Kamis, 21 Januari 2016

Yadi dan Retno



Oleh: Ghofur Dzulhikam


Yadi dan Retno duduk berhadapan di ruang makan malam itu. Yadi baru saja pulang kerja di perusahaan swasta metropolitan. Ia segera membuka bungkusan yang ada di hadapannya. Ia gulung lengan bajunya dan menyantap nasi padang yang sudah dingin. Sambil mengunyah pelan Yadi mengajak ngobrol istrinya yang sedari tadi duduk tertunduk, “Dik, kamu nggak makan?”. “Nggak, mas. Nggak lapar, kok”, jawab Retno. “ah yang bener. Kamu kelihatan lesu gitu kok”, balas Yadi. Melihat Retno hanya diam membisu Yadi pun ikut terdiam. Ia takut kalau pertanyaannya diteruskan nanti malah menyinggung perasaan istrinya.


Selesai makan, baru saja Yadi mau berdiri untuk ke belakang, Retno sudah membawakan panci kobokan untuk suaminya. “Ini, mas”, katanya lembut. Yadi tersenyum tanda suka dengan perlakuan istrinya. “Lha, lapnya mana, dik?”, tanya Yadi pada Retno. “Oh, iya. Lupa”, jawab Retno seraya berlari ke belakang. Kali ini perlakuan Retno lebih istimewa, ia meraih tangan suaminya dan membersihkan tangan suaminya. Yadi pun tak kuat menahan keheranannya dan berujar, “Tumben dik, kamu sweet banget”. “Ah, mas. Dari dulu kan emang sweet”, jawab Retno sambil mencubit tangan Yadi. Kemudian Retno membawa semua peralatan di meja makan ke dapur. Yadi turut berdiri dan membantu istrinya sambil bergumam, “ada apa, ya?”.

Mereka kembali duduk berhadapan di meja. Retno juga kembali seperti awal perjumpaan tadi, terduduk dan diam menunduk. Yadi mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Retno ngobrol, “Dik, kamu sudah…”. “Mas nggak mandi dulu?”, Retno memotong perkataan suaminya yang belum selesai. “Em.. iya.”, Yadi terbengong dan terpaksa mengiyakan perkataan istrinya.

Retno pindah ke ruang tamu, menonton tv sembari menunggu suaminya. “Ceklek”, suara saklar yang ditekan membuat lampu padam. “Maassss”, teriak Retno. Seperti biasa, Yadi menggoda istrinya yang nampak serius menonton film. “Serius amat nontonnya”, kata Yadi. “Biasa aja deh”, jawab Retno kecut. Mereka menonton bersama film india itu, “Rabne Bana di Jodhi”. Malam itu mereka tak benar-benar fokus menonton film tersebut. Mereka saling mencuri pandang satu sama lain. Saat Retno merasa suaminya fokus di film ia memandang wajah suaminya, begitu juga dengan Yadi.

Akhirnya, Retno memberanikan diri mengatakan hal yang ia pendam beberapa hari ini. “Mas..”, paanggil Retno. “Hmm”, jawab Yadi yang masih menghadap ke tv. “Mas, hadap sini dong, aku serius”, rengek Retno. “Iya, dik. Ada apa”, Yadi menghadap Retno yang tengah menitihkan air mata mungil di pipinya. Yadi kaget bukan main, masa iya istrinya menangis karena filmi ini, film yang telah berkali-kali mereka tonton bersama. “Kamu kenapa, dik?”, tanya Yadi. “Aku minta maaf, mas”, Retno memegang tangan Yadi erat-erat. “Aku minta maaf. Aku belum bisa menjadi istri yang baik”, lanjutnya. “Belum baik gimana, kamu itu istri terbaik di dunia”. Jawab Yadi. Retno membalas, “Tapi aku merasa belum, mas”. “Kenapa?”, tanya Yadi. “Aku nggak bisa masak, hehe”, Retno menjawab sambil meringis. “Hahaha.. Iya emang”, Yadi ikut tertawa mendengar jawaban dan ekspresi lucu istrinya.

“Aku serius, mas. Aku merasa bersalah karena belum bisa masak. Aku hanya dapat menyediakan nasi bungkus setiap hari untukmu”, Retno menunduk lagi dan sedikit tersedu. “Ah, istri nggak wajib memasak kok. Katanya, kalau suami gak bisa benerin genteng bocor, ia bisa manggil tukang. Sama aja dengan istri, kalau nggak bisa masak, ia bisa cari pembantu atau beli di warung”. Jawab Yadi menenangkan. “Tapi ini beda, mas. Aku sendiri yang mengharuskan diriku memasak untuk suamiku. Itu sebagai bukti cinta untuk seseorang yang menjagaku dan mengasihiku”, Retno menjelaskan. Mereka berdua memang suka adu argumen dalam banyak hal. Meskipun hal sederhana.

Kali ini giliran Yadi yang meraih pundak dan mencubit hidung istrinya, “Cie.. kamu sweet banget.. begini, dik. bukan hanya kamu. mas juga minta maaf. mas belum bisa memasak untukmu”. “Tapi mas, memasak kan kewajiban istri, bukan suami”, sergah Retno. “Iya. Tapi, kalau istrinya nggak bisa, suaminya harus mengajari, kan. Nah, mas nggak bisa ngajari kamu masak. Mas juga minta maaf”. “Jadi gimana?”, tanya Retno. “Ya belajar dong. Hahaha. Gitu aja kok repot”, jawab Yadi sambil terbahak. “Iya, deh, mulai besok aku akan belajar masak”, Retno tersenyum manyun. “Nah gitu dong. Istri yang baik ya kamu ini. Istri yang mau belajar”, puji Yadi. “Dan suami yang baik ya kaya mas. Suami yang nggak pernah marah-marah”, Retno balas dendam mencubit hidung suaminya dan berlari ke kamar. “Hei, sejak kapan mas marah-marah. Awas kamu ya”, Yadi pun mengejar istrinya. Dan akhirnya, mereka berdua masak air di kamar, meh ngopi.

~Jumat Barokah
Demak, 22/02/16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar