Minggu, 30 Agustus 2015

REVIEW FILM “TAARE ZAMEEN PAR”


Film dengan judul “Taare Zameen Par” yang disutradarai oleh Amir Khan merupakan film yang sangat inspiratif. Cerita dalam film ini benar-benar sangat menyentuh, dan secara eksplisit menggambarkan tentang realita pendidikan yang terjadi pada anak, baik dalam sektor keluarga (orang tua) maupun sekolah (guru).
Setiap anak lahir dengan membawa berbagai keunikan tersendiri, mereka memiliki impian dan ketertarikan yang berbeda, dan tentu tidak sama dengan orang lain termasuk orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Entah karena lupa, tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup, atau bahkan karena sikap egois yang ada pada orang tua, sehingga mereka sering tidak mau tahu dengan apa yang dirasakan dan dihadapi oleh anak-anaknya. Oleh karenanya, masih banyak orang tua yang meminta dan menuntut anak-anak mereka bisa mencapai dan menjadi apa yang dapat diraih oleh orang lain secara umum.

Praktik pendidikan yang terjadi di sekolah formal pun tak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam keluarga. Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, banyak dari mereka yang kurang bisa mendengarkan pendapat yang datang dari para siswa. Gambaran ini seolah ingin menegaskan bahwa guru adalah pihak yang paling tahu dalam proses pembelajaran. Zaman telah berubah, sumber informasi ada di mana-mana dan dapat dijangkau dengan mudah oleh anak-anak. Oleh sebab itu, anggapan yang demikian sangatlah tidak tepat. Proses belajar bisa terjadi dengan pola interaksi yang terjadi secara timbal balik dari guru-siswa, maupun siswa-guru. Pertukaran informasi itulah, yang nantinya dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan siswa. Kemampuan mengelola proses pembelajaran juga harus disertai dengan kemampuan guru dalam memahami karakteristik setiap siswa. Pemahaman terhadap karakter setiap siswa dapat membantu guru dalam menentukan metode dan strategi belajar yang tepat. Setiap anak itu unik, mereka memiliki cognitive style yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya jika guru menerapkan metode yang selalu sama dalam proses pembelajaran. Jika keadaan ini terus dilakukan, maka penyampaian informasi dalam dunia pendidikan tidak akan merata, sebagian pihak diuntungkan dengan metode itu, sehingga mereka dapat mengikuti proses pembelajaran dengan lancar. Sedangkan siswa yang lain akan nampak sebagai siswa yang tidak mampu, terbelakang, malas dan berbagai labeling negatif lainnya, yang belum tentu tepat dengan keadaan mereka.


Film ini bercerita tentang anak berkebutuhan khusus bernama Ishaan Awasthi. Ishaan adalah seorang anak berusia 8 tahun dan tidak menyukai sekolah. Hal ini dikarenakan nilai-nilai Ishaan selalu buruk dan selalu gagal dalam setiap ujian. sehingga Ishaan sering sekali mendapat hukuman dari guru-gurunya disekolah dan menjadi korban bullying teman-teman sekolahnya. Baik di sekolah maupun dirumah Ishaan selalu mendapatkan labeling negatif oleh guru dan lingkungannya seperti, nakal, bodoh, idiot, tidak tahu malu dsb.
Ishaan merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakak Ishaan yang bernama Yohaan adalah seorang pelajar yang sukses, baik dalam soal pelajaran maupun dalam bidang olah raga. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang setiap saat merasa kesulitan dan frustasi karena ketidakmampuannya dalam membantu Ishan. Sedangkan ayahnya adalah seorang eksekutif sibuk yang sukses dan mengharapkan yang terbaik dari anak-anaknya.
Serupa dengan keadaan itu, Ibunya pun sering sekali merasa kebingungan dalam mengajari Ishan ketika di rumah. Ishan selalu melakukan kesalahan yang serupa baik dalam menulis maupun berhitung. Ibunya sering merasa sedih dengan keadaan ini, karena anak-anak seusianya dapat melakukan hal-hal itu dengan sangat mudah, sedangkan Ishan sangat sulit untuk melakukannya. Di samping itu, Ishaan sering sekali menunjukkan perilaku bermasalah; terlibat perkelahian, berpura-pura sakit, bolos sekolah serta tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Setiap perilaku negatif yang dilakukan oleh Ishaan dan itu diketahui oleh Ayahnya, maka Ishan dipastikan memperoleh “punishment” dari sang Ayah. Jika ini sudah terjadi baik Ibu maupun Yohaan kakaknya tidak dapat melakukan apa-apa untuk membantu anak dan adik yang disayanginya.
Di sisi lain, Ishaan mempunyai kelebihan yaitu seni. Daya imajinasi Ishaan sangat bagus sehingga bisa menghasilkan lukisan yang luar biasa. Kelebihan ini yang tidak tampak oleh orang lain. Keluarganya mengetahui bakat Ishaan ini tapi tidak menganggapnya sebagai suatu kelebihan. Sehingga cara pandang Ishaan dianggap sebagai suatu hal yang aneh dan tidak biasa.

Berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi Ishaan itulah ayahnya bermaksud mengirimnya ke sekolah berasrama. Ishaan yang tidak menyukai sekolah berusaha membujuk kedua orang tuanya untuk tidak mengirimnya ke sekolah tersebut. Tapi ayahnya bersikeras tetap mengirimnya dengan alasan untuk kebaikan Ishaan sendiri. Ishaan menganggap bahwa sekolah di asrama merupakan hukuman orang tua terhadap anak-anak yang nakal dan tidak mau menurut. Anggapan ini diperjelas dengan gaya dan sikap mengajar guru disekolah tersebut yang cenderung keras dengan alasan untuk menegakkan kedisiplinan.



Suasana kelas dan asrama yang tidak menyenangkan membuat Ishaan semakin frustasi, semua guru menyebutnya bodoh dan Ishaan menerima berbagai hukuman karena tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Keadaan ini semakin membuat Ishaan tertekan dan akhirnya menjadi pendiam dan penyendiri. Ishaan menjadi ketakutan untuk bertemu dengan guru, tidak bersemangat untuk melakukan apapun termasuk menggambar yang tadinya merupakan aktivitas yang paling dia senangi. Keadaan ini terus berlangsung hingga akhirnya datanglah guru seni pengganti yang bernama Ram Shankar Nikumbh (Aamir Khan).
Guru baru ini mempunyai metode mengajar yang sangat berbeda dengan guru-guru yang ada disekolah tersebut. Hal ini membuat Nikumbh sangat disukai oleh para siswa, tapi tidak oleh Ishaan. Keanehan ini membuat Nikumbh berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan Ishaan. Sampai pada suatu waktu ketika Nikumbh sedang berkumpul di ruang guru dan para guru membicarakan tentang Ishaan bahwa Ishaan adalah anak bodoh yang tidak bisa menulis dan membaca. Terdorong oleh rasa ingin tahu Nikumbh lalu melihat semua buku tulis Ishaan dan akhirnya ia menyadari bahwa Ishaan ternyata mengalami Dyslexia.



Oleh sebab itu, Dia membuat orang tua dan guru lainnya menyadari bahwa Ishaan bukan anak yang abnormal, tetapi anak yang sangat khusus dengan bakat sendiri. Dengan waktu, kesabaran dan perawatan, Nikumbh berhasil dalam mendorong tingkat kepercayaan Ishaan. Dia membantu Ishaan dalam mengatasi masalah pelajarannya dan kembali menemukan kepercayaan yang hilang, serta mau kembali aktif dalam menuangkan imajinasinya dalam lukisan-lukisan yang selama ini menjadi dunianya. Hingga akhirnya Ishaan dapat membaca, menulis dan berhitung, bahkan Ishaan akhirnya memenangkan lomba melukis yang diadakan di sekolahnya dan mendapatkan standing applause atas bakatnya. Lukisan Ishaan ini akhirnya dicetak dalam buku tahunan sekolah dan dibagikan oleh seluruh siswa dan orang murid yang hadir.



PEMBAHASAN
            Film “Taare Zaamen Par” dapat menjadi gambaran dari dinamika keluarga Asia secara umum. Dimana masing-masing subsistem berperan sebagaimana mestinya, dan secara tradisional masih disandarkan pada jenis kelamin. Ayah sebagai kepala keluarga bekerja di luar rumah guna menghidupi keluarga. Ibu berperan sebagai isteri yang siap melayani dan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, termasuk membimbing dan mengajari, serta berperan sebagai pihak yang mengontrol semua urusan anak.
Kurangnya peran keterlibatan ayah dalam membimbing anak-anaknya. Sosok ayah dalam film itu digambarkan sebagai pihak yang sibuk dengan urusan pekerjaan dan memiliki harapan yang tinggi untuk kedua anaknya. Sosok ayah juga digambarkan sebagai sosok pribadi yang otoriter dalam mendidik kedua anaknya. Sehingga ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh anaknya cenderung mengedepankan komunikasi satu arah, kurang mendengarkan pendapat orang lain dan ringan tangan. Sikap semacam inilah yang menyebabkan anggota keluarganya yang lain seperti kurang dapat mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka inginkan.
Sedangkan pola didik ibu Ishaan sendiri sebenarnya memakai gaya Otorisasi dan Demokratis. Ibunya berusaha mendorong Ishaan untuk mandiri dengan cara memberikan dukungan secara verbal. Hanya saja ketika berhadapan dengan suaminya, ia cenderung diam karena sikap suaminya yang tidak mentolerir adanya pelanggaran.
Ketidaktahuan mereka akan masalah Dyslexia yang dihadapi Ishaan juga karena tidak adanya komunikasi dan tidak mencari tau informasi tentang masalah yang dihadapi oleh anaknya. Ayah menginginkan anak-anak yang cerdas, pintar, dan sukses secara akademik sehingga mereka dapat menjawab tantangan zaman yang terus menuntut persaingan. Keinginan ayah nampaknya tidak begitu sulit bagi  Yohaan karena dia memang anak yang cerdas. Sedangkan bagi Ishaan, harapan itu adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Bukan karena dia malas ataupun nakal seperti yang dipahami oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Semua itu disebabkan oleh gangguan kesulitan belajar yaitu Dyslexia yang cukup terlambat diketahui baik oleh orang tua maupun sekolah. Akibatnya, anaklah yang menjadi korban, dan masalah-masalah perilaku yang ditunjukkan olehnya adalah bentuk pelarian dari ketidakmampuannya, bukan karena dia ingin melakukannya.



Peranan sekolah yang tidak mengetahui gangguan yang dialami Ishaan juga memperparah keadaan. Labeling yang diberikan guru terhadap Ishaan membuatnya tertekan dan akhirnya berperilaku seperti yang dilabelkan, membuat gurunya semakin yakin bahwa Ishaan memang nakal, tidak disiplin, dan bodoh. Meskipun ada undang-undang negara yang menyatakan bahwa tiap sekolah tidak boleh menolak murid yang special needs, tapi pengetahuan guru soal anak special needs juga harus ditingkatkan. Karena apabila pengajar tidak mengetahui gangguan belajar apa yang terjadi terhadap anak muridnya, akibatnya adalah si anak yang menjadi korban. Anak dapat berubah dari yang bersemangat menjadi pemurung, tidak bersemangat, frustasi dan menarik diri dari orang lain. Pada kasus Ishaan, dia bahkan tidak mau lagi menggambar dan tidak mau lagi berimajinasi, bahkan bermimpi pun dia tidak berani.
Selain Dyslexia, Ishaan juga mengalami apa yang disebut Dyskalkulia dan Dysgraphia, yaitu ketidakmampuan untuk menulis, berhitung dan mengukur. Hal ini tampak dari banyaknya tulisan huruf yang terbalik dan ketika Ishaan tidak dapat menangkap dan melempar bola kepada temannya. Proses belajar dan mengajar Ishaan menjadi lebih mudah apabila orang tua dan guru mengetahui gangguan belajar yang dialami Ishaan. Nikumbh melatih Ishaan menulis secara perlahan muali dari huruf besar lalu pelan-pelan tulisannya diperkecil sehingga akhirnya Ishaan dapat menulis, membaca dan berhitung.
Walaupun menggambarkan adanya tidak tahuan pihak sekolah dalam memahami gangguan belajar yang dialami Ishaan, film ini juga menggambarkan tentang proses dan upaya dari orang tua untuk  mencoba mengerti dan memahami kebutuhan dan keadaan anak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya apa yang terjadi dalam keluarga itu adalah salah, karena semuanya berangkat dari ketidaktahuan mereka. Orang tua mau merubah dan menghagai impian dan keinginan anak dengan bantuan dari guru di sekolah. Jadi, interaksi yang baik antara orang tua dan guru tentang perkembangan ataupun problem yang dialami oleh anak, akan menjadi cara yang bijak dalam memahami permasalahan anak.

Setiap anak adalah spesial dengan berbagai keunikan harapan dan impian yang berbeda-beda. Oleh sebab itu tidak tepat kiranya jika kita (para orang tua dan guru) memasung impian dan harapan mereka. Ijinkan mereka hidup dengan potensi dan keunikan, hargailah apa yang mereka lakukan, maka mereka pun akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sehat dan cerdas serta mengesankan semua orang.  




Chici Ernest - 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar