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki
dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya
mencapai tujuan yang positif
7. Menurut Martin Burber manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan yang
memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam.
8. Kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk
yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar
dirinya, yaitu lingkungannya.
9. Dalam bahasa Arab pula terdapat beberapa kalimah yang
merujuk kepada pendidikan. Antara kalimah yang selalu digunakan ialah tarbiyah, ta’dib, ta’lim.
10. Achmadi membagi tujuan pendidikan islam menjadi tiga
kareakter yaitu: Tujuan tertinggi, tujuan umum, dan tujuan khusus
DAFTAR PUSAKA
Rif’at Syauqi Nawawi. Konsep Manusia Menurut
al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami. (Ed. Rendra Pustaka Pelajar:
Yogyakarta. 2000).
Abd.
Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan membangun Pendidikan
Islam. 2009. Yogyakarta: Teras
Abdullah Aly. Ilmu Alamiah
Dasar. (Jakarta: bumi Aksara. 2000)
Abu al-Husein Ahmad ibn Faris ibn Zakariya.
Mu’jam Maqayis al-Lugah (Cet. ke-1; Beirut: Dar Iḥya al-Turas al-‘Arabiy. 2001).
Amir
Daien Indrakusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. 1997.
Didiek Ahmad Supadie. Pengantar Studi Islam. (Jakarta:
Rajawali Pers). 2011..
Drijarkara. Percikan Filsafat. Semarang: Kanisius. 1978.
Mawardi. Ilmu Alamiah Dasar.
Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia. 2004).
Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat
Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
Siti Khasinah. HAKIKAT
MANUSIA MENURUT PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Jurnal
Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. 2008).
Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT
AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari
Special Edition (2012) 7 - 22
Zakariya Basyir Imam. Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah.
Dirasah Madkhaliyah Muyassarah (Cet. ke-1; Khurtum: Dar al-Sudaniyah li
al-Kutub. 1998). Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012:
55-84.
Zar. Sirajuddin. Filsafat Islam. Filosof dan Filsafatnya.
cet. ke-4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Bina Aksara. 2009.
[1] Zakariya Basyir Imam. Tarikh al-Falsafah
al-Islamiyah. Dirasah Madkhaliyah Muyassarah (Cet. ke-1; Khurtum: Dar
al-Sudaniyah li al-Kutub. 1998). 84. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol.
9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[2] Rif’at Syauqi Nawawi. Konsep Manusia
Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami. (Ed. Rendra Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. 2000). 67
[3] Abu al-Husein Ahmad ibn Faris ibn Zakariya.
Mu’jam Maqayis al-Lugah (Cet. ke-1; Beirut: Dar Iḥya al-Turas al-‘Arabiy. 2001). h. 663.
[4] Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia.
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008). h. 33-34.
[5] Abdullah Aly. Ilmu
Alamiah Dasar. (Jakarta: bumi Aksara. 2000) hal. 34
[7] Mawardi. Ilmu Alamiah
Dasar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia. 2004). hal. 27
[8]
Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat
Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[9] Zar. Sirajuddin. Filsafat Islam. Filosof
dan Filsafatnya. cet. ke-4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
[10]
Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat
Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[13] Siti Khasinah. HAKIKAT MANUSIA MENURUT
PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
[15] Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina
Aksara. 2009. hal. 82. lihat juga Syahminan Zaini. Mengenal
Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya: 1980. hal.
5-6.
[16] Siti Khasinah. HAKIKAT MANUSIA MENURUT PANDANGAN
ISLAM DAN BARAT Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
[17]
Amir Daien Indrakusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
1997. Hal. 47
[18] Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT
AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari
Special Edition (2012) 7 - 22
[19] Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT
AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari
Special Edition (2012) 7 - 22
[20]
Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan membangun Pendidikan Islam. 2009. Yogyakarta: Teras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar