Sabtu, 31 Oktober 2020

MENGAJAK SISWA SD KE SAWAH

 


Mengajak siswa sekolah dasar pergi ke pematang sawah bukanlah perkara mudah. Kalau tak percaya coba saja bikin mini riset beberapa sekolah. Berapa kali guru mengajak siswa terjun ke luar sekolah. Alasannya tidak lain adalah merepotkan. Di sini bukan soal repot mengenai akomodasi atau instrumen pembelajaran, bahkan itu hal yang saya anggap sepele. Yang saya maksud adalah tentang perilaku anak ketika di luar sekolah.

Kita semua maklum anak seusia siswa sekolah dasar mempunyai polah yang luar biasa. Beberapa di antaranya bahkan tak salah bila kita menyebutnya hiperaktif. Bagaimana tidak? Mereka selalu bergerak tanpa henti, sulit berkonsentrasi, dan duduk manis mendengarkan arahan guru. Bahkan ketika mereka diberikan tugas mandiri, mereke akan mencari celah untuk menabuh meja, mengunyah makanan, memainkan barang yang mereka bawa dari rumah, dan sebagainya.

Sederet tingkah mereka membuatku menduga akan satu hal bahwa mereka tak tertarik dengan pembelajaran yang diberikan. Level mereka adalah bermain dan bermain. Guru masih kepayahan mengajak siswa untuk berpikir tingkat rendah (LOTS). Lalu bagaimana mereka mampu berpikir tingkat tinggi (HOTS)?

Kalau guru membiarkan hal ini terus berlangsung maka yang ada adalah basa-basi pembelajaran. Guru sekadar menyampaikan pembelajaran dan siswa tak menghiraukan. Kita tahu bahwa kita tidak bisa meraih perbaikan bila kita terus menerus menggunakan cara yang sama. Kita harus berbuat sesuatu yang baru.

Karena materinya adalah ekosistem maka kenapa saya tidak membawa mereka ke lingkungan alam yang nyata? teras sekolah terlalu sempit dan monoton untuk kami tempati. Akhirnya saya membawa mereka ke sawah dekat sekolah.

Sumpah, ini adalah hal gila yang membuat saya gemetar. Saya terlalu berani membawa anak kelas empat ke luar kelas. Ya.. mereka berjumlah 40 dan saya seorang diri. Lain waktu saya jelaskan mengapa. Meskipun begitu saya tak menyurutkan niat untuk melakukan hal ini. Pendidikan adalah proses. Meskipun itu berat saya akan tetap melakukannya.

Saya tidak akan menceritakan apa yang kami lakukan di sawah. Kita sudah mengetahuinya dan itu sudah biasa. Saya akan mendedahkan kegilaan yang anak-anak lakukan. Mula-mula anak-anak dibariskan dan keluar dari gerbang sekolah menuju lokasi sawah.

Mario adalah anak yang usil. Terserah kalian mau melarangku memberikan stereotip itu kepadanya. Bagiku yang ia lakukan adalah usil dan dia sadar apa yang dilakukannya. Di tengah jalan ia berlari meninggalkan barisan dan memancing anak laki-laki lain melakukan hal yang sama. Sambil berteriak-teriak ia bilang, “Aku tahu tempatnya!!!”.

Oke.. Hal yang sepele dan kita masih dapat mentolerirnya. Kami melalui kampung yang padat. Bagaimana kalau Mario menendang tempat sampah warga? Sehingga semua sampah keluar dan berserakan. Sebagai guru yang sabar apa yang akan anda lakukan?

Untuk hal itu kita bisa melupakannya. Mari kita berlanjut ke sawah. Sesampai di sana anak-anak berkumpul untuk menerima kuis yang saya berikan. Kita menyepakati 30 menit untuk mengerjakannya. Beberapa siswa menyebar ke sisi selatan, utara, tengah, sisanya berkerumun di dekatku. Tentu anda sudah membayangkan di mana Mario berada. Ia ada di ujung sana berlarian dan berteriak, “Woi.. sini.. ada belalang”.

Sementara itu Andi di pinggir kali. Naik perahu milik warga dan mencoba memainkan kemudinya. Ya Tuhan, apa yang akan aku katakan bila tiba-tiba pemilik datang? Guru macam apa yang membiarkan siswanya seenaknya memainkan barang orang lain.

Lalu anda mendengar siswa ramai berteriak minta tolong karena ada sepatu temanya yang jatuh ke sungai. Anda pun harus mencari tombak untuk meraihnya. Dan ketika sepatu sudah didapat Mario kembali bersama lima anggotanya dengan celana penuh lumpur.

Ya ampun. Sebuah hal yang cukup mengerikan dan tentu menakutkan. Anda bisa membayangkan bagaimana kami kembali ke sekolah dengan seragam yang belepotan. Apa yang akan kepala sekolah bilang dan apa yang akan orangtua mereka katakan? Citra guru yang cerdas dan indah akan rontok oleh karena tingkah polah siswa yang semrawut dan menggemaskan.

Sekarang kita tahu itulah mengapa guru jarang membawa siswa luar sekolah. Lha wong di kelas saja susah diatur apalagi di luar? Sehingga lebih banyak dari guru menyebunyikan siswanya di sekolah agar tidak diketahui ke-hiperaktifa-annya, teriakannya, atau tendangan mautnya.

Namun, aku tak memerdulikannya. Kalau kita mau jujur, semua yang mereka lakukan adalah wajar dan natural. Maka ketika mereka melakukan hal di luar intruksi itu adalah sebuah wujud naluri kritis siswa untuk mencari tahu, mencoba hal baru, menunjukkan sesuatu, menemukan, mengungkapkan, mengasosiasikan, dan mengaktualisasi diri. Dan itu adalah luar biasa.

Biarkan mereka menjadikan alam nyata sebagai bahan pembelajaran mereka. Manusia adalah bagian dari alam kenapa kita mengurungnya dalam tembok yang hampa akan kreatifitas. Jangan sampai anak-anak kita justru semakin jauh dari lingkungan yang kita ajarkan untuk mencintainya.

Adapun soal perilaku negatif, kita bisa membenahinya. Kita adalah orang tua. Kita tahu bagaimana cara mendidik anak. Yang mahal itu bukan tempat sampah, atau celana, atau obat gatal, tapi pengalaman dan pembelajaran berharga dalam masa kecil mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar