Jumat, 02 November 2018

AKU LELAH

Aku Lelah

-----
Hidup ini teramat rumit, njelimet, dan sempit. Sesempit ruang tahanan penjara. Kadang aku merasa teraniaya oleh tangan orang lain. Sementara aku membaikinya. Aku lelah menjadi orang baik. Maksud saya aku lelah menjadi orang yang tampak baik-baik saja. Sekali waktu bila diberi kesempatan aku ingin sekali misuh sekencang-kencangnya. Tentang rasa jengah ini, tentang rasa lelah ini. Tentang Berbasa-basi hingga mulut berbusa dan lidah kelu. Membentuk raut senyum padahal kecut sungguh menyiksa, sama menyiksanya ketika muka discover masker.
 
Mereka-mereka yang berlarian mengitariku, menarik-ulurkan tangan, dan menarikan jemari. Memainkan harapan, perasaan, dan mimpi. Betapa jahat mereka. Dia kira bila aku diam maka aku baik-baik saja? Tidak bung. Saya muak dan saya capek menyimpannya. Bila membunuh tidak dosa, bolehkah aku melakukannya? atau biaarlah dia yang melakukannya padaku.

tuhan, betapa lemah hambamu ini. Hari-hari ini tidak lain hanya menjadi sel tahanan belaka. Si pesakitan lelah, gusti. Berilah pertolongan... Pertolongan... Pertolongan… dan pertolongan. Setidaknya, buatlah pesakitan ini betah dan kuat dengan hukumannya, dengan sel sempitnya, dengan keterbatasan geraknya, dengan .. dengan.. dan lainnya. Gusti,..

****
Aku Lelah (2)


Hari-hari berlalu begitu saja tanpa bekas yang berarti. Ada canda, memang. Ada ledakan tawa, memang. Namun ia hilang secara perlahan kemudian. Berganti dengan kondisi semula. Diam, sepi, kosong, sendiri, dan hilang. Sepertinya mode default diriku adalah “senyap”. Tak bersuara dan tak bergetar. Bahkan, berkedip pun tidak.

Setiap hari aku hanya men-secroll down laman fb. Sesekali aku meninggalkan jejak komentar di posting yang dimunculkan Mark zuckerberg. Ada rentetan berita ‘kesenangan’ yang terus diulang-ulang. Ada macam-macam broadcast yang tak jelas hulu-hilirnya. Kalau aku tertarik, aku tulis panjang komentarku dengan sedikit idealisme beserta ke-soktahu-anku. Namun seringnya aku menghapusnya lagi karena aku tetiba berpikir. Halah, buat apa aku menanggapi hal semacam ini.

Ada juga teman yang memposting foto terbarunya, di suatu tempat, dengan seseorang, dan dengan caption macam-macam. Lalu kububuhi juga tanda jempol di sana. Bukan karena aku suka. Hanya saja aku berpikir, sepertinya dia butuh usaha keras untuk melakukannya, mengambil pose terbaik, menghabiskan waktu untuk berswafoto, bahkan merelakan sesuatu untuk sekedar mendapat apresiasi di sosial media. Oke, aku like. Akupun masih mengharap hal yang samabila menjadi dia.

Atau menggeser layar ke kanan di bidang wa story. Ku lihat berbagai jenis kegiatan yang mereka lakukan. Ya, dia sedang makan. Atau dia sedang ingin diketahui kalau dia sedang makan. Entah itu makanan biasa, maknan tidak biasa, atau makanan basi. Adalagi yang sedang jalan, jualan, dan jajan. Sedang bahagia tepatnya. Entah, aku percepat gerakan jempolku dari kanan ke kiri. Aku seperti cacing kepanasan melihat kebahagian mereka. Itu seperti melihat orang lain dapat uang togel sedang aku tidak. Padahal kita sama-sama pasang nomer. Sial. Sontak saja aku merasa sedih dan merengut kecewa.

Lalu, apakah aku senang melihat story mereka yang sedang sedih? Tentang permasalahannya, kesedihannya?...... Tidak. Aku tak tahu… Atau tak mau tahu…. Baik, aku pertegas. Aku tak perduli. Aku tak perduli kesedihannya dan aku tak suka kebahagiaannya. Aku hanya peduli pada diriku, pada kesedihanku, pada semua keinginan-keinginan yang tercampakkan. Duh gusti, manusia macam apa aku? Racun apa yang telah merenggut kemanusiaanku. Apakah aku telah berubah menjadi setan yang membuat orang lain menderita?

Gusti, cambuk aku gusti.. cambuk.. hati ini terlalu kotor sehingga kedengkian teramat dalam menancap di relung jiwa. Pikiran ini terlalu gelap sehingga cahaya kebenaran sulit menerangi palung sukma. Robbal baroya… astaghfirulloh.. minal khotoya.. astaghfirulloh..
***

Aku Lelah (3)
___
Air di bak mandi terasa dingin sekali. Dan semakin dingin akhir-akhir ini. Aku tak lagi berniat melawannya. Tak seperti biasanya. Untuk apa? Apa yang mau aku perjuangkan? Apa yang mau aku buktikan? Badanku memberat sehingga enggan berbuat apa-apa.

Keluar dari kamarpun tak memberi banyak arti. Hanya abu-abu. Hanya kelabu. Tak ada yang menarik. Tak ada yang berwarna. Sekelilingku mendadapk berubah menjadi hitam putih belaka mirip siaran tv jadul. Atau mungkin penglihatanku yang memudar. Ada tabir di sana.
Aku duduk di lantai dan bersandar di tembok ruang tengah. Pandanganku kosong. Yang aku lakukan hanya membenturkan kepala belakangku ke tembok perlahan. Lalu mengepalkan tangan dan menghentakkannya ke lantai. Kakiku kugetarkan mendedahkan kegundahan, kegelisahan, ketakutam, dan kekhawatiran. Semuanya erat membelenggu tubuhku.

Pikiranku melayang ke hari-hari lalu. Tentang sebuah ikrar, pertemuan, janji, dan mimpi. Namun, tak ada yang kuingat melainkan begitu banyak penolakan, pemutusan, pengingkaran, dan pengkhianatan. Haruskah aku terus menikmati kepedihan ini. Dan melemparkan diri pada jurang keberpasrahan yang tak tentu muaranya. Pasrah menderita, pasrah diperas, pasrah dibohongi, pasrah ditinggal, pasrah dikerjai, pasrah ditertawakan.

Semua orang akan menghujaniku dengan tangan di pinggang atas segala sedihku, “apa masalahmu?”. Lalu aku kembali mendongengkannya rentetan peristiwa lalu. Sehingga ia berujar, “aku turut bersedih”, menggelengkan kepala, berbalik badan, dan melambaikan tangan. Dan cepat-cepat pergi agar tak dipanggil lagi untuk dimintai bantuan. Hingga kita bertemu lagi, mulutnya terkunci rapat. Menjaganya baik-baik agar tidak terucap kata mau membantu atas permasalahanku.

Akupun tak mengapa. Sungguh aku lelah dan teramat lelah. Aku malah pernah dimaki seorang teman atas kejadian yang menimpaku. jian..... orang macam apa yang tega memaki dan mengolok temannya saat ia terjatuh dan tak berdaya. Aku bukan kriminalis, aku tidak bertindak amoral. Dan satu lagi. Aku tidak mengusik hidupmu. Kalau aku tahu tuhan mengirimmu untukku hanya untuk mengolokku, lain kali aku akan menyiapkan rokok ditangan kananku dan korek ditangan kiriku. Agar aku lekas menyirammu dengan bensin ke mulutmu. Simpan saja kata-katamu untuk dirimu sendiri. Sakit memang, tapi tidak berdarah. Haruskah aku memanggilmu, “teman”?***

Terus Berjalan
Oleh Muhammad Abdul Ghofur

Aku tak kan lelah berjalan
menyusuri hutan duri walau meronta
erangan kesakitan adalah kesaksian
akan kesaktian yang ke sekian

Aku tahu aku kuat
merajai hari tak kenal gelap
setiap hari adalah hari yang terang
melangkah dan terus berjuang
Aku tak terkalahkan
aku tak terelakkan
mengawini senja yang hangat
tanpa sadar cahaya meredup menjelma pekat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar