Senin, 17 April 2017

KOMPETENSI PROFESI GURU (KARAKTERISTIK, ASPEK, KOMPONEN)



Oleh: M. Abdul Ghofur (13103200050 dan Siti Noor Rohmah (1310320003)

Tak dapat dipungkiri, peranan guru sangatlah penting dalam pendidikan, terutama dalam sistem pengajaran karena guru berposisi sebagai perantara sebuah ilmu untuk disampaikan kepada peserta didik. Di negara-negara maju kualitas guru sangat diperhatikan demi kemajuan bangsanya. Ho Chi Minh mengatakan: “No teacher no education no economy, and social development”. Pernyataan tersebut menyuratkan bahwa guru adalah akar dalam mengembangkan pendidikan, sehingga merambah ke bidang ekonomi, dan menuju dalam bidang sosial. Apabila dari akar sudah tumbuh dengan baik, maka pendidikan terjamin, ekonomi maju, dan kesenjangan sosial dapat ditekan.

Pelaksanaan pendidikan tidak semudah yang dibayangkan, pendidikan membutuhkan tenaga yang sangat ekstra. Sementara itu pemerintah berusaha menyiapkan sumber daya manusia yang ditugaskan untuk mewujudkan peradaban bangsa, yaitu guru. Dewasa kini guru tergolong profesi yang menuntut keseriusan, kematangan, serta kecakapan yang tinggi. Seorang pendidik atau guru dituntut untuk bisa membawakan materi yang akan disampaikan kepada peserta didiknya. Tidak berhenti sampai di situ, seorang pendidik profesional diharuskan mampu menyajikan materi sehingga mudah dipahami dan disukai peserta didik.
Guru Profesional
Profesional adalah sifat yang terkait dengan profesi. Dengan demikian, guru profesional adalah guru yang memiliki sifat, ciri-ciri, karakter sesuai dengan profesinya. Sesuai dengan ketentuan UU No. 14 tahun 2005 tentang furu dan dosen, guru disebut profesional bila telah memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik dapat diperoleh melalui program sertifikasi atau profesionalisasi guru.
Karakter profesi antara lain terdidik, terlatih, kekhususan, otonom, terorganisir, memiliki kode etik, terpercaya, dedikasi, dan mendapat imbalan yang memadai.[1]
1.  Terdidik, artinya pemegang profesi itu memerlukan tingkat pendidikan tertentu. Jabatan profesi menuntut pendidikan tinggi dan untuk itu perlu waktu belajar yang lama, bahkan belajar terus-menerus (pendidikan sepanjang hayat) secara berkesinambungan untuk menjaga kualitas atau mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu memerlukan guru/pendidik yang bermutu. Melalui pendidikan pemegang profesi telah dinyatakan memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidangnya (kompeten). Bagi guru, kepemilikan kompetensi itu ditandai dengan kualifikasi akademik S-1 atau D/IV
2.  Terlatih, artinya pemegang profesi itu harus ahli atau terampil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu menerapkan ilmu/pengetahuan yang telah diperoleh dari pendidikan. Bagi guru, hal itu berarti terlatih dalam menerapkan ilmu/pengetahuan keguruannya. Pelatihan itu diperoleh dalam PPL (Praktik Pengalaman Lapangan), setelah diberi kuliah dan lulus mata kuliah Micro Teaching. Dalam kaitannya dengan empat kompetensi guru dituntut oleh UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pelatihan tersebut masuk dalam kategori kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan untuk mendidik/mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan, sehingga siswa yang diajar dapat belajar dengan aman dan nyaman, tumbuh dan berkembang sesuai bakat, minat, dan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk itu guru perlu menguasai didaktik (ilmu mendidik umum dan metodik  (ilmu mendidik khusus atau metodik khusus) dilengkapi dengan ilmu-ilmu bantu pendidikan, seperti psikologi (umum, perkembangan, anak, remaja, dewasa) dan ilmu bimbingan dan konseling.
Sesuai dengan tuntutan keterlatihan itulah maka pendidikan calon guru (prajabatan) perlu dilakukan melalui Pendidikan Profesi. Pendidikan Profesi dengan beban studi 40 satuan kredit semester (sks) yang dilaksanakan dalam waktu dua semester. Dengan demikian guru profesional belum cukup dididik di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) selama empat tahun (delapan semester) dengan ijazah Sarjana Pendidikan, melainkan masih perlu ditambah dengan Sertifikat Pendidik yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Profesi.
3.  Kekhususan, artinya pemegang jabatan profesi itu harus terdidik dan terlatih dalam bidang khusus, untuk dapat dibedakan dari bidang garapan profesi lain. Bidang khusus itu harus ditekuni secara berkesinambungan dan tetap, tidak berubah-ubah atau berpindah-pindah. Hal ini perlu untuk menjaga kualitas profesinya melalui proses perluasan dan pendalaman. Bagi guru, khususan itu adalah keguruan. Seorang guru profesional dituntut bakat dan minat, kiat dan komitmen untuk menjabat sebagai guru/pendidik. Sebagaimana telah disebut di depan, profesi itu bukan amatiran. Jadi seorang guru profesional bukanlah guru amatiran, yang terjadi secara kebetulan, sebagai batu  loncatan, yang cenderung tanpa dedikasi/pengabdian, tanpa kesetiaan yang dapat mengabaikan organisasi/ikatan profesi dan kode etik profesi.
4.  Otonom,  artinya memilki kemandirian dalam ruang lingkup kerja, yang tidak diatur oleh profesi yang lain. Guru profesional (organisasi profesi keguruan) harus berani mengambil putusan sendiri dalam bidang dan ruang lingkup kerjanya serta mempertanggungjawabkannya. Tentang persyaratan siswa seperti apa yang dapat diterima, isi pendidikan apa yang perlu diberikan, nilai-nilai apa yang harus diinternalisasikan, metode mengajar apa yang perlu dipergunakan, ketentuan keberhasilan/kelulusan seperti apa yang ditetapkan, semua ada pada otoritas guru/pendidik/sekolah, dengan berpedoman pada kurikulum yang telah ditetapkan secara formal oleh Pemerintah berdasar kesepakatan.
5.  Terorganisasi, artinya jabatan profesi itu memerlukan adanya ikatan dalam suatu organsasi, yang disebut organisasi profesi. Melalui organisasi profesi itulah prinsip-prinsip dan tujuan profesi dapat diperjuangkan dan ditegakkan serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, seperti PGRI.
6.  Memiliki kode etik,  yaitu norma dan asas yang disepakati oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan dan ukuran tingkah laku. Kode, merupakan lambang atau simbol yang bermakna. Kode etik profesi keguruan berarti hal-hal yang mendasar, yang bernilai, yang berharga, yang bermakna, yang baik, yang diinginkan, yang menjadi landasan dan ukuran bertindak bagi guru profesional sebagai anggota dari organisasi profesi keguruan.
Kode etik organisasi biasanya ditetapkan dalam suatu rapat besar atau kongres seluruh anggota atau melalui mekanisme perwakilannya. Sesuai dengan namanya sebagai kode etik, yang terkait dengan etika atau moral, maka kode etik hanya memiliki sanksi moral, bukan sanksi hukum, dengan sanksi terberat dikeluarkan dari keanggotaan organisasi profesi. Tetapi sering kode etik diperlakukan sebagai aturan sehingga memiliki sanksi hukum.
7.  Berprestise/terpercaya, artinya jabatan profesi itu menuntut suatu kepercayaan dari luar atau pihak lain. Guru profesional harus memperoleh kepercayaan dari pelanggannya (stakeholders). Pelanggan bagi guru adalah secara vertikal: atasan (kepala sekolah, penilik/supervisor, kepala kantor wilayah, dan seterusnya) dan secara horizontal: siswa, teman sejawat, orangtua siswa, dan relasi di masyarakat yang relevan, termasuk dunia kerja dan pendidikan lanjutan. Kepercayaan itu dapat diperoleh melalui kewibawaan, yang pada dasarnya merupakan suatu pengakuan secara bebas dan sukarela. Kewibaaan guru terkait erat dengan kepribadiannya. Jadi guru profesional harus berkepribadian yang baik yang terhormat dan terpecaya, yang dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dimaksudkan sebagai kompetensi kepribadian atau individual.
8.  Dedikasi/pengabdian, artinya pemegang jabatan profesi harus memiliki dedikasi, pengabdian, atau loyalitas terhadap organisasi profesinya. Bagi guru, loyalitas itu dapat ditunjukkan dengan kerja keras, disiplin, produktif secara akademik (banyak menulis karya ilmiah atau buku), mengembangkan kompetensi pendidik dan keguruan. Guru profesional tidak menjadikan tugas keguruan sebagai sambilan, melainkan sebagai tugas pokok, bila perlu tidak ada pekerjaan sambilan. Kalau ada kerja sambilan hendaknya yang sejalan dengan tugas pokoknya dalam dunia pendidikan, bila perlu yang dapat menunjang tugas pokoknya sebagai guru. Tidak ada salahnya seorang guru punya sambilan berdagang, tetapi tetap guru yang berdagang  bukan pedagang yang menjadi guru.
9.  Imbalan yawng memadai, merupakan konsekuensi logis dari suatu jabatan profesi. Jabatan profesi memerlukan pendidikan dan pelatihan yang relatif lama, memerlukan kekhususan, sikap yang otonom, terorganisasi, memiliki kode etik yang luhur, berprestise/terpercaya, dan dedikasi/ pengabdian serta loyalitas yang tinggi maka sudah layak dan sepantasnya bila memperoleh imbalan atau gaji yang tinggi. Telah disebut bahwa guru profesional bukan pekerjaan sambilan, juga bukan amatiran, melainkan suatu kehidupan dan penghidupan. Guru sebagai jabatan profesional harus dijalani sebagai kehidupan, maka sebagai konsekuensinya harus dapat menjadi penghidupan bagi penyandang jabatan profesi tersebut. Oleh karena itu, sejalan dengan upaya profesionalisasi guru di Indonesia, layak dan sepantaslah bila pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagai sumber penghidupan guru profesional.
Kompetensi Guru
Ada beberapa pendapat mengenai kompetensi diantaranya, menurut Hall dan Jones yaitu pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. Selanjutnya Richards menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang dapat diamati, yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari. Sedangkan Spencer dan Spencer mengatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu criteria efektif dan kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.[2] Sedangkan dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kompetensi adalah (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.[3]
Menurut UU No. 14 Bab I pasal 1 ayat 10 tenang guru dan dosen, disebutkan bahwa pengertian kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi merupakan peleburan dari pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan.[4]
Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan, kompetensi merujuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi verifikasi tertentu dalam pelaksanaan tugas kependidikan. Kompetensi diartikan sebagai suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang. baik yang kualitatif maupun kuantitatif.
Guru perlu memiliki kompetensi agar mampu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.[5]
1.      Kompetensi Pedagogik
Pedagogik berasal dari bahasa Yunani yakni paedos yang artinya anak laki-laki, dan agogos yang artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah membantu anak laki-laki zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya pergi ke sekolah. Menurut Prof. Dr. J. Hoogeveld (Belanda), pedagogik ialah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya.
Menurut imam wahyudi dalam bukunya panduan lengkap uji sertifikasi guru menyatakan bahwa Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran yang ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik.[6]
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum atau silabus; perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan peserta didik untuk mengaktulisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[7]
Dari penjelasan para tokoh yang disebutkan diatas maka yang dimaksud dengan kompetensi pedagaogik adalah sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar terhadap siswanya dalam menjalankan profesinya sebagai guru.Sehubungan dengan ini, setidaknya guru agama haruslah memiliki kompetensi pedagogik yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pembelajaran yang efektif dan efisien.
2.      Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur yang sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mapu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulada , Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani. Dengan kompetensi kepribadian maka guru akan menjadi contoh dan teladan, serta membangkitkan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, seorang guru dituntut melalui sikap dan perbuatan menjadikan dirinya sebagai panutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya .
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3.      Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis. Kompetensi profesional merupakan salah satu kemampuan dasra yang harus dimiliki seseorang guru.
Adapun dalam kompetensi ini seorang guru hendaknya mampu untuk :
a.       Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang di tempuh.
b.      Mengembangkan materi pembelajaran  yang di ampu secara kreatif .
c.       Mengembangkan keprofesionalan serta berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
d.      Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

4.      Kompetensi Sosial
        Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Dalam peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, pada pasal 28 ayat 3, yang dimaksud dengan kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik dan masyarakat sekitar .
Menurut Djam’an Satori, kompetensi sosial adalah sebagai berikut :
a.          Terampil berkomunikasi dengan peserta didik dan orang tua peserta didik .
b.          Bersikap simpatik .
c.          Dapat bekerja sama dengan Dewan Pendidikan / Komite Sekolah
d.         Pandai bergaul dengan kawan sekerja dan mitra pendidikan .
e.          Memahami dunia sekitarnya (lingkungan)
Guru profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada siswa, orang tua, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. Jadi, sebagai guru yang baik dan profesional itu tidak hanya mampu berkomunikasi dengan lingkungan kelas dan sekolah tetapi juga bisa berhubungan baik dengan masyarakat sekitar, bisa menjadi sumber ilmu bagi masyarakat dan memberi kontribusa yang positif.

Daftar Pusataka
Depdiknas, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Duta Nusindo, Semarang, 2005.
Depdiknas, Undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen serta Standar Nasional Pendidikan Tahun 2005, CV Tamita Utama, Jakarta, 2006.
Imam Wahyudi, Panduan Lengkap Uji Sertifikasi Guru, PT Prestasi Pustakatya, Jakarta, 2012
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konteksrual: Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah,  Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
Soebahar, Abd. Halim,  Matriks Pendidikan Islam, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2009
Tim, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher, Surabaya, 2008.
Tri Suyati, dkk., Profesi Keguruan, IKIP PGRI Semarang Press, Semarang, 2009.



[1] Tri Suyati, dkk., Profesi Keguruan, IKIP PGRI Semarang Press, Semarang, 2009. Hlm. 5
[2] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konteksrual: Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah,  Bumi Aksara, Jakarta, 2007. Hlm. 15
[3] Tim, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher, Surabaya, 2008. Hlm. 379
[4] Depdiknas, Undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen serta Standar Nasional Pendidikan Tahun 2005, CV Tamita Utama, Jakarta, 2006. Hlm. 5
[5] Depdiknas, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Duta Nusindo, Semarang, 2005. Hlm. 24.
[6] Imam Wahyudi, Panduan Lengkap Uji Sertifikasi Guru, (jakarta: PT Prestasi Pustakatya, 2012), hal.22
[7] Soebahar, Abd. Halim,  Matriks Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2009), hal. 192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar