Rabu, 22 April 2020

Review Film : Dua Garis Biru




Oke, saya akan mereview film ini dengan lugas, tidak bertele-tele. Anyway film ini realese perdana pada Juli 2019. Karena kisahnya yang 'nakal' tentu saja penayangannya mendapat stigma miring bagi beberapa kalangan yang concern pada isu moral dan agama. Namun bagi pihak lain, justru film ini sangat bagus dan layak untuk ditonton para remaja serta orangtua agar menjadi pembelajaran bersama. So, let's do it!

Film ini bercerita tentang 'kecelakaan' dua remaja yang bernama Bima dan Dara. Alkisah Bima dan Dara adalah remaja yang duduk di bangku Kelas XII SMA. Saking dekatnya mereka berpacaran, mereka sering berduaan baik di sekolah maupun di rumah.


Di film tersebut diceritakan Bima sering main ke rumah Dara tanpa ada kekhawatiran apapun. Ya, hanya berdua. Tidak ada adik Dara, atau orangtuanya. Hingga akhirnya entah bagaimana mereka bisa tidur bareng. Dara tampak ketakutan dan menyesal. Bima juga cukup menyesal, tetapi dia berusaha meredam kekhawatirannya dengan bersikap tenang dan berjanji akan bertanggung jawab.

Dan ternyata Dara positif hamil. Mereka berdua semakini diliputi ketakutan. Ditambah perut dara yang semakin membesar dan sering tidak enak badan. Baik Bima maupun Dara tak bisa berbuat banyak. Mereka tak mungkin bercerita kepada orangtua apalagi teman-temannya. Sekuat tenaga mereka menyimpan rapat aib ini.

Semula Bima dan Dara sepakat untuk menggugurkan kandungan Dara. Namun, di tengah jalan Dara berubah pikiran. Ia tak tega dan meyakinkan diri untuk tetap mempertahankan bayinya. Apapun yang terjadi ia akan menghadapi dan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Bayinya harus tetap hidup meski lahir dari sebuah ‘kesalahan’.

Dara tetap bersekolah seperti biasa sampai dia terjatuh saat jam olahraga dan ketahuan kalau dia tengah hamil. Sekolah gempar, kedua orangtua Dara dan Bima dipanggil ke sekolah. Di sini digambarkan bagaimana hancurnya perasaan orangtua masing-masing. Mereka tak sanggup menerima kenyataan bahwa putra-putri mereka melangkah terlampau jauh.

Bima berusaha meyakinkan orangtua Dara kalau dia bisa bertanggung jawab. Tapi kita tahu, Bima masih seorang bocah. Apa yang bisa kita harapkan dari dia? Bagaimana dia bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga sementara dia masih harus sekolah. Dia juga bukan siswa yang cukup pintar dan berprestasi.

Ibunda Dara nampak kesal dan tak kuasa membendung emosinya sehingga meninggalkan Dara. Orangtua Bima sama hancurnya, hanya saja mereka berusaha menahan kekecewaannya. Darapun ikut Bima tinggal di rumahnya yang kecil di dalam gang sempit dan cukup kumuh.

Di sana digambarkan adanya syok yang dialami Dara dengan kenjomplangan taraf hidup antara keluarganya dan keluarga Bima. Selain harus mengisi air ketika mau mandi, hampir tidak ada adegan kepayahan Dara ketika tinggal di ‘rumah barunya’. Namun, dari mimik muka keheranan dan tidak enaknya serta sudah cukup menggambarkan betapa getir kenyataan yang ia hadapi. Saya tak habis berpikir, berarti selama ini Dara tidak pernah tahu bagaimana latar belakang Bima (?)

Film ini benar-benar menguras emosi. Antara menyesali kebodohan Bima dan Dara juga usaha mereka untuk mau bertanggung jawab. Lebih dari itu saya kagum kepada orangtua masing-masing yang akhirnya mau memikirkan masa depan anaknya meski tak luput dari luapan emosi.

Saya melihat sosok orang tua yang tegar dan mau menerima kenyataan bahwa anak yang mereka banggakan dan percayai justru melakukan tindakan bodoh dan memalukan. Terlepas dari keputusan kontroversi terkait hak asuh anak atau perceraian, masing-masing menyadari penuh apa konsekwensi yang akan timbul ke depan.

Orangtua mereka mau mendampingi dan ingin segera menuntaskan masalah ini. Semua sudah terjadi, dan apa boleh buat. Sudah habis air mata dan keringat menyesali semua ini. Toh mereka juga akhirnya sadar, salah mereka juga kenapa tidak mengawal putra-putri mereka.

Saya dan penonton lainnya tentu agak getir juga menyaksikan raut muka polos Bima yang serba salah dan serba bingung akan apa yang ia hadapi. Ia bisa saja berusaha tampak dewasa dan mengayomi saat bersama Dara. Lha wong mereka seumuran. Namun, di depan orangtua dan mertuanya, Bima memang benar-benar tak lebih dari seorang remaja. Bagaimana dia gugup dan berwawasan sempit. Bukan mkasud merendahkan, tapi memang kita tak bisa menaruh harapan lebih pada seorang remaja 17 tahun untuk mengurus rumah tangga.

Kita semua melihat bahwa Bima dan Dara memang belum siap untuk menuju level ini. Mereka seharusnya belajar dan menata hidup untuk mandiri. Bersungguh-sungguh belajar dan mengasah keterampilan bukan justru ‘kejeron’ dalam berpacaran.

Well, kasus ini bisa menimpa siapapun, bahkan dari kelaurga terdidik dan religius sekalipun. Terkait hal ini peran orangtua sangatlah krusial. Ia tak bisa begitu saja melepas kontrol atas kegiatan anak. Mereka perlu mendampingi, berbincang mengenai pubertas dan hal yang menjadi fenomena anak dewasa ini. Kalau bukan orangtua sendiri, lalu siapa lagi?
**
Bonus
Kekesalan Dewi -kakak Bima- yang marah kepada Bima saat tahu dia menghamili anak orang memang agak tabu. Dia menanyakan, “Kamu pakai kondom nggak, sih?”. Scane ini lumayan menjebak dan risky. Ya natural sih, ia mengucapkannya. Entah karena di lapangan ‘kejeron’ sudah jamak dan tak dapat lagi ditutupi atau sebuah pengalaman pribadi. (Untung Cuma film ya.. Boleh su’uzhon nggak?)

Positifnya, remaja juga tahu ihwal alat kontrasepsi. Mereka bisa membicarakannya bersama orangtua dan guru. Negatifnya, keingintahuannya mengalahkan batas-batas yang telah disepakati. Sehingga mereka justru tahu dan melakukan langkah ‘aman’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar