Sabtu, 31 Oktober 2020

JONI. TANGGUNG JAWAB SIAPA?

oleh: Ghofur

 

Entah dari mana ia berasal, sebulan terakhir ini Joni – bukan nama sebenarnya – berkeliaran di sekitaran ibu kota kecamatan Wedung. Daerah operasinya mulai dari Baleromo (Balai Desa) Wedung hingga Jalan Angin-angin. Aneka polah ia peragakan dari membawa bedil-bedilan, teriak-teriak sendiri, memutar ampli speaker yang tak mungkin bersuara, hingga kejar-kejaran bersama anak-anak.

 

Sebenarnya Joni tak sendirian. Selain dia ada juga dua temannya yaitu Pak Tua – juga bukan nama sebenarnya – dan Mas Joko – lagi-lagi bukan nama sebenarnya – yang akhir-akhir ini hilir mudik di lokasi yang sama. Hanya saja Joni lebih konsisten dalam menjalankan misinya. Hal tersebut membuat kami warga Wedung Smart City mau tak mau menjadi akrab dengan obah polah si Joni.

 

Di Angin-angin Jonisering main di warung Sate Ojek Mbak Ima. Alih-alih mengusirnya Mbak Ima justru memberinya makanan dan minuman. Mamah muda berhati lembut ini tanpa sungkan mengajaknya ngobrol. Awalnya saya heran, bagaimana caranya ngobrol dengan orang gila? Apalagi si Joni gagu. Saya mengetahuinya dari unggahan stroy tempo hari. Namun, berdasarkan penjelasan Mbak Ruri – sebelahnya Mbak Ima –, walaupun Joni gagu dan mengidap gangguan jiwa, dia masih bisa memahami apa yang orang lain katakan. Bahasa sederhananya masih nyambung gitu lah. Kalau begitu sih Joni tidak gila tapi tuna grahita.

 

Tunagrahita atau keterbelakangan mental memiliki IQ di bawah rata-rata orang normal pada umumnya. Berbeda dengan orang gila, penyandang tuna grahita masih bisa dididik dan diajak berkominkasi. Meskipun terkadang ada hambatan tergantung tingkat gangguannya.

 

Kembali ke Joni. Saat itu Joni bercerita bahwa dia sering berantem sama anak-anak. Mereka suka menggodanya hingga melukainya. Hal itu membuat Joni geram dan melakukan pengejaran terhadap anak-anak. Terkait hal tersebut saya memang beberapa kali mendapatinya. Samapai mata saya sepet dan jengkel juga. Terakhir kemarin sekitar pukul 9 malam. Segerombol anak usia SD meneriaki Joni hingga terjadi kejar-kejaran. Ya Allah.. Hatiku terenyuh. Saya jadi heran sebenarnya yang gila itu siapa?

 

Pantas saja saat aku bersimpangan dengan Joni minggu lalu dia mendelik-mendelik dan marah-marah melemparkan batu ke orang lewat. Rupanya memang ada yang menyulut api di sana. Joni marah dan menggila. Dan tentu saja hal itu membahayakan banyak orang.

 

Beberapa kali juga saya melihat Joni adu mulut dengan seorang bapak paruh baya. Entah apa yang mereka perdebatkan. Hal ini tentu mengganggu suasana Wedung yang santun dan damai. Saya takut terjadi baku hantam. Ya, baku hantam antara orang waras dan orang gila. andai Joni mengalah, lalu siapakah yang sekarang waras dan siapakah yang gila? Jarene sing waras ngalah.

 

Fakta mengenai Joni di atas menggambarkan sedikitnya dua hal. Pertama, moral. Ada permasalahan moral dalam diri masyarakat kita di mana orang waras bukannya bersikap manusiawi justru semena-mena. Kalau benar Joni itu gila, biasanya orang gila yang menggoda orang waras. Ini malah orang waras menggoda orang gila.

 

Kedua, adalah pembiaran. Sudah sebulan lebih tapi Joni dan kawan-kawan masih berkeliaran di jalan tanpa ada tindakan untuk merehabilitasinya. Sejauh ini Joni tidur di pinggir jalan dengan alas dan bantal yang entah dari mana ia dapatkan. Saya berperasangka baik ada warga yang memberinya. Lalu bagaimana dengan makan dan kebutuhan pribadi lainnya? kita tak tahu di mana ia membersihkan diri dan buang air besar.

 

Jika kondisi ini didiamkan dan tidak ada upaya untuk merehabilitasinya, apakah kita akan terus membiarkan Joni hidup dalam 'pertempuran' dengan anak-anak kurang ajar itu. Belum lagi potensi konflik dengan masyarakat yang belum ramah dengan orang orang seperti Joni. yang lebih mengkhawatirkan, adalah semakin banyak munculnya Joni-joni lain yang akan mencoba peruntungan nasib di lingkungan kita. Jony everywhere.

 

Semula setiap ada orang berbaju kumuh, rambut gimbal, muka kusam, atau tuna grahita berkeliaran tidak jelas di jalan saya tidak seketika menyimpulkan dia memang gila. Kan bisa jadi dia intel yang sedang menyamar mencari pelakor di sinetron Azab Indisiyir. Atau bisa juga seorang wali utusan Tuhan. Hanya saja ketika melihat dia kencing di pinggir jalan, aku mulai ragu.

 

Sampai saya mendengar seorang teman menduga bahwa Joni dibuang keluarganya. Mirip kaya orang punya kucing biar gak kembali lagi ke rumah dia dibawa naik mobil lalu ditinggal di jalan. Secara, Joni muncul tiba-tiba ke bumi Wedung Smart City. How come?

 

Sebagai sesama manusia tentu sudah sewajarnya kita hidup berdampingan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat. Maka saya mempertanyakan di mana peran pemerintah dalam penindakan kawan kita Joni dan sedulurnya. Dia tuna grahita, tuna wicara, tuna wisma, masih ditambah tuna saudara.

 

Mbok yaho instansi terkait segera bertindak untuk merehabilitasinya, dan merawatnya dengan baik. Joni juga perlu rumah untuk berteduh. Berpakaian dan makan dengan lahap di tempat yang layak. Apakah hal seperti ini juga menunggu laporan masyarakat? Sayang sekali, biasanya warga ogah dengna urusan lapor-melapor karena takut repot sendiri.

 

Saya juga menghimbau masyarakat untuk bersikap wajar menghadapi orang gila atau tuna grahita. Tak perlu berlebihan menjauhi atau lebih-lebih justru menyakiti. Bagaimanapun kondisinya, mereka juga manusia ciptaan Tuhan yang wajib untuk dijaga hak hidupnya. Lalu apa pasal kita tega menyakiti dan mempermainkannya? Apa kita sudah kekurangan mainan? Atau yang lebih buruk kita kehilangan nurani untuk saling menghargai.

 

MENGAJAK SISWA SD KE SAWAH

 


Mengajak siswa sekolah dasar pergi ke pematang sawah bukanlah perkara mudah. Kalau tak percaya coba saja bikin mini riset beberapa sekolah. Berapa kali guru mengajak siswa terjun ke luar sekolah. Alasannya tidak lain adalah merepotkan. Di sini bukan soal repot mengenai akomodasi atau instrumen pembelajaran, bahkan itu hal yang saya anggap sepele. Yang saya maksud adalah tentang perilaku anak ketika di luar sekolah.

Kita semua maklum anak seusia siswa sekolah dasar mempunyai polah yang luar biasa. Beberapa di antaranya bahkan tak salah bila kita menyebutnya hiperaktif. Bagaimana tidak? Mereka selalu bergerak tanpa henti, sulit berkonsentrasi, dan duduk manis mendengarkan arahan guru. Bahkan ketika mereka diberikan tugas mandiri, mereke akan mencari celah untuk menabuh meja, mengunyah makanan, memainkan barang yang mereka bawa dari rumah, dan sebagainya.

Sederet tingkah mereka membuatku menduga akan satu hal bahwa mereka tak tertarik dengan pembelajaran yang diberikan. Level mereka adalah bermain dan bermain. Guru masih kepayahan mengajak siswa untuk berpikir tingkat rendah (LOTS). Lalu bagaimana mereka mampu berpikir tingkat tinggi (HOTS)?

Kalau guru membiarkan hal ini terus berlangsung maka yang ada adalah basa-basi pembelajaran. Guru sekadar menyampaikan pembelajaran dan siswa tak menghiraukan. Kita tahu bahwa kita tidak bisa meraih perbaikan bila kita terus menerus menggunakan cara yang sama. Kita harus berbuat sesuatu yang baru.

Karena materinya adalah ekosistem maka kenapa saya tidak membawa mereka ke lingkungan alam yang nyata? teras sekolah terlalu sempit dan monoton untuk kami tempati. Akhirnya saya membawa mereka ke sawah dekat sekolah.

Sumpah, ini adalah hal gila yang membuat saya gemetar. Saya terlalu berani membawa anak kelas empat ke luar kelas. Ya.. mereka berjumlah 40 dan saya seorang diri. Lain waktu saya jelaskan mengapa. Meskipun begitu saya tak menyurutkan niat untuk melakukan hal ini. Pendidikan adalah proses. Meskipun itu berat saya akan tetap melakukannya.

Saya tidak akan menceritakan apa yang kami lakukan di sawah. Kita sudah mengetahuinya dan itu sudah biasa. Saya akan mendedahkan kegilaan yang anak-anak lakukan. Mula-mula anak-anak dibariskan dan keluar dari gerbang sekolah menuju lokasi sawah.

Mario adalah anak yang usil. Terserah kalian mau melarangku memberikan stereotip itu kepadanya. Bagiku yang ia lakukan adalah usil dan dia sadar apa yang dilakukannya. Di tengah jalan ia berlari meninggalkan barisan dan memancing anak laki-laki lain melakukan hal yang sama. Sambil berteriak-teriak ia bilang, “Aku tahu tempatnya!!!”.

Oke.. Hal yang sepele dan kita masih dapat mentolerirnya. Kami melalui kampung yang padat. Bagaimana kalau Mario menendang tempat sampah warga? Sehingga semua sampah keluar dan berserakan. Sebagai guru yang sabar apa yang akan anda lakukan?

Untuk hal itu kita bisa melupakannya. Mari kita berlanjut ke sawah. Sesampai di sana anak-anak berkumpul untuk menerima kuis yang saya berikan. Kita menyepakati 30 menit untuk mengerjakannya. Beberapa siswa menyebar ke sisi selatan, utara, tengah, sisanya berkerumun di dekatku. Tentu anda sudah membayangkan di mana Mario berada. Ia ada di ujung sana berlarian dan berteriak, “Woi.. sini.. ada belalang”.

Sementara itu Andi di pinggir kali. Naik perahu milik warga dan mencoba memainkan kemudinya. Ya Tuhan, apa yang akan aku katakan bila tiba-tiba pemilik datang? Guru macam apa yang membiarkan siswanya seenaknya memainkan barang orang lain.

Lalu anda mendengar siswa ramai berteriak minta tolong karena ada sepatu temanya yang jatuh ke sungai. Anda pun harus mencari tombak untuk meraihnya. Dan ketika sepatu sudah didapat Mario kembali bersama lima anggotanya dengan celana penuh lumpur.

Ya ampun. Sebuah hal yang cukup mengerikan dan tentu menakutkan. Anda bisa membayangkan bagaimana kami kembali ke sekolah dengan seragam yang belepotan. Apa yang akan kepala sekolah bilang dan apa yang akan orangtua mereka katakan? Citra guru yang cerdas dan indah akan rontok oleh karena tingkah polah siswa yang semrawut dan menggemaskan.

Sekarang kita tahu itulah mengapa guru jarang membawa siswa luar sekolah. Lha wong di kelas saja susah diatur apalagi di luar? Sehingga lebih banyak dari guru menyebunyikan siswanya di sekolah agar tidak diketahui ke-hiperaktifa-annya, teriakannya, atau tendangan mautnya.

Namun, aku tak memerdulikannya. Kalau kita mau jujur, semua yang mereka lakukan adalah wajar dan natural. Maka ketika mereka melakukan hal di luar intruksi itu adalah sebuah wujud naluri kritis siswa untuk mencari tahu, mencoba hal baru, menunjukkan sesuatu, menemukan, mengungkapkan, mengasosiasikan, dan mengaktualisasi diri. Dan itu adalah luar biasa.

Biarkan mereka menjadikan alam nyata sebagai bahan pembelajaran mereka. Manusia adalah bagian dari alam kenapa kita mengurungnya dalam tembok yang hampa akan kreatifitas. Jangan sampai anak-anak kita justru semakin jauh dari lingkungan yang kita ajarkan untuk mencintainya.

Adapun soal perilaku negatif, kita bisa membenahinya. Kita adalah orang tua. Kita tahu bagaimana cara mendidik anak. Yang mahal itu bukan tempat sampah, atau celana, atau obat gatal, tapi pengalaman dan pembelajaran berharga dalam masa kecil mereka.