Senin, 17 April 2017

Surat Terbuka dari Nelayan untuk Pak Jokowi



Assalamualaikum wr wb
Perkenalkan, Pak. Nama saya Ghofur asli Demak, usia 23 tahun. Saya seorang mahasiswa tarbiyah di salah satu perguruan tinggi negeri terfavorit di sepanjang Pantura yaitu STAIN Kudus. Bapak saya adalah seorang nelayan dan ibu sayalah yang menjual hasil tangkapan bapak. Di sini pekerjaan ibu itu disebut “Bakul seret”.
Dear, Bapak Presiden. Saya akan menceritakan keluh kesah bapak saya sebagai perwakilan dari segenap kelompok nelayan di daerah kami, Kecamatan Wedung Kabupaten Demak. Sejak beberapa waktu lalu bapak saya sudah resah akan penerapan kebijakan larangan penggunaan pukat hela dan ‘arat’ (cantrang). Bapak meminta saya untuk menulisnya agar sampai ke Pak Presiden. Dan inilah curahan hati bapak saya.

***
Bagian I
Pak, kami ini nelayan kecil, melaut dengan perahu kecil berdimensi 6,5 m x 2,8 m di wilayah perairan Demak dan sekitarnya.. Kami bekerja siang malam mengarungi lautan tidak lain hanya untuk mencari sesuap nasi. Kami berusaha bekerja sebaik-baiknya dengan alat yang ada sehingga kami dapat produktif dan turut mengembangkan ekonomi negara. Terkait tentang pelarangan penggunaan alat tangkap ‘arat’ (cantrang) yang menjadi gonjang-ganjing para nelayan dan kementerian kelautan dan perikanan (KKP), perlu kiranya untuk ditelaah ulang.
Saya ceritakan. Saya bukanlah nelayan kemarin sore, saya sudah merasakan asinnya air laut semenjak belum dikhitan. Bukan setahun dua tahun, tetapi sudah 40 tahun saya berprofesi sebagai nelayan. Bermacam-macam alat sudah kami jajaki dari jaring, dogol dan sebagainya. Namun, sejauh itu kami belum mendapatkan hasil tangkapan yang optimal.
Saya masih ingat, pemerintah mendorong nelayan untuk produktif, “Ayo, berantas kemiskinan. Buatlah alat yang canggih agar dapat ikan yang banyak. Tak perlu jauh-jauh ke luar negeri”. Begitulah kata mereka saat itu. Kini, di saat kami menggunakan alat yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan demi menghidupi keluarga dan anak-anak kami, dengan tangan kami sendiri, kenapa justru dilarang?
‘Arat’ dapat merusak ekosistem laut, terumbu karang, dan telur ikan. Begitulah alasan kebijakan ini seperti yang didengungkan pegawai Dinas KKP saat penyuluhan sore tadi. Saya jawab, tidak pak. Kami tidak merusak terumbu karang. Justru kami menghindarinya. Adanya karang tentu dapat menyangkut jaring kami. Kalau kami menerjangnya, bukannya dapat ikan, malah jaring kami yang rusak.
Pak, perahu itu harganya mahal, jaring juga mahal. Tentu kami berusaha menjaga agar peralatan kami tidak rusak. Karena kalau rusak, berarti kami tidak melaut (menganggur) bahkan nombok pada tukang untuk biaya perbaikan.
Pak, kami tidak mencari ikan di terumbu karang melainkan di perairan pasir dan lumpur, itu lebih aman bagi kami. Siapa bilang dasar laut yang berpasir tidak ada ikannya? Sini ikut saya mencari ikan. Saya tunjukkan keadaanya. Kalau perlu kita nyemplung sama-sama agar yakin. Sekali lagi kami tidak merusak terumbu karang seperti yang dianggap pejabat-pejabat KKP itu. Dalam hati saya berpikir, Bapak-bapak KKP itu pernah ke laut atau tidak? Pernah mengalami dan melihat sendiri atau tidak keadaan yang sebenarnya. Kok bisa-bisanya mereka bilang seperti itu.
Begini lho, Pak. Kami asli orang indonesia, pak. Melaut di perairan indonesia. Kami bukan pencuri seperti orang cina atau filipina itu. Apakah kami salah mengambil ikan di perairan negara kami, negara kita indonesia. Kalau yang ngambil orang asing, tangkap saja. Hukum yang berat. Lha ini kepada rakyat sendiri kok diperlakukan seperti maling. Sekali lagi kami bukan pencuri.
***
Bagian II
Oke, sekarang kami mencoba memahami dan mengikuti kemauan Ibu Susi selaku pimpinan KKP, yaitu nelayan meninggalkan ‘arat’. Saat saya bertanya pada dinas pada sesi tanya jawab saat itu, Apa alat tangkap alternatif yang dapat kami gunakan untuk menangkap ikan selanjutnya? Namun, nyatanya mereka hanyalah kabel speaker, Pak. Mereka bilang hanya bertugas menyosialisasi, kan. Ada permasalahan kami sampaikan ke atas. Entah, mereka menyampaikannya atau tidak.
Lantas, dengan apa kami menangkap ikan? Dengan menjaring sederhana seperti dulu? Waduh, pak? Jaman sudah berubah, peralatan tangkapan ikan pun sudah wajar jika berubah. Coba bapak bayangkan, berapa ikan yang dihasilkan dengan alat tangkap jadul seperti itu? Bukannya untung, malah kami nombok karena hasil tangkapan tidak cukup untuk membayar solar yang kami hutang sebelum berangkat.
Nelayan dan arat tidak bisa dipisahkan. Nelayan mencari ikan menggunakan arat. Tidak ada arat berarti tidak melaut.
Secara eksplisit KKP memaksa para nelayan untuk memikirkan sendiri nasib ke depannya. Sungguh ini merupakan kezaliman massif yang luar biasa. KKP membuat kebijakan akan tetapi tidak memberikan solusi alternatif yang memadai. Sebenarnya nelayan masih boleh melaut atau tidak? Kalau masih boleh kenapa dicekik seperti demikian? Apa yang dialami bapak dan rekan-rekannya ini tidak lain adalah  golongan nelayan yang terusik dan terusir.
Sebenarnya para nelayan mau saja mengikuti aturan pemerintah (berhenti menggunakan arat) asalkan pemerintah mau bertanggung jawab dengan memberikan bantuan alat tangkap alternatif yang sepadan. Mereka ini pelaut, pekerjaannya ya di laut. Kalau nelayan berhenti melaut, lantas dengan apa mereka menafkahi keluarga dan anak-anaknya? Lantas apa pekerjaan yang bisa mereka dapatkan? Saya tidak punya keterampilan lain. Saya saja tidak tamat SD. Apa sebegitu mudahnya memindahkan mata pencaharian orang banyak?
Bapak tahu, rasanya jadi pelaut seperti kami? Berangkat tengah malam kami lakukan demi menghidupi anak-anak kami. Lihat telapak tangan kami pak, mengapal tak ada bentuknya. Lihat pula wajah kami, ketampanan kami rontok tersengat panas matahari di tengah laut. Belum lagi ketika musim ombak. Piring, ompreng, sampai cendok melayang demi api kompor tetap menyala. Kami tidak minta macam-macam. Kami mohon pahami nasib kami. Dan kami mohon agar kebijakan pelarangan ‘arat’ itu dihapuskan. Itu sangat menyiksa kami.
Wassalamualaikum wr wb

Data Penulis
Nama : Muhammad Abdul Ghofur
Alamat: Ds Buko Kec. Wedung Kab. Demak
Institusi: STAIN Kudus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar