Selasa, 27 Januari 2015

JEJAK KE GUNUNGKIDUL



Pak Alvin

 Kamis pukul 01.30 WIB kami berempat cabut dari Demak. Bayangan perjalanan malam yang menyenangkan hilir mudik di atas kepalaku. Si Kantuk sama sekali tidak berani unjuk gigi ke permukaan. Mungkin dia malu dengan bejubelnya isi tas yang kubawa. Ada baju, kaos, pants, dan beberapa make up, (Ciye.. kondangan cyin..). Nggak kok. Cuma sabun pembersih muka.

Mampir ke POM Bensin tengah malam. Tempat itu paling menyala di antara bangunan-bangunan sekelilingnya. Oh ternyata listrik padam. Asyik juga ngisi bensin tengah malam. Gak ada antrian J. Setelahnya tourpun capcus berlanjut.

Kami sepakat meluncur dengan kecepatan maksimal 60 Km/jam saja. Nyantai menikmati bau aspal dini hari. Jalanan sepi sunyi, 180 derajat terbalik dengan kondisi di waktu pagi dan petang. Dimana para pekerja berlalu lalang berangkat pulang mencari sesuap nasi. Padat merayap, macet, panas, dan gerah.

Tak terasa Karangtengah dan Sayung sudah terlewati. Genuk Kaligawe ada di atas kaki. Gedung RSI Sultan Agung seolah menyapa kami, “Selamat datang di Semarang”. (ah, biasa aja. Wis kulino ring Semarang kok). Cilug ba.. dalam sekejap kami ada di Simpang Lima dimana masih banyak orang-orang berkeliaran di tengah kota. Aku mendongakkan kepala ke atas. “Plaza, masih ramaikah kamu di sana?. Sudah malam lho, gak ngantuk apa?”.

Dari belakang aku mengikuti Pak Alvin. Dia yang lebih paham rute yang harus kami lalui. Memang sih Alwi juga tahu, tapi cukuplah dia duduk manis di belakangku. Kita ngomongin yang lain aja. Sesekali aku menyalip matic Pak Alvin. Biar mereka tahu, Jupiterku itu Yamaha, (Nyebutin merek boleh kan?). Walau dia sudah tua, tapi masih bisa diajak bercengkerama, (ciye.. lupa usia).

Semakin pagi semakin sunyi. Truk dan bus hanya terlihat sesekali. Ungaran sudah di depan mata. Dataran tingginya yang indah mengintruksikanku agar waspada. Jalanan yang naik turun dan berkelak-kelok memacu adrenalin kami semua. Serasa naik jet coster, guys..

Ternyata sudah satu jam setengah kami berlalu. Gairah masih ada, tapi kami kira pantat ini butuh istirahat untuk sekadar bernafas lega. Ia juga berhak dong menikmati dinginnya malam Ambarawa. (Oh, sudah di Ambarawa to?). Benar, dingin sekali. Jemariku sampai keriput terkena hembusan angin malam dengan seperenam kecepatan udara. Kami singgah untuk minum kopi dan melemaskan otot punggung. Leyeh-leyeh beberapa saat, dan akhirnya malah tertidur. Sudah ngantuk semua rupanya.

Pertanyaannya, di manakah kami tertidur? Di warung? Oh, tidak.. kami tidur di serambi masjid dekat warung tersebut. Adzan Subuh membangunkan tidur kami. Badan belum merasa lelah, tapi mata masih tak mau mengalah. Akhirnya kami paksa mata ini untuk menatap indahnya fajar. Basuhan air wudhu Ambarawa mengusir jauh kantuk-kantuk di kepala.

Pukul setengah lima, semuanya ready untuk menyambung perjalanan. “Kita baru separuh jalan”, begitu kata Pak Alvin. “Siaaap”, serempak kami menjawab. Dan brum brum brum.. Kuda besi berpacu di pagi hari. Medan jalan masih sama dengan jalanan Ungaran, hanya saja kali ini lebih ekstrim dan menantang.

Kami melaju saat pagi masih buta, melewati Temanggung dan Magelang. Suguhan pemandangan menakjubkan membuka mata kami lebar-lebar. Silau cahaya matahari hangat menerpa diri. Terpampang jelas ukiran tuhan, ada gunung di kanan kiri. Merbabu, Merapi melambaikan tangannya dan berkaJ”.
ta, “Selamat datang wahai petualang. Mau apa kalian ke sini?”. Ya saya jawab, “Ah gunung, nanti kau juga tahu

Memasuki Kecamatan Salam, jalanan mulai ramai. Geliat aktivitas warga tampak jelas tergambar. Kalau di Temanggung tadi baru sedikit warga yang keluar rumah dan masih menguap, di sini semua warga sudah segar habis mandi. Jalan makin padat dan semrawut. Semua orang berebut menuju garis terdepan. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan adik-adik yang berlomba adu kecepatan. Di tepi jalan banyak kami lihat manusia-manusia berjajar rapi menunggu angkutan ke suatu tempat.

Badan kami yang menghangat akhirnya memanas juga. Bajuku basah karena keringat yang bercucuran. Kami berhenti di SPBU terdekat untuk cuci muka dan mengisi bahan bakar. Sedikit roti kami santap sekiranya dapat mengganjal perut yang meraung-raung kelaparan. Lalu kuda kembali berpacu.

Jembatan perbatasan provinsi kami lewati. Jogja, I’m coming. Tangan Alwi semakin semangat menggenjot gas Jupiterku. Kami bertukar posisi di Ambarawa tadi. Dia seperti paham betul jalanan di sini. Lalu kemana tempat tujuan kami?. Yi Utis memintaku untuk melihat GPS (Global Positioning System), mencari jalan menuju PP. Almunawwir Krapyak Bantul. Kubuka dan kutemukan. Akupun melaju mendahului Pak Alvin yang mengikutiku dari belakang.

Dan ternyata, mencari lokasi ini tak semudah membaca GPS di handphoneku. Beberapa kali kami harus bertanya kepada warga setempat. “Pak, jalan ke PP Almunawwir pundi nggih?”, tanyaku pada bapak-bapak yang sedang menunggu bis. Dia menjelaskan rutenya. Sedikit paham, lalu kami jalan. Alhamdulillah, akhirnya kami nyasar. Ya.. mau gimana lagi??. Nyasar (keliru/salah jalan) adalah salah satu ujian hidup yang pasti kita temui. Kadang nyasar studi, nyasar pekerjaan, nyasar cewe.. (ciye.. curhat).

Kang Burhan berpeci
Setelah bersusah payah, sekitar pukul 07.30 Sang Pondokpun akhirnya dapat kami temukan. Kami masuk dan disambut Kang Burhan teman Yi Utis. Beramah-tamah, cerita ngalor-ngidul, dan akhirnya kamipun lapar juga. Cari warung terdekat, dan makan kenyang ala santri pesantren Krapyak.

Bersambung guys.. jeh ngantuk aku..
Demak, 24/01/2015
Pukul 13:17 WIB



LANGSUNG KE GUNUNGKIDUL
Kang Burhan menyambut antusias kedatangan kami. Senyumnya yang masnis menggoda hati nurani, (aseekk..). Semula kami mengajaknya untuk turut gabung menjelajahi beberapa destinasi wisata, tapi ya sudahlah. Mungkin ia punya tugas personal yang harus segera diselesaikan, (ciye.. santri rajin).

Pukul 8.30 WIB kami melanjutkan tour ke Gunungkidul. Salah satu kabupaten di Provinsi DIY yang tersembunyi di balik gunung. Ya, kami akan menempuh perjalanan sejauh 70 Km dari Krapyak. Pasti memakan waktu lama, mengingat kami belum tahu jalan ke sana. Kami harus berhenti untuk bertanya dimana lokasi tersebut berada?.

Paska berpamitan dengan Kang Burhan, kami melenggang kencang ke arah Wonosari. Bermodalkan papan penunjuk jalan, sang petualang nekad pergi ke daerah asing yang belum pernah kami pijak. Bismillah, semoga lancar.

Perlahan tapi pasti, kami dapat melewati jalur yang benar. Yah, berkat bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu penunjuk jalan. Walau baru tidur dua jam malam tadi, kami masih kuat untuk berkendara ria di sana. Bagaimana tidak?, beberapa kilometer sebelum memasuki kawasan Gunung kidul, kami dihadapkan dengan bentangan alam yang dahsyat kerennya. Waw. Semua tampak kecil dari atas sini. Sawah yang hijau lestari, goresan-goresan terasering yang rapi menghembuskan decak kagum yang membumbung. Apalagi saat kami memutari bukit, oh ternyata Gunungkidul ada di belakang bukit kapur ini. “Apa ya, yang Gunungkidul lakukan di situ?, Bagaimana mereka bisa hidup?”, pertanyaanku yang anehpun muncul. Mungkin aku mulai lapar.

Tikungan-tikungan tajam kami lahap. Tanjakan dan turunan curam lebih greget benar-benar dapat kami rasakan. Jalannya memang lebar, tapi karena kiat baru pertama melewatinya, semuanya terasa istimewa seistimewa gerbang masuk Gunungkidul. Megah dan mewah, itulah gambaran gerbang penyambut petualang-petualang liar di sana. Tinggi, besar, ada taman kecil di sebelahnya, indah dan pokoknya wah deh. Aku mau foto-foto di situ. Tapi nanti, saat pulang.

Kok nggak sampai-sampai ya?, padahal sudah 1 jam setengah kami melaju. Ada rasa lelah dan secercah menyerah menghantuiku. Mau lanjut kok gak sampai-sampai, mau balik kok udah terlalu jauh. Ini baru pintu dari Gunungkidul, belum sampai ibukota kabupaten, Wonosari. Aku pasrah saja, toh masih ada harapan untuk mencapai pantai.

Masuk di Kota Wonosari, asa mulai mucul, tapi perjalanan belum cukup sampai di situ. Laut masih jauh. Kutahan-tahan rasa bosan dan penat perjalanan. Kucoba mengalihkan kecapaianku dengan memandang bukit-bukit kapur putih yang tinggi. Ada yang amsih utuh, ada yang masih dikeruk, ada juga yang sudah rusak tak berbentuk. Entah mau dibuat apa.

Hawa bersendagurau dengan badan-badan mungil ini. Kadang tersa sejuk khas gunung, sejenak kemudian berubah hangat khas pantai. Aku terheran-heran dengan medan yang menanjak. Kita tuh mau ke pantai, kok jalannya naik terus. Masa iya pantainya di gunung?. Apa mungkin pantainya persis di bawah tebing. Dan kita akan berhadapan dengan turunan tajam yang mak jleng?.

Pertanyaan lapar itu aku serahkan kepada bapak-bapak berkumis beserta uang retribusi masuk kawasan pantai Baron. Pantainya masih 3 Km lagi, tapi pintu masuknya sudah berdiri gagah menghadang tentara-tentara pelajar seperti kami.

Aku melihat banyak papan penunjuk pantai, ada pantai Sundak, Krangkal, Drini, Baron, Indrayanti, dan lain-lain sesuai penjelasan pak kumis tadi. Aku sempat dibuat kesal oleh pak Alvin yang terus menuju pantai yang pojok. Padahal pantai yang terdekat adalah pantai Baron. “Aku sudah capek, yang dekat aja napa sih?”. Tapi apa daya. Aku ngikut saja di belakang. Harusnya  5 menit sudah sampai dan bersantai, malah 15 menit kami baru mencapai.


PANTAI INDRAYANTI

Pantai Indrayanti, pantai sesuai rencana tadi pagi. Kini kami baru mencapainya pukul setengah dua belas. Semilir angin menggelitik tubuh petualang. Ku lempar helm dan tas ini, dan aku siap membenamkan kaki di bibir Indrayanti. Nyoh.. teles yo ben. Bau garam yang kuat menusuk hid
ung dan pekatnya air laut justru semakin menggoda kami untuk turun kaki. Kami berlarian dari barat ke timur untuk menapakkan kaki di setiap jengkal pantai Gunungkidul. Ombaknya besar menggulung-gulung. Tak bisa membayangkan kalau ombak Tsunami yang belasan meter itu seperti apa.

Karakteristik pantai ini adalah pantai yang berkarang dengan tebing-tebing tinggi yang menjulang. Serupa dengan pantai-pantai di sebelahnya, yakni pantai Sundak, Krangkal, Baron, de-el-el. Kami naik ke atas beberapa bukit (tebing) menikmatai panorama dari atas. Sungguh menakjubkan. Terpaan angin sepoi yang aduhai, ditambah hangat sinar mentari. Ouh.. Jadi malas turun. Dari sini aku menatap ke bawah, melambai-lambaikan tangan kepada wanita-wanita muda yang sedang berfoto-foto. Nahas, tak ada yang membalas lambaianku, (Haha, ngenes. Bodo amat).

Pantai dengan pasir putih dan laut membiru menjadi daya tarik para pelancong. Mencari sesuatu yang beda adalah prinsip petualang sejati. Umumnya kita mendengar kalau ngomongin pantai di Jogja, ya Paris (Parangtritis) jawabannya. Padahal ada banyak pantai lainnya selain pantai berpasir hitam ini.

Karena bukan musim libur sekolah, objek wisata ini nampak sepi pengunjung. Memang sih, ada puluhan pengunjung lainnya. Mereka dari bermacam-macam kalangan. Ada komplotan mahasiswa Surabaya yang sedang study tour ber-bus, ada rombongan keluarga ber-mobil, dan ada juga yang seperti kami, petualang lepas ber-motor.

Ada rasa tak percaya, beberapa jam lalu kami masih di Demak, tapi sekarang sudah menginjakkan kaki di tanah Yogya. Di depan kami sudah tergelar luasnya samudera Hindia. Bahkan nyenyaknya tidur di masjid Ambarawa masih tersisa. Masih dibukit, saya sedikit jinjitkan kaki, “Kok Australia nggak kelihatan ya?”. Pikiran aneh tiba-tiba muncul di jidat. Andai ada Dora, aku akan minta dia membuka Peta. “Tanyakan peta, tanyakan peta. Apa kau melihat Australia? Di mana? Lebih keras...”.

Puas berputar-putar di bibir selatan pulau Jawa, kami mau pulang. Lelah dan lelah telah mendera. Kami bersama shalat terlebih dahulu di masjid pantai Baron mengingat waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB. Setelahnya, kami cekidot perjalanan kembali ke Bantul.

Di tengah perjalanan pulang, kami dilanda hujan yang deras sekali. Sehingga harus mengurangi kecepatan. Jalan menikung, naik-turun, ramai truk dan bus, hm..... skill mengendara kami sedang diuji pemirsa. Mengingat perut belum diisi, kami bersandar sejenak di warung kucingan terdekat. Menyantap nasi bungkus yang nyaman di lidah, nyaman di perut, dan nyaman di saku. Backpaker tak peduli mau makan apa, yang penting halal dan ada rasanya.

Warung itu dikendalikan oleh seorang ibu-ibu paruh baya. Garis-garis di wajahnya menunjukkan berapa usianya. Oh.. ibu-ibu itu mengingatkanku pada ibuku di rumah. Malah kangen rumah jadinya. Tapi ya tak ampet, lha wong belum saja satu hari berkelana. Sambil menunggu hujan reda, kami sedikit ngobrol dengan ibu-ibu tadi. Kilat cemlorot mewarnai pringisan pembicaraan kami. Kopi panas buatan tangan ibu ini dapat menghangatkan jiwa raga kami semua.

Sekiranya hujan mulai reda, kamipun melanjutkan perjalanan. Setibanya di gapura selamat datang Gunungkidul, kami tak lupa untuk mengabadikan gambar bangunan megah tersebut. Satu, dua, dan tiga, petualang mulai alay.

Kaki-kaki ini mulai menggeliat minta diselonjorkan. Bahkan beberapa kali aku berkendara sambil menyelonjorkannya. Capek tauk!. Dua jam duduk di atas motor di tengah hujan dan badai, aseekk.., Secepat kilat kami melaju agar ndang sampai di Bantul.

Beberapa kilo lagi kami sampai di Ponpes, tapi kami tidak langsung ke sana untuk menyempatkan diri shalat di masjid terdekat. Masih gerimis deras, di masjid pinggir ringroad ini kami menyeka keringat bercampur peluh selama perjalanan. Pliket-pliket gimana gitu.. Dan, saat melihat kamar mandinya yang mewah, aku tergoda untuk membersihkan diri. Numpang mandi deh.. Menyenangkan sekali rasanya, mandi di masjid. Maksud saya, mandi di kamaar mandi masjid. Rasanya seharian ini saya benar-benar menjadi backpaker. Trip dengan modal seminimal mungkin. Makannya di angkringan yang murah meriah, jalan-jalan naik motor, bawaannya tas gede, mandinya juga di masjid, nggak bayar. Hahaha.. Mau?

Hingga, jam lima kami baru sampai di Ponpes. Badanku langsung ambruk dan terkapar tak berdaya. Kakiku rasanya mau lepas. Capeeeekkkk sekali. Alah, lebay.. iya pokoknya capek deh. Pemirsa dapat membayangkan sendiri. Kami kan berangkat dari Demak pukul setengah dua, nah itu belum tidur sama sekali. Tidur baru 2 jam pas di Ambarawa. Terus terjaga terus. Capeknya tuh di sini.. di sini.. di sini.. di sini..

Rencana kami ke Malioboro di ambang kegagalan. Mau gimana lagi, badan masih pegal-pegal ditambah cuaca mendung ditambah ‘gerimis mengundang’. Rencana semula keliling jam 7 malah molor jadi jam 9. Itu badan masih capek lho, cuma, merasa eman-eman kalo nggak ke sana. Soalnya, katanya, kalau ke Jogja nggak mampir ke Malioboro itu belum ke Jogja namanya. Duh, perjalanan yang kami paksakan tidak dapat kami nikmati sama sekali. Mau beli apa nggak ada yang dibeli. Kaos juga sudah punya banyak, baju apalagi?, mau beli assesoris gak begitu suka, mau beli dompet nggak tahu buat apa. Topi? Helm aja sekalian. (Heleh, banyak alesan. Bilang aja duitnya tipis. Hehehe)

Kami melihat pengunjung lainnya tampak semangat menawar-nawar harga, si penjual juga semangat mejerit-jeritkan dagangannya. Sepertinya malam itu cuma kami saja yang terlihat nglokro dan gemulai. Yah,, harap maklum, sang petualang kecapaian. Akhirnya kami sepakat untuk pulang dengan tangan hampa. Sampai di Ponpes pun kami kembali ambruk gembledak sak nggon-nggon. Tidur pulas.. lupa dengan jadwal.. jam tiga kami akan ke Gunung Tidar Magelang, lalu lanjut pulang ke Demak.


PANTAI PARANGTRITIS

Adzan subuh pesantren membuka mata kami. Jam berapa ini? Magelang? Ah, lupakan. Shalat dan tidur lagi. Hingga jam 7 kami bingung mau apa. Pulang? Rasanya ada yang kurang dari tour kali ini. Ya, saya belum puas dengan penjelajahan kemarin. Harus ada objek tambahan sebagai ganti dari Malioboro semalam yang nggak karuan. Akhirnya kami sepakat, jalan terus ke Parangtritis. Toh kami belum pernah pergi ke sana. Pantai legendaris di Jogja. Terkenal dengan Nyi Rorokidulnya dan pantangan memakai baju merah di sana. Jadi lengkap sudah penyusuran pantai selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya.

Perjalanan 44 Km yang awalnya tidak masuk dalam agenda trip kali ini kami tempuh sekitar 1 jam-an. Sampai di sana langsung kami menceburkan diri. Ayoh.. trip terakhir, dipuas-puaske.. Sayangnya, para pengunjung hanya dapat menikmati segarnya air laut kidul dari bibir pantai saja. Haram hukumnya berenang terlalu jauh. Nanti bisa tenggelam. Oh my god,, ternyata pantai selatan tak cocok bagi yang suka berenang. Saya sarankan bagi yang ingin berenang di pantai untuk have a trip ke Pantai Bandengan Jepara saja. Pasirnya putih airnya juga jernih. Cantik dan indah. Wah, malah promosi pemirsa.

Pantai selatan ini mung iso disawang, nggak bisa diselami, cuma bisa dibuat selfi-selfi. Tapi tak apalah, toh kami dapat menikmati. Ada gapura besar bertuliskan PANTAI PARANGTRITIS di depan. Seperti halnya di pantai Kartini dan pantai Losari Makassar, bangunan itu terbuat dari Logam yang dicat indah.. Cocok untuk background foto. Monggo yang mau foto-foto.. Apa perlu saya bantu saya fotokan?

Nah, di sisi lain ada segerombolan cewek-cewek yang cengengesan karena melihat hasil jepretan kameranya. Dari atas menara SAR (Search And Rescue) saya lihat ekspresi mereka menjadi-jadi. Ada yang dimonyong-monyongin, ada yang dimiring-miringin, ada juga yang jengkulitan. Mari bertaruh, apa yang akan saya lakukan??

Saya turun dan dekati mereka, “Mbak, mesakke foto bareng tapi sing moto gak katut. Sini, tak fotoin”. “Lho, beneran, mas? Saya nggak sedang ngimpi toh ini?”, jawab salah satu dari mereka. Aseekk.. direspon. “Ah, sini. Mumpung saya lagi baik hati”, balasku cengengesan. Lalu saya ambil gambar mereka beberapa kali jepretan. Mbak-mbak mahasiswi ini kelihatan girang melompat-lompat menebar senyuman. “Jangan lupa mbak ya, tag di fb saya”, kalimat terakhirku kepada mbak itu saat menyerahkan kamera. Lha..... itulah salah satu trik mengajak berkenalan dengan seseorang. Silakan dicoba.. hahahaha...

Sudah? Pulang ah.. langsung ke Demak. Tapi tapi.. Oh iya.. ada yang ketinggalan. Apa itu? Sepatuku keri ning Ponpes guys.. Ya Tuhan.. Gapapa lah.. Sebelum pulang kita mampir ke Krapyak lagi. Padahal tadi sudah berpamitan sama Kang Burhan. Jadi pamitan lagi deh.. mak slep.. kita sudah sampai di Bantul. Ternyata benar, sepatuku tertinggal di sana. Dan, Kang Burhan juga nggak ada. Ya sudah, kita let’s go aja..

KETILANG

Gawat.. Kita nggak tahu arah ke jalan Magelang. Jalan di mana kemarin kita lalui hingga sampai di sini. Siang itu cuaca terik, lalu lintas juga padat. Sama halnya saat keberangkatan, pulangpun kami asal terjang saja bermodal papan penunjuk. Melalui pertigaan Jl. Katamso, Jl. Mataram dan akhirnya kami nggak tahu ada di mana. Setiap kami bertanya, “Pak ke Jalan Magelang lewat mana?”, antarorang memberikan penunjuk yang tak sama. Sehingga kami tenggelam di lautan kemacetan. Tepat di persimpangan dekat Gedung Fakultas Hukum UII (Universitas Islam Indonesia), malapetaka itu akhirnya muncul. Saat lampu traffic menyalakan lampu merah, kami terhenti. Pak Alvin dan Yi Utis ada di depan, sedang aku dan Alwi ada di belakang, sekitar 15 meter.

Lampu hijau menyala hanya 20 detik, seketika pengendara berebut jalan. Aku tak mau kalah dengan mereka-mereka. Aku tak mau terjebak kesemrawutan jalan yang asing di mata dan telingaku. Saat aku melewati persimpangan itu, terdapat pos penjagaan polisi di samping kiri jalan yang kulalui. Sambil memacu motor, aku mendongakkan kepalaku isyarat mencari seseorang. Pak Alvin ternyata berhenti beberapa meter di depanku. Ia sedang menanyakan jalan pada mbah-mbah.

Mak jlek, seorang bapak-bapak agak tambun berkumis rapi menggerutui aku.
Polisi   : “Kamu ini gimana, lampu merah kok diterobos maunya apa?, STNK-nya mana?”
Aku     : “Lho, pak. Saya nggak nerobos kok. Tadi masih hijau”.
Polisi   : “Hijau-hijau apaan?, sudah merah kok”
Aku     : “Nggak pak. Masih hijau”
Polisi   : “Sudah, mana STNK-nya?”

Saya kasih lihat, lalu ditariknya STNK-ku agar aku mengikutinya ke pos pinggir jalan tadi. Sementara itu Pak Alvin mengikutiku dari belakang.

Di Pos, saya melihat beberapa wanita keluar dari kantor. Mungkin dia ketilang juga. Polisi itu menjejaliku beberapa pertanyaan khas dan umum saat menilang. “Dari mana dan mau kemana”. Ya saya jawab apa adanya. “Dari Ponpes Munawwir mau Jl. Magelang, mau pulang ke Demak”, dengan harapan memberi tahu bahwa saya ini orang baik-baik. Jauh-jauh dari rumah tidak untuk maksiat..

Polisi itu kembali menerangkan kesalahan saya, yakni menerobos lampu merah. Padahal nih.. padahal... === Saya tidak merasa menerobos. Saya bersama-sama pengendara lain, juga yang di belakang saya melewati persimpangan.. dan meraka bebas melenggang pergi begitu saja === Apa mungkin karena plat motor saya bernomor H? Plat asing Yogya yang merupakan makanan empuk untuk sasaran tilang menilang. Plus rejekinya, karena saya turut berhenti mengikuti Pak Alvin. Andai aku bablas ke depan. Mungkin dia malas mengejar.

Aku     : “Bagaimana dengan teman saya tadi, Pak? Kok nggak ditilang?”
Polisi   : “Temanmu tadi masih kuning. Lha kamu sudah merah?”

Ah sudahlah. Jujur, capeknya trip ini terburu melingkupi badanku. Tahu sendiri kan pemirsa, kondisi badan mempengaruhi emosi seseorang. Badan pegal, mau pulang nyasar, tanya jalan e.. malah ditilang. Kalaupun saya salah, apa harus ditilang pak? Saya ini orang yang sedang bingung pak.. mau ke pulang nggak tahu lewat mana? Saya cuma ingin tahu, jalan Magelang itu yang mana? Sudah, itu saja. sempat aku menawar, “Apa nggak bisa dikurangi pak?” Tapi dia masih ngotot memintaku uang Rp.100.000. Nominal yang lumayan itu terpaksa saya rogoh dalam-dalam dari dompet cokelat di tas. Saya terlalu malas untuk berdebat pada situasi seperti ini. Saya hanya ingin segera keluar dari neraka yang memuakkan kepala.

Sengaja saya tak meminta sobekan tanda terima. Ah, saya tak membutuhkannya. Terserah uangnya nanti kamu buat apa pak. Buat makan terserah, buat jajan ya terserah, aku wis pasrah. aku lebih sayang 14 hariku timbang ketemu anda 2 minggu lagi.

Polisi itu sebenarnya ramah, tapi tanpa iba meminta uangku. Saya jadi yang iba kalau nggak tak kasih. Setelah kuterimakan “dua picis” ganteng itu kepadanya, dia belagak ngasih tahu jalan. Aku yang gusar sedari tadi mantuk-mantuk saja tanda setuju. Padahal, sama sekali penjelasannya tak aku pahami. Wis kadung nafsu aku. Eh, maksude wis kadung nesu.

Tak cukup sampai di situ, sekeluarnya dari pos panas itu, aku bergegas mencari Pak Alvin di tempat semula kami berpisah. Dan ternyata, dia tak ada. Katanya mengikutiku kok dari tadi tak tampak hidungnya, atau menunggu kok nggak muncul telinganya? Pak Alvin, dimana engkau berada?

Lengkap sudah kegusaranku siang itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, bahkan lebih. Sudah kesasar, ketilang, berpencar pula. Yah itulah pil pahit yang kami rasakan. Sudah, sudah coba kami saling menghubungi. Tapi emosiku tak terkendali. Aku wegah berlama-lama di sini. Bayangkan Polisi ganteng itu masih membekas di dompetku. Sehingga, aku meluncur membuang muka, meninggalkan sejuta rasa.

Di Sleman akhirnya kami bersatu. Sampai di Jl. Magelang KM 12 aku berhenti dan menunggu Pak Alvin yang masih di belakangku. Kami berbincang sedikit tentang tilang-menilang tadi. Ah, terlalu jahat bila aku harus menimpakan keapesanku pada orang lain. Cukup dan cukup, anggap saja tadi adalah sesuatu yang numpang lewat. Keikhlasanku diuji, embuhlah. Mungkin aku jarang sedekah, sehingga harus ada “pemaksaan”. Sudah.. sudah..

Kemudian kami shalat Jum’at di sebuah perkampungan. Yang menjadi Khotib adalah mbah-mbah. Ada beberapa ibu-ibu yang juga jum’atan di sini. Hal langka di Kabupaten Demak. Tiupan kipas di siang hari membuatku terkantuk-kantuk. Jegluk-jegluk, tahu-tahu udah iqomat. Jangan ditiru guys..

Habis itu kami melanjutkan perjalanan pulang. Langit mendung tak kami hiraukan. Kami masih bersama dengan harapan jangan sampai berpencar kembali. Karena terlalu semangat, akhirnya saya eninggalkan jauh Pak Alvin di belakang. Celakanya, saya yang masih awam dengan jalanan di Magelang malah masuk ke area kota. Sehingga, saya dan Alwi mau tidak mau harus menikmati indahnya nyasar dan berpencar. Yah, setidaknya kami dapat melihat alun-alaun Magelang. Selang 15 menit kemudian saya berhasil keluar dari kota dan masuk ke jalur yang benar.

Sayangnya, kami berdua malah tertinggal jauh dari Pak Alvin. Entah dia ada di mana. Di Temanggung hujan memuntahkan hujan yang sesungguhnya. Persis dengan yang kami alami saat pulang dari Gunungkidul. Deras dan mengganggu jarak pandang. Jalanan yang berkelak-kelok di tepi jurang yang penuh dengan tronton-tronton raksasa. Ada sih, rasa khawatir kalau-kalau terjadi ‘apa-apa’. Tak bisa kami bayangkan bila hal buruk menimpa. Bismillah, lantunan dzikir dan shalawat menjadi senjataku kala berkendara, kapanpun dan dimanapun. Ya Allah, lindungilah kami.

Sampai di tanjakan itu akhirnya aku menemukan mereka. Sedang merayap di samping truk bak terbuka. Pelan... sekali. Hujan deras menahan laju semua kendaraan di sana. Demi keselamatan bersama, kita harus berkendara seaman mungkin. Bukan malah main serobot sana-sini. Jangan sok punya skil jago ngebut atau apalah. Ini bukan trek moto GP, lho. Ini jalan umum. Katanya, jalan raya itu kejam. Ia sering memakan korban. Atut..

Tak betah berdekatan dengan angkutan-angkutan super, aku mencoba melepaskan diri dari padatnya jalan siang
itu. Akhirnya aku dapat keluar dengan konsekwensi, kembali berpisah dengan Pak Alvin dan Yi Utis. Lantas kami sepakat untuk bertemu di Simpang lima Kota Semarang, tepatnya di masjid baiturrahman. Aku dan Alwi sampai di sana setengah jam lebih awal daripada Pak Alvin. Wajar, mereka tadi berhenti dulu di Masjid Ambarawa itu untuk makan siang dan leyeh-leyeh sebentar.

PAMUNGKAS

Sementara itu, perutku dan perut Alwi masih menahan keroncongan. Lapar dan dahaga tak kami hiraukan. Di pikiran kami hanya ada satu kata, “Pulang”. Setelah shalat ashar di sana, pukul 17.30 WIB aku dan Alwi kembali lenjut perjalanan ke Demak. Sedangkan Pak Alvin dan Yi Utis pulang ke Kudus. Kami berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.

Itulah perjalanan dua hari yang fantastis kami. Tak kusangka, aku dapat mengantar motorku menikmati dinginnya udara Ungaran, hangatnya mentari Magelang, dan indahnya pantai Jogja. Ternyata motorku kuat menempuh perjalanan sejauh 224 Km. destinasi bukan tujuan utama, ia hanyalah hadiah dari serangkaian proses yang dilalui. Petualang sejati mencoba menikmati setiap jengkal tanah yang harus dilewati. Bumi Allah sangatlah luas dan patut untuk kita singgahi. Sehingga, kita dapat melihat keagungan Allah dari berbagai sisi. Allah Ya rabb.. kami begitu kerdil, tanpa pertolonganmu, segalanya adalah mustahil. Tanpa karuniamu, penjelajahan kami adalah nihil.

Entah suka atau duka tour kali ini aku anggap sebagai bonus dari Tuhan. Bingkisan yang penuh berkah di kehidupanku mendatang, lebih-lebih bagi pemirsa sekalian. Bukan apa isi bingkisannya, tapi siapa pemberinya. Segala pemberian Tuhan pasti baik untuk kita semua, ya nggak pemirsa? Alhamdulillah, kami dapat kembali ke rumah dengan keadaan selamet wilujeng tanpa kendala berarti. Soal nyasar, tilang, capek, namanya juga trip. Biasa aja keles. Semoga di kesempatan berikutnya, Tuhan kasih kita trip yang luar biasa. Penuh berkah dan manfaah.. amiin..

Bongkol Buko Wedung Demak Jawa Tengah
26/01/2015
21:24 WIB

*Mohon maaf pemirsa, cerita yang kutulis sangat kental nuansa subjektif. Mau gimana lagi, saya bukan malaikat yang mengetahui isi hati Alwi, Pak Alvin, maupun Yi Utis. Bahkan mungkin yang saya rasakan bertolak belakang dengan yang mereka rasakan. Itulah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar