Senin, 03 Maret 2025

REPUBLIK SEMU

Sejarah Singkat Republik Romawi 

Ketika pemerintah memberikan layanan, kesannya seperti kebaikan pribadi, bukan amanat undang-undang. Ketika mereka memberi bantuan, embel-embelnya adalah ini bantuan atas kebaikan presiden, atas kebaikan gubernur, atau bupati, bukan bantuan yang memang hak  bagi warga negara.

Miskonsepsi ini terjadi akibat ketidak pahaman masyarakat mengenai republik. Republik adalah masyarakat tanpa raja. Artinya setiap orang adalah raja, alias setara. Kesetaraan membuahkan persamaan nasib dan keinginan untuk maju bersama menjadi lebih baik.

Prinsip egaliter diusung guna mewujudkan persamaan hak. Lalu dipilihlah sekelompok orang untuk mewujudkan mimpi itu. Mereka yang duduk di pemerintahan untuk mengatur masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban.

Namun sayangnya, yang ditunjuk sebagai pemerintah malah bertindak semena-mena. Begitu duduk di singasana penguasa, justru bertingkah bak raja. Menerjang aturan yang berlaku, membuat aturan sesuai yang dimau.

Mereka tidak dibayar karena duduk sebagai pejabat, tapi karena bekerja. Mereka lupa bahwa mereka dibayar atas dasar profesionalisme untuk melayani warga. Mereka bukan siapa-siapa, karena kita tidak mengenal konsep kasta.

Lantas apa yang membuat mereka jumawa seolah berstatus lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Organisasi pemerintahan dibuat untuk mempercepat birokrasi. Ada yang harus duduk di bawah, ada pula yang di atas. Semua diatur demi kemudahan layanan masyarakat. Tapi realitanya, banyak yang merasa semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi pula rasa kekuasannya.

Seharusnya kita paham bahwa republik memandang setiap orang adalah sama. Tak perduli dia pekerja atau pemerintah, pria atau wanita. Masyarakat tanpa kelas dapat terwujud hanya dengan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Seorang pejabat dia bekerja karena dia berdedikasi. Ia melaksanakan pembangunan karena amanat konstitusi. Bukan karena kebaikan, tapi memang itu tugas yang harus dilakukan.

Tumbu oleh tutup. Celakanya ,Tak beda dengan pemerintah, warganya juga demikian. Banyak dari warga yang meminta bantuan pejabat karena dia kaya dan punya sumber daya yang dapat diperalat guna kepentingan sesaat. Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah melaksanakan fungsi anggaran sebagaimana mestinya. Kalau memang itu kebutuhan sudah barang tentu teranggar dengan baik.

Sebenarnya Warga tidak mempunyai hak meminta karena kita setara dan juga tidak harus meminta karena sudah tersedia.

Masyarakat yang suka meminta kepada pejabat membuat rasa ketergantungan meningkat. Hal itu memunculkan ego pribadi dan membuat prinsip kesetaraan kabur. Kebaikan bersama berubah menjadi kebaikan individu. Dan hal itu terus dipelihara hingga muncul stigma kebaikan personal.

Tanpa harus distigma baik Pemimpin sudah seharusnya baik sejak dari awal. Pemerintahan memang seharusnya baik, bukan karena kebaikan individu.

‘Kebaikan individu’ yang mencuat membuat harga diri warga menjadi rendah sehingga diobral dengan murah. Terbukti, politik uang masih mendominasi. Mahalnya ongkos demokrasi diakibatkan lemahnya kepedulian warga terhadap nilai yang hakiki.

Setiap pemilihan pejabat politik yang mana adalah lowongan kerja menjadi ajang pesta serangan fajar. Ada uang kau ku pilih, tak ada uang, ngapain nyalon. Dasar blo’on. Betapa bobroknya [re]publik ini. Tumbu oleh tutup.

Kini, republik menjadi transaksional. Terpilihnya menjadi pejabat karena relasi dan nominal. Kesejahteraan tak lagi prioritas nasional melainkan kepentingan komunal. Tidak ada lagi pemerintah yang berdedikasi, yang ada hanyalah individu baik hati. Itupun bila tidak ketahuan korupsi.