Rabu, 15 Oktober 2014

TEORI NATIVISME




Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah seorang filosof Jerman yang bernama Arthur Schopenhauer (1788-1880). Aliran nativisme adalah aliran yang menganggap bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaan sejak lahir, sedang faktor lingkungan dinilai kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki potensi jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki potensi baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan potensi yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orang tua. Pada prinsipnya, pandangan Nativisme mengakui adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter (turunan), serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orang tua yang ahli seni rupa, akan berkembang menjadi seniman yang mungkin melebihi kemampuan orang tuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orang tuanya.
Arthur Schaupenhaur dengan tegas menyatakan bahwa yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandangan ini sebagai lawan dari optimisme (keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan) yaitu pendidikan pesimisme (keberhasilan ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak).
Faktor-Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
1.      Faktor Genetik. Adalah faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orang tua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar.
Dengan demikian, apabila kita menghendaki keturunan yang baik, kita harus memulainya terlebih dahulu. Seperti halnya kisah Imam Syafi’i yang hafal al-Qur’an sebelum baligh dan menjadi mujtahid di usia belia. Orang tua Imam Syafi’i senantiasa menjaga makanan dan halal selama hidupnya, walhasil lahirlah anak yang cerdas karena kesucian gennya.
2.      Faktor Kemampuan Anak. Adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dengan dikenalkan pada ragam kegiatan yang ada, minat-minat anak akan mulai tampil. Minat ini dapat dikembangkan secara maksimal, seperti kemampuan qira’ah, tahfizh, kaligrafi, bela diri dan lainnya.
3.      Faktor pertumbuhan Anak. Adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Dalam kasus ini, individu dituntut untuk peka terhadap diri sendiri dan lingkungan ia tinggal, sehingga ia mengetahui hak dan kewajiban yang harus ia emban. Seperti sholat, mengaji, puasa, dll.
Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
Dengan teori ini setiap manusia diharapkan:
  1. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki. Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Sehingga memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya maupun syiar islam.
  2. Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi. Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi muslim yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman.
  3. Mendorong manusia dalam menetukan pilihan. Adanya teori ini muslim bisa bersikap lebih bijaksana dalam bertindak, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalah yang terbaik untuk dirinya.
  4. Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang. Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimiliki agar memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jatidirinya.
  5. Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki. Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
Akhirnya, “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” (siapa yang mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal siapa Tuhannya), begitulah seharusnya manusia. Tuhan membekali manusia dengan potensi. Ada potensi baik dan adapula potensi jahatnya, firman Allah: “Faalhamaha fujuraha wataqwaha” (Maka Allah mengilhamkan kepadanya [potensi] kedurhakaan dan [potensi] ketaqwaan). Mari kita gunakan dan kembangkan anugrah potensi ini sebaik-baiknya.

Referensi :
Idris, Zahara. PengantarPendidikan. 1992. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Maunah, Binti. Ilmu Pendidikan. 2009. Yogyakarta: Sukses Offset
Tirtarahardja, Umar, dan La Sula. Pengantar Pendidikan.2000. Jakarta. PT Rineka Cipta.

= (Refleksi Pertama )=
Dalam film yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, diceritakan kisah sarjana-sarjana pengangguran. Muluk meminta Syamsul untuk menjelaskan kepada anak jalanan bahwa pendidikan itu penting. Muluk berpendapat bahwa pendidikan itu penting, karena pendidikan akan membawa manusia dari kegelapan menuju alam yang terang. Akantetapi, Syamsul menolak karena dia pesimis pada dirinya sendiri. Ia berargumen bagaimana mungkin menerangkan kepada orang lain bahwa pendidikan itu penting, sedangkan ia sendiri menganggap pendidikan itu tidak ada gunanya. Perdebatan mereka berduapun terjadi. Syamsul merasa perjuangannya dari SD hingga universitas hanya buang-buang waktu saja. Toh akhirnya dia hidup miskin dan serba kesusahan. Sementara itu di lain pihak ada orang bodoh (tidak mengenyam pendidikan tinggi), tetapi hidup enak dan kaya raya. Syamsul menganggap kesuksesan tidak ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikan, melainkan takdir (faktor keturunan). Dan dia (Syamsul) sudah ditakdirkan miskin.
Perdebatan ditutup Muluk dengan sergahan, “Maka dari itu, setelah mengenyam pendidikan tinggi akhirnya kamu tahu, bahwa pendidikan itu tidak penting. Jadi, pendidikan itu penting agar kamu tahu bahwa pendidikan itu tidak penting.”

= (Refleksi kedua )=
Diriwayatkan bahwa dahulu sebelum Allah menciptakan Nabi Adam As, bumi dihuni oleh mahluk yang bernama banul jan. Mahluk ini gagal mengemban misi untuk memakmurkan bumi. Mereka senantiasa membuat kerusakan dan bencana. Sehingga Allah menumpas mereka melalui malaikat-malaikatnya. Dalam penyerbuan itu, semua Banul jan tewas. Hanya ada satu bayi banul jan yang selamat. Lalu, malaikat membawa bayi tersebut ke surga, agar dididik menjadi mahluk yang lebih baik daripada leluhurnya.
Setelah bayi banul jann dewasa, ia menjadi sayyidul malaikat, kepala dari para malaikat di surga. Dan ia dikenal dengan nama “Iblis”. Lalu, ketika Allah mengenalkan Adam sebagai calon khalifah di bumi nanti - sebagai mahluk yang paling sempurna – Iblis menjelma menjadi pembangkang yang takabbur. Sehingga diusir dari surga dan kekal di neraka selamanya.
Dapat kita lihat, ternyata karakter pembangkang Iblis mencuat begitu saja. hal itu tentu bukan dari didikan malaikat yang senantiasa taat kepada Allah. Namun, sifat tersebut adalah turunan dari nenek moyangnya (Banul jan). Dari sini muncul anggapan bahwa pendidikan malaikat kepada Iblis selama bertahun-tahun menjadi sia-sia. Iblis kembali kepada fitrahnya sebagai mahluk yang sombong dan durhaka.
Dikutip dari Durrotun Nasihin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar