Kamis, 07 Desember 2023

RUMAHNYA YI UTIS

Aku sudah kadung kulino nyeluk dia Yi semenjak kuliah dulu. Pembawaannya yang santri-look membuat kami para teman nyaman saja menaruh nama depan Yi untuknya.
 
Asal kalian tahu, -kalian nggak perlu tahu sih. wkw- rumah yang yang ditinggalinya adalah rumah yang dulu ku ileri saat sibuk penugasan PPL (Praktik Profesi Lapangan). Di sanalah aku merangkai mimpi dan madi jinabat. ehhh
 
Yi Utis bilang bahwa rumah tersebut kosong alias tak berpenghuni. Mengingat dia lebih sering beraktifitas di Pesantren, aku dan teman-teman disegorah untuk asal datang dan manggon di rumahnya. "Kunci di atas pintu, kalau mau leren.. turon-turon.. dan rehat sejenak ala Karni Ilyas bisa mampir", sampainya.
 
Kupikir-pikir daripada nginep di masjid yang terbuka dan rentan, mending aku tidurin saja gulingnya yi utis yang nganggur itu. Itung-itung nyenengin dia, rumahnya dihuni uwong, bukan genderuwo.
 
Rumahnya ada di pemukiman padat penduduk. Jalan kampung lebar, truk gandeng bisa masuk. Depan rumah ada space latar yang cukup buat 1 unit Brio, 1 unit L300 dan 1 unit dokar sak jarane. Yi Utis mau open jasa Driver syari'ah dan Jasa angkut barang. Mau ikut keliling tahu bulat belum siap, soalnya.
 
Bangunan rumahnya minimalis, agak rendah, dan gelap. Minimnya cahaya sedikit memberi kesan angker. Lha ngono ki mentolo malah Yi Utis crita kalau di rumah itu ada penunggunya. edan po. ngono kok meh disewakno. tapi ngono yo ono sing gelem nyewo. 
 
Lha diceritain gitu dikira aku takut apa ya. Sorry ya, sebagai pengamal shalawat nabi. aku ga takut gitu-gituan, aku hanya takut kepada awloh ta'ala. eaaaakkkk. Aku ga bakal lari terbirit-birit bila ketemu hantu. Tapi aku akan terpincang-pincang bila ngedak tembelek.
 
Lah.... kedadean temenan. Di suatu malam.. aku tidur di satu kamar paling pojok, sebelah kamar mandi. Di malam itu entah gimana aku mimpi ketemu kunti naik di atas pohon. Tapi sumpah kunti itu cakep bener cuma sayang bau amis. Terus aku cerita ke yi utis. Dia malah ketawa, "tuh kan, bener".
 
Udah, aku ga mau bahas Kunti. lagian aku lupa minta nomor WA-nya.
 
Aku dan kawan-kawan menjadikan rumah mungil itu sebagai basecamp buat garap bahan ajar. kira-kira sebulan lamanya kami keluar-masuk rumah yi Utis. Garap tugas, makan, tidur, boker, begitu seterusnya. Tentu saja, nonton tv dan telpon mantan tak bisa ditinggal.
 
Rumah ini mengingatkanku pada rumah mbahku. Kala mandi kami harus nimba dulu. Meski ada bau-bau gimana gitu yaudahlah yang penting sabunan dan sikatan. Ingsaawoh bakteri-bakteri jahat mesakno dewe, cah kuliah kok nelongso nemen uripe.
 
Soal makan sebenernya kami punya banyak pilihan. Sebelah rumah jualan rames, depan gang ada bakmi kalau malam. Kalau mau mewah dikit ada sate kambing di deket pasar Doro. Tapi kok sampe sekarang aku belum pernah mampir ya. 
 
Ning begitu Yi Utis malah menyiapkan seperangkat mejikom, ompreng, wajan. Karena Yi Utis tahu bahwa makanan favorit kami adalah..... MIE INSTAN. Walhasil, kami jadi sering godog mi daripada jajan di luar. Wahai Menteri Kesehatan.. Periksalah Ginjal kamiii..
 
Mungkin di sini Yi utis juga mau mengenalkan budayanya selama ini, ngladeni awake dewe. Masak dewe, mbahumbah dewe, nimbo dewe. Pokoke opo-opo dewe. Yaudin sebagai wujud penghurmatan, kami pun menaati aturan-aturan rumahnya. Yakni apa-apa serba dewe. Termasuk di antaranya, pas mbuka lemari ono mie ambek ndog.. rasah kondo yi utis.. langsung masak dewe.. pangan dewe. wonge rasah diumani. hahahah
 
Apakah yi utis marah? oh tidak.. saat dia melihatku makan mie instan dia segera bilang, "sebentar jangan dihabisin dulu". Ku kira dia ngeluarin sate kambing. tak tahunya dia mengeluarkan sebakul nasi, "Nih, tak bawain dari rumah. Makan mie tambah ini biar kenyang".
Ajib... bukan main temenku ini.. Tahu benar kebutuhan rakyat marjinal seperti kamih..
 
Sungguh rumah Yi Utis adalah salah satu saksi perjuanganku merangkai mimpi (perjuangan turu, wkwk). Beneran, rumah jadul di Gulang itu bagai rumah Laksamana Maeda di mana teks proklamasi diketik Sayuti Melik. 
 
Bila kelak aku jadi tokoh nasional, bolehlah rumah Yi Utis itu dijadikan Cagar Budaya. Nanti masuk kena karcis Rp 5rb, parkir Rp 2rb. Dan itu semua biar dikelola oleh ahli waris Yi Utis. Sungguh pertemanan ini sangat bermutu. Meningkatkan produktifitas saat muda, dan membuka lapangan pekerjaan di hari tua.
 
Nanti pengunjung bakal bisa menyaksikan di mana saya dan kawan-kawan berdialektika, beradu gagasan, berdiskusi mengenai kemajuan pendidikan Indonesia. Nantinya pemandu akan menerangkan, "Ini adalah tempat di mana Bapak Ghofur muda mengetik RPP". Lalu seorang anak SMP nyeplos, "Buang waktu sekali. Bisa download ngapain mbuat!"
 
"Bapak/Ibu, ini adalah kamar di mana Bapak Ghofur muda merangkai mimpi memajukan pendidikan bangsa", terang pemandu. "Oh yang ketemu kuntilanak itu ya?", celetuk anak itu lagi.
 
Karena banyak omong akhirnya si pemandu mengikat anak itu dan dikunci di kamar tersebut. Biar dikekep Mbak Kunti. POkoke matjem-matjem, tak culik.
 
Di dapur para pengunjung dibuat takjub dengan mejikom antik yang masih cantik. Beberapa orang berniat membelinya untuk kenang-kenangan. "Mbak, saya mau beli ini mejikom, buleh?", tanya Rondiyah.
 
"Maap, bun. Itu barang cagar budaya sudah terdaftar sertifikat Unesco tidak diperjual belikan. sekali lagi mohon maap, ya", jawab si Pemandu. "Wah sayang sekali, Meskipun mejikomnya teyeng dan jelek, saya berencana un......". Jawab si Rondiyah.
 
Bruk!!!
"Kamu kenapa?", tanya si anak. "Ngomongin mejikom", jawab Rondiyah. "Udah kalian yang tenang. ada tante di sini", tandas Mbak Kunti.
 
Setelah wisuda aku sudah jarang main ke rumah yi Utis. Dengar-dengar rumahnya tengah dikontrakkan. "Lumayan buat celengan rabi", katanya. Sementara itu ia kembali memantapkan diri manggon di pesantren, among anak-anak soleh pergi ke barat mencari kitab suci.
 
Bertahun kemudian Yi Utis betulan rabi dengan pujaan hati. Rumah perjuangan itu akhirnya ia tempati. Sepertinya enak juga ya, manten anyar tinggal di rumah sendiri dan hanya berdua. Setiap hari, pagi-siang-malam bisa berolahraga. hahaaa
 
Lama sekali aku tak main ke rumahnya. Di samping karena sibuk syuting ya sibuk mencintaimuuuu eakkk.. 
 
Dan akhirnya aku ada kesempatan pergi ke Kudus. Sekalian aja ku atur jadwal mampir. Celakanya, aku malah lupa jalan menuju rumahnya. Segera saja aku tilpun yi utis untuk jemput di titik aku kehilangan arah.
 
Sampai di rumahnya aku tak kuasa menahan tangis.. pret!!.. yang betul, aku tak kuasa menahan dahaga. "Yi, ngombe yi..", paksaku. Sungguh calon tokoh nasional ini tak tahu malu. Kapa'ake. Tamu VIP kok. hweheheh.
 
Kami ngobrol asik sekali, tukar kabar masing-masing, keluarga dan tak lupa info-info peluang penghasilan tambahan. Ini yang penting. Jadi laki-laki memang tak mudah. Setiap hari yang dipikir adalah duit-duit-duit dan Nita Gunawan.
 
BTW Sebentar lagi Yi Utis akan punya anak. Istrinya meteng tuo dan siap melahirkan. Topik pembicaraan kami pun beralih soal keribetan calon ayah. Yang harus siap sedia, harus peka, menemani, menyayangi, wangi, dan tentu saja banyak duit.
 
Tak terhitung biaya kontrol di bidan atau RS, beli obat, vitamin, daster baru, cawet baru, aneka perlengkapan bayi, dan biaya lahiran itu sendiri. tak apa siang malam ayah mandi keringat, yang penting anak dan ibu sehat. 
 
Wah, rumah yang dulu tempat aku ngangsu kaweruh dan ngangsu banyu nggo cewok ngising ini, kini akan melahirkan generasi terbaik. Yang dapat melanjutkan perjuangan yi Utis dalam mengamong anak-anak soleh, dan menampung kaum-kaum yang membutuhkan nggon turu sepertiku dulu.
 
Semoga sang jabang bayi akan bersinar seperti mentari yang tegas nan menerangi dan seperti rembulan yang menghangatkan.
 
"Terakhir. Yi, aku meh njemput adiku tapi lali nggowo helm. Tulung silehi ya. Sesok nek ngudus neh tak balikke", kataku sebelum pamit.
 
Lalu yi Utis memberikan helmnya padaku. Dan akupun melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya. Dari jauh Yi Utis mringis sambil ndemimil, "Cah iki ket mbiyen cen rak leren olehe ngrepoti".