Jumat, 06 Januari 2017

CAMP MAWAR




Tiba-tiba Iyem mengirim pesan ajakan muncak. Padahal aku baru saja pulang dari Semirang. Aku iyakan saja ajakannya dan ku minta dia untuk membicarakannya pada anak-anak. Kira-kira butuh waktu dua minggu untuk mempersiapkannya mulai dari penyebaran undangan (lisan sih), ropat-rapat, dan meeting-meeting gituh. 

Semula kami menjatuhkan tanggal 30-31 Desember agar kami memiliki satu hari waktu rehat mengingat tanggal 2 Januari sudah masuk sekolah. Namun apa daya, tanggal 30 aku sendiri ada tugas negara yang tak dapat ditinggal (walau akhirnya ku tinggal juga. xixi). 

Kami juga merencanakan untuk berkemah di curug Lawe. Anak-anak meminta usulan tempat padaku, aku jawab saja sekenanya. Padahal aku belum pernah berkemah di sana, hanya jalan-jalan terus pulang. Masih kurang yakin ku coba cari informasi apakah di sana bisa ditempati berkemah. Seorang teman mengiyakan, tapi aku sendiri masih ragu karena seingatku memang tidak ada tempat camp.


Sementara itu, kami terus mempersiapkan diri. Kami mengajak orang-orang untuk ikut. Target kami minimal 18 orang. Bukan apa-apa sih, cost memang menjadi common isue bagi kami. Kami juga berembug tentang perbekalan yang harus dibawa dari bahan makanan, hingga peralatan. Terkhusus tenda, hal ini menjadi sangat krusial. Sementara waktu baru tersedia tiga tenda. apa muat untuk 18 orang. Ah, sudahlah. kita pikir nanti saja. Begitulah.

Kami juga mecari kendaraan untuk ditumpangi, yakni elf. Setelah mencari sana-sini ternyata tidak kami dapati. Beberapa sudah disewa, beberapa tidak cocok harga. Akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada mikrobus tepat H-2 setelah melalui negosiasi harga yang alot.

Usaha kami untuk melaksanakan kegiatan ini tidaklah mudah. Mulai dari peserta yang mengundurkan diri hingga ancaman hujan. Beruntung kami dapat merekrut peserta pengganti sehingga target 18 orang terpenuhi. Hari pelaksanaan sendiri bergeser menjadi tanggal 31 sampai 1 karena tanggal 30 aku ada tugas yang tak bisa kutinggal. Cuaca turut menghantui kami. Bagaimana tidak, hujan lebat mengguyur pada Jumat malam diamana kami akan pergi Sabtu pagi. Belum lagi hatu kemacetan yang akan mendera perjalanan kami. Konom katanya, di tahun baru daerah Ungaran rawan kemacetan yang menggila. Perjalanan 2 jam bisa jadi 4 jam. Gila memang.

H-1 aku bertemu dengan seorang teman di masjid. Namanya Fernando. kami berbincang lama mengenai perkemahan. Dia berterus terang menyarankan kami untuk berkemah ke tempat yang lain. Menurut dia di Curug Lawe tidak ada tempat untuk dijadikan perkemahan. Welahdalah.. Akhirnya keraguanku terjawab sudah. Aku sendiri sedari awal agak ragu mengingat aku belum pernah menjadi pemimpin rombongan. Sedangkan urusan tempat tersebut anak-anak menyerahkan padaku. Malam itu aku sungguh beruntung dapat bertemu dengan Fernando. Kami bertukar pikiran hingga tercerahkan. Dia menyarankan agar kami berkemah di Camp Mawar saja karena di sana memang tempat yang sudah diset untuk berkemah. Bahkan dia menawarkan diri untuk bergabung. Wah.. rejeki nompok. Kalau ada dia, kami jadi ada pemandu gratis. Secara aku belum pernah ke sana.

Aku sendiri belum memberi tahu perubahan tempat tersebut kepada para peserta. Hingga di dalam bus aku baru bercerita. "Hadoh, tiwas nggawe status ning fb", begitulah komentar mereka. tapi tak mengapa, mereka tidak masalah degnan perubahan lokasi. toh mereka juga belum pernah mengunjungi Camp Mawar.

Sabtu pagi kami berkumpul. Keberangkatan molor 30 menit sehingga kami take off pukul 08.30 WIB. Di perjalanan kami bersenda gurau. "Enak juga naik bus. Walau harganya melebihi anggaran, setidaknya kami lebih menghemat tenaga", kataku pada Iyem. Bus melaju dengan kecepatan sedang. Lalu lintas terhitung cukup lancar dan nyaris tanpa kemacetan. Sampai di Ungaranpun kami hanya tertahan sesekali dua kali. Memasuki wilayah Sidomukti, laju kami melambat mengingat jalan yang menanjak dan sempit. Hingga akhirnya kami tiba di gapura Wisata Agro kami anggap keberangkatan ini tidak mengalami kemacetan. Lancar jaya..

Oh sial! Kami harus berjalan kaki kurang lebih 30 menit menaiki jalan agar sampai di area camp. Sementara para pengunjung lainnya dapat terus mengendarai motor atau mobilnya. Kami membawa bawaan yang tak sedikit. Ada tikar, kayu, kompor, tabung gas, tenda, belum lagi barang pribadi. Sial lagi tatkala kami jadi objek perhatian orang-orang yang berlalu. Mungkin mereka heran kok mau-mamunya kami jalan kaki sejauh itu. Kok angkutannya tidak sampai ke atas. "Wah, harusnya aku bilang ke sopir agar naik lagi. Tapi sudahlah.. itung-itung pemanasan", gumamku dalam hati.

Beberapa dari kami mulai tumbang karena keberatan dan kelelahan. Untunglah, mereka hanya lelah fisik. Jangan sampai mereka lelah hati. Aku hanya berharap mereka menikmati nasibnya. Inilah berkemah. Kami beristirahat beberapa kali. Maju sebentar, duduk lagi, dan begitu seterusnya hingga kami mendapat tempat yang pas untuk berkemah.

Segera kami mendirikan tenda dan menata ruang guna keperluan memasak. sebagian dari kami berbaik hati menyiapkan makan siang. Masak-masak untuk kami berdelapan belas. Menikmati istirahat paskaperjalanan, kami membuka jajanan dari rumah seraya mengganjal perut dari kelaparan akut. Aku sendiri belum sarapan. Tak lupa, ku wanti-wanti para peserta untuk senantiasa menjaga kebersihan.

Ku tengok jam, ia menunjuk pukul setengah satu. Yes, kami punya banyak waktu untuk bersantai. Beberapa dari kami jalan-jalan mengitari camp, ada yang memilih tiduran, ada juga yang bermain kartu seperti Agus,Andik, dan Bobi. Kabut tebal menyelimuti area camp. Gerimis mengintai kami. Ia turun sebentar, lalu pergi, lalu datang, dan pergi lagi. Semoga saja malam ini tak hujan.

Kami sadar kami tak membawa tenda yang cukup. Hanya ada tiga tenda yang memuat 10 orang. Kami sepakati agar nanti para lelaki tidur di luar. Kami tidak memikirkan bagaimana kalau hujan.

Tak terasa hari semakin gelap. Kartu terus dibagi dan kompor terus menyala. Kami menikmati hidangan makan malam dengan memasak sendiri. Kami menanak nasi dan menggoreng tempe yang kami sediakan. Di situ kami semakin akrab. Parahnya, tempe ini tidak disertai bumbun tempe yang sebenarnya. Iyem lupa membawanya, padahal ia sendiri yang mengambil alih. “gampang, nanti saya bawa. Aku bias kok bikin bumbunya”, begitu kira-kira kaa Iyem ketika aku minta membeli bumbu instan sebelumnya. Dan para tukang masak ini terlampau jenius hingga mencomot bumbu-bumbu mie instan untuk membumbui tempe-tempe yang masih perawan. Akhirnya, mie instan ini terbuka bungkusnya begitu saja tanpa bumbu khas milikknya. Oh, mie instan yang ternoda.

Sebelumnya Fernando dan Adipati datang siang tadi. Syukurlan, mereka bisa turut menyertai kami. Namun, sayang. Mereka tak membawa tenda. Aduh.. bagaimana ya malam kami. Dan, kekhawatiran kami datang secara nyata. Hujan deras membasahi bahkan membanjiri tenda kami. Sudah tenda tak muat masih dicerca karena ketiadaan pelapis tenda, ditambah lagi karena kekurangan matras. Byar.. Walhasil, air masuk ke tenda dan membasahi tas kami. Jaketku, sarungku basah tak tertolong. Nasibku, malam ini aku pasti kedinginan, untuk beberapa jam kami hanya dapat duduk berhimpitan dan meratap kapan hujan ini reda. Tiada yang dapat kami perbuat saat itu. Kiri kanan depan belakang basah semua.

Untung, kami punya juru selamat. Fernando memberanikan diri untuk ‘nembung’ ke tenda sebelah. Akhirnya kami boleh ‘ngiyub’ dan dipinjami satu tenda agar digunakan perempuan-perempuan kami. Hujan reda, tapi banjir belum reda. Malam itu sebagian dari kami tidur sebisanya, sebagian lagi nyaris tak [mau] tidur. Oh, ya. Malam itu adalah mala tahun baru. Suara petasan yang berisik silau kembang menarik mata untuk disaksikan. Ah, aku biasa aja. Ku pejamkan mata tanpa menghiraukan teriakan-teriakan orang-orang yang histeris menyaksikan langit bercahaya. Entah apa yang membuat mereka girang.

Sementara Hasim dan lainnya masih asyik membakar kayu-kayu yang semula untuk api unggun. Setidaknya itu dapat menghangatkan badan. Ah, setidaknya ada alasan untuk mereka terjaga. Mereka membakar telo dan menikmatinya bersama. Entah bagaimana rasanya. Aneh dan gosong.

Pagi-pagi aku terbangun. Sisa-sisa hawa dingin semalam masih menyelimuti. Aku tak mau melepas rangkapan baju yang ku kenakan. Bersyukur para tukang masak sudah siap menghidangkan makanan untuk kami. Kali ini mereka menanak nasi dan menggoreng telur. Wah, enak nih. Dan tobrolnya, mereka lagi-lagi mencomot bumbu mie instan untuk membumbui telur dadar itu. Oh mie instan, kami memang jahat. Mie-mie itu berderet terbuka tanpa bumbu. Saya prihatin. Kami makan dengan lahap. Alhamdulillah, kami masih bisa makan nasi.

Air di sini ada banyak hanya saja yang membutuhkannya lebih banyak. Sehingga untuk mendapatkannya kami harus mengantri setidaknya 10 menit. Yang lebih parah adalah kalau ingin buang air, justru kami harus rela mengantri 10 hingga 60 menit. Kebayang, kan perjuangannya?

Lepas sarapan kami akan berjalan mencari sungai. Em.. apa ya namanya.. anggap aja sungai kecil. Ya, beberapa dari kami ikut sementara yang lain tinggal di tenda. Kami berjalan kira-kira satu jam untuk meraihnya. Ada banyak juga yang ke sana. Singkat cerita sampai di sana kami mandi dan membersihkan diri. Airnya dingin dan jernih. Alpi girang sekali ‘jeguran’ di sana. Setelah puas, kami segera kembali ke tenda dan selanjutnya berkemas-kemas untuk pulang.

Pukul 11.30 kami sudah sampai di tempat kala kami turun dari bus. Di sana kami menunggu kedatangan jemputan. Nahas, sudah satu jam bus tak juga datang. Bobi mulai tak sabar dan ‘nggremeng-nggremeng’ tak jelas. Dwi dan Lia juga begitu, mereka memintaku untuk menghubungi sopir. Dan sayangnya, hpku tewas. Fernando yang memang tidak serombongan dengan kami-mereka naik motor-, membantu menghubungi sopir. Namun, belum juga ada kabar.

Akhirnya, kami menunggu ketidakpastian jam berapa kami akan pulang. Aku sendiri santai saja menunggu. Tak apa sampai sore. Toh aku tak ada agenda apa-apa. Aku hanya dapat kabar kalau di bawah macetnya sangat parah. Tak perlulah aku marah-marah atau ‘nggremang-nggremeng’, aku yakin kok. Pak sopir masih dalam perjalanan menjemput kami.


Kami duduk di pinggir jalan dan menggeletakkan semua barang dari tas, kompor, tabung gas, dan lainnya. Dibalut wajah yang kusam, lecek, dan frustasi, lagi-lagi kami menjadi objek perhatian orang lewat. Kali ini lebih parah, ada pula yang meneriaki gila. “Lhah, bodo amat! Apa urusan dia”, batinku. Kami duduk saja dan mengobrol berbagai hal. Walau itu tak juga memupuskan kekhawatiran mereka kalau-kalau bus jemputan tak jua datang.

Tepat pukul 16.00 akhirnya yang dinantika tiba. “Amandaaaa...” teriakku. Itu adalah nama bus yang kami maksud. Kami pun bergegas masuk dan pulang. Saat itu baru terasa macetnya. Panjangg sekali.. Seteah kami keluar dari kemacetan mendadak suasana dalam bus menjadi hening. Semuanya tertidur dibius rintik hujan yang menemani kepulangan. Kakiku keju memangku kepala Udin yang bersandar. Setelah semua ini, aku hanya berharap agar semuanya tidak menyesal berkemah denganku.

 =========== EVALUASI =========


Untuk apa berkemah? Setidaknya berkemah melatih rasa syukur melalui tiga hal:

1. Menghargai lingkungan
Alam adalah anugerah tuhan yang Dia ciptakan sebagai tempat tinggal manusia. Sudah sepatutnya kita merawat dan menjaga kesucian Ibu Pertiwi. Untuk sementara waktu tenda adalah rumah tinggal yang ditempati. Tentu kita mencari lokasi yang bersih. Bagaimana agar bersih? Ya dibersihkan. Siapa yang membersihkan? ya kita sendiri. Maka kebersihan wajib dijaga oleh siapa saja demi ketertiban bersama. Pribadi yang bertanggungjawab tidak boleh meninggalkan sampah sembarangan. Haram hukumnya. Biasakanlah meminimalisir sampah terutama plastik dan sejenisnya. Jangan sampai muncul pepatah harimau mati meninggalkan belang manusia pergi meninggalkan sampah.

2. Menghargai SDA
Berkemah merupakan kegiatan di alam bebas. Barang krusial seperti air tidak selalu mudah diperoleh. Terkadang kita harus berjalan naik turun untuk mendapatkannya. Belum lagi jika situasi ramai yang mana memaksa kita untuk turut antri yang tidak sebentar. Bias 10 menit, 30 menit, bahkan satu jam hanya untuk buang air besar. Maka, menurut hemat saya mandi pada kondisi seperti itu adalah hal yang sangat mewah.

Barang bawaan termasuk bahan makanan bisa jadi dilematis manakala kurang cermat dalam menghitung kebutuhan. Bila terlalu banyak maka barang bawaan kita semakin berat sehingga boleh jadi memperlambat pergerakan dalam perjalanan yang naik turun. Dan bila terlalu sedikit, maka siap-siaplah untuk kelaparan atau kedinginan.

Terlebih listrik. Simpan batereimu dari hal-hal yang tidak perlu seperti main coc, chattingan, dan sejenisnya. Listrik boleh jadi langka atau tidak ada. Kalaupun ada harganya melangit. Sekali lagi, gunakan seperlunya. Kalau musikan, bolehlah.. :D

3. Menghargai orang lain
Dalam berkemah jiwa sosial kita dapat diasah dengan saling peduli. Bantu membantu, tanggap, dan supel. Jangan sungkan bila butuh bantuan dan jangan cuek jika dibutuhkan. Percayalah kebaikan yang kau beri tidak akan berhenti. Tuhan akan memberi kebaikan baru untukmu setiap hari. Maka, saat melihat teman dalam masalah, hampiri dan bantu. Juga, saat teman bikin masalah, datangi dan beri tahu!

Jangan manja! Manjamu tidak ada gunanya (selain untuk gebetanmu). Jadilah individu yang
a. Cepat kaki dan ringan tangan. Rajin masak, ambil air, bersih-bersih, angkut-angkut, dirikan tenda.
b. Pemberani. Berani pipis sendiri, berani bertanya, berani menyapa orang, dan berani mengambil risiko.
c. Penyabar. Sabar nunggu antrian, sabar kehujanan kepanasan, sabar perjalanan masih jauh.
d. Pandai mengatur waktu dan cepat mempelajari hal baru.
Maka di situ jiwa tangguh, ulet, dan terampilmu terbentuk. Itulah yang membuat anak kemah cakep dan keren.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar