Rabu, 25 November 2015

Rasionalisme, Mengenal Jiwa dan Allah



Oleh : Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)

Ada banyak aliran dan madzhab filsafat. Hal itu dikarenakan tabiat manusia yang terdiri dari akal dan indera. Menusia memiliki indera yang menghubungkannya dengan dunia luar dan memindahkan berbagai kesan inderawi dari alam tersebut. Manusia juga memiliki akal yang bisa menguji dan mengkaji berbagai pikiran-pikiran internal yang berseliweran di otaknya. Di antara manusia, ada orang yang lebih dominan unsur inderanya dan ada pula yang lebih dominan unsur akalnya. Karena itulah, para filsuf mempunyai dua orientasi utama:[1]

1. Orientasi empirisme 
2.  Orientasi rasionalisme.

Kali ini kita akan membahas tentang rasionalisme. Apa ya rasionalisme itu?? Seminggu berkutat dengan judul itu membuatku ngelu dan jemu. Kubaca berulang-ulang masih juga tak paham-paham. Hal ini membuatku gelisah dan jengah. Namun, aku pantang menyerah. Sehingga.. Jadilah... baca aja deh.. sikat...!!

Saat menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia, mataku tertuju pada Rasionalisme : teori yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem yang lepas dari jangkauan indera. Paham yang lebih mengutamakan akal daripada emosi.

Nah, setelah mendapati pengertian di atas,
  1.  Kalau anda tidak bingung dan sudah paham, saya ucapkan “SELAMAT, ANDA HEBAT” berarti otak anda sudah bekerja.
  2. Kalau anda bingung dan belum paham itu sama sekali bukan berarti anda BODOH, tapi berarti otak anda sedang bekerja.
  3. Dan kalau anda tidak bingung dan juga tidak paham berarti anda tidak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah sakit. :D (intermezzo)
Ya, jadi rasionalisme adalah salah satu madzhab filsafat yang lebih condong pada penggunaan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan.Kekuatan akal pada diri manusia adalah sumber dari segala ilmu yang hakiki. Para penganut madzhab rasionalisme menerima adanya wujud spiritual atau rasio yang merupakan asal-usul dari segala entitas.

Akal sebagai sumber pengetahuan
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat umum untuk diterapkan kepada hal – hal yang bersifat khusus. Contoh: semua manusia akan mati. Badu adalah manusia, maka Badu akan mati.

Dalam alam luar, kita menemukan banyak objek melalui indera, dimana Descartes meragukan apa yang dilihatnya (indera). Akan tetapi akal kita memiliki kesiapan untuk menerimanya. Demikianlah, Descartes menegaskan kepada kita bahwa alam itu ada seperti yang kita lihat. Dalam penetapan ini kita melihat  Descartes menjadikan akal sebagai penentu kebenaran. Descartes melihat bahwa dasar pengetahuan yang meyakinkan adalah ide-ide natural yang dianggapnya sebagai insting dalam arti bahwa ia tidak berasal dari indera, tetapi dari daya pikir yang ada pada diri kita.

Sebagai contoh : kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dll. Apa yang kita duga, kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapat di dalam rasio atau akal.

Plato berpendapat bahwa pengetahuan pada diri manusia pada dasarnya bersifat natural. Artinya bahwa manusia tidak memperolehnya lewat indera, karena sebelum turun ke alam ini jiwa telah berada di dunia ide. Ketika turun ke alam, maka ia terbelenggu dalam tubuh yang membuatnya terhalang dari pengetahuan masa lalunya. Jika jiwa mengetahui sesuatu, hal itu hanyalah ingatan jiwa terhadap apa yang telah pernah diketahuinya pada kehidupan yang lalu dalam dunia ide.[2]
Teori wujud (being)

Wujud yang hakiki adalah idea. Maksudnya, menurut faham rasionalisme segala sesuatu yang hakiki adalah ruhnya, bukan fisiknya. Coba kita renungkan apa itu “rumah”? Bagi para pemuja idea, yang dimaksud “rumah” itu bukanlah fisik bangunan rumahnya, tetapi konstruksi ide kita tentang “rumah”.
Bagaimana dengan jiwa? Apakah jiwa itu ada? Kalau memang benar-benar ada, bagaimana kita dapat membenarkannya?

Melalui metode keragu-raguannya, Rene Descartes menjelaskan adanya jiwa dan Allah. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah melalui keragu-raguan. Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Disinilah Descartes menetapkan wujud jiwa, bukan badan. Karena Descartes berbicara tentang jiwa yang dapat berpikir. Bukan badan yang dapat diindera.

Manusia tidak dapat menghadirkan kesempurnaan pada dirinya karena manusia itu sendiri bersifat kurang. Manusia tidak dapat menyadari kekurangannya sampai ia menemukan konsep kesempurnaan. Dengan demikian, manusia menyadari ada eksistensi lain yang lebih sempurna dan Mahasempurna yaitu Allah.

Adanya jiwa pada diri kita menunjukkan adanya pencipta jiwa, dan tentu bukan kita penciptanya. Karena, jika kita sendiri pencipta jiwa kita, pastilah kita akan memberikan kesempurnaan agar menjadi jiwa yang kita inginkan. Jadi, ada eksistensi lain yang menciptakan jiwa kita, yaitu Allah Yang Mahakuasa.

Bukti eksistensi Allah yang diungkapkan Plato adalah:
  •  Keteraturan kosmik. Kedinamisan kehidupan di bumi adalah sebuah keteraturan. Dan keteraturan itu ada tidak sendirinya. Namun, dilahirkan oleh Sang Pengatur, yaitu Allah.
  •  Adanya gerakan. Baik gerak mikrokosmos pada diri manusia maupun gerak makro kosmos di alam semesta.

Mengenai jiwa, Plato berpendapat bahwa jiwa bersifat abadi, karena pengetahuan kita terhadap berbagai hakikat dalam jiwa merupakan bukti dari eksistensi jiwa di masa lalu dalam dunia ide.[3] Jadi, sebelum kita menyadari kekekalan jiwa, jiwa kita sudah terlebih dahulu ada.

Monadologi
Leibniz mengasumsikan adanya substansi-substansi sebagai unsur-unsur alam. Kalau kita mengenal atom sebagai partikel terkecil penyusun benda (materi). Maka monad adalah partikel terkecil penyusun jiwa. Sesuai dengan tingkat pengetahuannya, monad terbagi menjadi empat macam:
1.      Monad dengan pengetahuan yang paling sederhana, yaitu pada tumbuhan dan mahluk non-organik
2.      Monad hewani, mempunyai pengetahuan, hafalan, dan ingatan
3.      Monad manusiawi, berpengetahuan tinggi sehingga dapat berargumentasi dan memahami hakikat universal
4.      Monad di antara manusia dan Allah, yaitu monad yang lebih tinggi dari monad manusiawi

Monad-monad ini terpisah satu sama lain. Akantetapi, semuanya bekerja dalam satu rangkaian harmonis dari sistem abadi oleh Allah. Karena, Allah adalah monad dari segala monad.

KESIMPULAN
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif.

Ungkapan Descartes, Cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada) menegaskan bahwa Descartes mengakui eksistensi jiwa sebagai zat yang berpikir, bukan badan yang dapat diindera. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.

Adanya badan menunjukkan adanya penggerak badan, yaitu jiwa. Adanya jiwa membuktikan adanya pencipta jiwa yaitu Allah. Jadi mempelajari filsafat, khususnya faham rasionalisme akan membawa kita ke jalan menuju kecintaan pada Allah.

Dunia ide adalah tempat dimana jiwa belum diturunkan ke alam. Sama halnya konsep zaman azhali dimana ruh-ruh manusia bertempat sebelum ditiupkan ke raga manusia.

Saya semakin yakin dan mantap dengan faham rasionalisme mengingat isi teori-teorinya yang benar-benar masuk akal dan dapat diterima.

Tokoh-tokoh rasionalisme
1.      Plato (427-347 SM)
Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M. dan meninggal disana pada tahun 347 S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang politik penting dalam politik Atena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan padanya untuk mengikuti jalan hidup yang diingininya itu. Namanya bermula ialah Aristokles. Nama plato diberikan oleh gurunya. Ia memperoleh nama itu berhubung dengan bahunya yang lebar.
2.      Rene Descartes (1596 – 1650 M)
Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi Rene Descartes (1596-1650), filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes memperoleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar. Tak ada persoalan duit.

3.      Leibniz (1646 – 1716 M)
Leibniz di lahirkan di Leibzig, Jerman. Ayahnya adalah seorang profesor Filasafat Moral, meninggal ketika Leibniz masih kecil. Sewaktu mahasiswa ia mempelajari ilmu hukum, filsafat, dan juga matematika. Pada usia 20 tahun dia sudah mendapat gelar Doktor. Leibniz adalah seorang ahli filsafat dari Jerman yang tidak hanya seorang ahli filsafat saja melainkan juga seoarang yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang universal, sebab ia adalah seorang yang ahli hukum, ahli sastra, ahli ilmu pasti dan ilmu alam, serta ahli teologia dan ahli sejarah.



[1]Isma’il, Fu’ad Farid, Abdul Hamid Mutawalli. Cara Mudah Belajar Filsafat. 2012. Yogyakarta: Ircisod hal.60
[2]Ibid. Hal. 68
[3]Ibid hal. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar