Selasa, 22 Desember 2015

ETIKA DAN ESTETIKA BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN



Nama : M. Abdul Ghofur
NIM    : 1310320005
ETIKA DAN ESTETIKA BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN
Bahasa sebagai alat komunikasi
Manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dalam memenuhi kebutuhannya setiap orang memerlukan kerja sama dengan orang lain. Kebutuhan manusia sangat banyak dan beraneka ragam. Mereka perlu berkomunikasi dalam berbagai lingkungan di tempat mereka berada: antaranggota keluarga – komunikasi keluarga, antaranggota masyarakat – komunikasi sosial, antarlembaga dalam lingkungan kerja – komunikasi kerja, antarpengusaha dalam lingkngan bisnis – komunikasi bisnis, antarilmuwan – komunikasi ilmiah, dan sebagainya. (Widjono Hs. 2005)
Bahasa merupakan wahana komunikasi bagi manusia, baik komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Fungsi ini adalah fungsi dasar bahasa yang belum dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial.
Pada saat seseorang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, ia sudah memiliki tujuan tertentu. (1) Agar orang lain memahami maksud pembicara. (2) Menyampaikan gagasan dan pemikiran agar dapat diterima oleh orang lain. (3) Membuat orang lain yakin terhadap pandangan pembicara. Lebih jauh lagi, (4) Pembicara ingin orang lain menanggapi hasil pemikiran si pembicara.
Karena beberapa tujuan di atas, sebisa mungkin seseorang berusaha menyampaikan gagasannya dengan gaya bahasa yang dapat diterima pendengar. Oleh karena itu, etika dalam berbahasa sangat diperlukan demi kelancaran diterimanya maksud atau tujuan kita.
Etika dalam berbahasa
Suatu komunitas atau kumpulan masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma tersendiri. Etika dalam berbahasa adalah salah satu dari beberapa hal yang menyangkut tentang nilai kesusilaan, atau mudahnya kita menyebutnya dengan kesopanan dan kesantunan.
Seseorang bisa disanjung karena pandainya beretika dalam berbahasa. Sebaliknya, seseorang dapat ditegur, bahkan dicela karena kurang pandainya ia berbahasa. Orang bijak, ia dapat memposisikan diri dengan siapa ia berhadapan. Sehingga gaya bahasa yang ia gunakan ketika berbicara dengan teman sejawat tentu berbeda dibanding berbicara dengan ayah, ibu maupun orang yang dituakan.
Pada umumnya dalam semua bahasa terdapat dua ragam, yakni ragam halus (H) dan ragam kasar (K). Ragam halus mempunyai tingkat prestise yang lebih tinggi dibanding ragam kasar. Ia dianggap sebagai bahasa sastra dan mempunyai nilai yang lebih. Sehingga ragam haluslah yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Etika berbahasa harus dijunjung tinggi oleh setiap penutur agar harkat dan martabat orang tersebut dapat dihargai, lebih umum menyangkut citra komunitas penutur bahasa tertentu. Apabila mayoritas anggota komunitas tertentu lebih sering menggunakan ragam bahasa yang kasar, maka akan muncul persepsi bahwa komunitas tersebut adalah komunitas yang kasar dan terkesan kurang ramah. Sehingga komunitas tersebut mendapat citra negatif di kalangan komunitas-komunitas yang lainnya.
Dalam pendidikan formal maupun non formal etika dalam berbahasa maupun berperilaku adalah hal yang urgen. Tolak ukur keberhasilan pendidikan tidak terbatas pada nilai akademik siswa semata. Namun, etika seorang siswa kepada guru juga menjadi bahan pertimbangan. Seyogyanya, seorang siswa wajib menggunakan ragam bahasa yang halus kepada bapak/ibu gurunya. Hal ini adalah wujud penghormatan seorang siswa kepada orang yang telah mengabdi dan mengajarkan ilmu yang dimiliki sehingga siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Di samping itu, guru harus membimbing siswa untuk membiasakan diri berbicara menggunakan ragam bahasa sesuai dengan ketentuannya. Kontrol seperti teguran saat siswa melanggar etika berbahasa dipandang perlu demi terciptanya insan mulia yang berbudi bawa laksana. Tidak terbatas di lingkungan sekolah, etika berbahasa juga harus dibiasakan di lingkungan yang lain, seperti di rumah, di kantor, maupun di tempat umum lainnya.
Berdasarkan media yang digunakan ragam bahasa dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (Widjono Hs. 2013). Pemerintah juga turut bertanggungjawab untuk mengawasi peredaran buku-buku pendidikan. Jangan sampai terdapat keteledoran sehingga muncul buku-buku pelajaran yang memuat tulisan-tulisan yang tidak patut bagi pendidikan. Dengan pengetahuan etika berbahasa ini diharapkan setiap penutur bisa lebih bijak dalam menggunakan ragam bahasa.
Estetika dalam berbahasa
Etika membicarakan tentang kebaikan dan kebenaran, sedangkan estetika membicarakan tentang seni atau keindahan. Keindahan adalah suatu hal yang relatif dan subjektif. Saat seseorang mengatakan ini indah, belum tentu orang lain sependapat. Begitu juga saat seseorang mengatakan ini buruk, bisa jadi orang lain memiliki pandangan yang berbeda. Jadi nilai keindahan tidaklah mutlak disandarkan pada pendapat satu personal. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas. Orang lain juga berhak menilai baik dan buruknya suatu hal berdasarkan tendensi pribadinya.
Bahasa yang indah adalah bahasa yang enak didengar menurut penangkapan cita rasa pendengarnya.  Diksi atau pilihan kata yang tepat adalah dasar dari estetika berbahasa. Bahasa yang indah bisa menjadi kekuatan bagi seseorang untuk mempengaruhi orang lain demi tersampainya maksud si pembicara. Keterampilan ini dimiliki oleh salah satu tokoh bangsa kita seperti Ir. Soekarno yang pandai dalam beretorika. Tidak dipungkiri lagi kemahirannya diakui banyak tokoh dunia. Dengan keahliannya tersebut, Indonesia mendapat banyak dukungan dari negara-negara lain untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pasca perang dunia II.
Estetika berbahasa dalam pendidikan sangat penting sebagaimana etika berbahasa. Guru dapat menggunakannya sebagai sarana untuk memudahkan pembelajaran. Misalkan di sekolah terdapat kasus adanya siswa yang malas belajar dan sering melanggar peraturan. Dengan menguasai keterampilan ini seorang guru dapat memotivasi siswa agar mau merubah perilaku buruknya. Guru dapat memberi semangat, pencerahan, dan sugesti, yang bermuara pada harapan agar siswa berubah menjadi lebih baik.
Dalam kasus seperti guru di atas pengendalian emosi juga dibutuhkan. Sebagai contoh, ketika seorang siswa tidak mengerjakan PR. Guru yang baik tidak hanya memberi sanksi dan memarahai siswa tersebut. Namun, akan lebih baik jika setelahnya guru juga memberi dorongan dengan perkataan seperti, “Lain kali PR-nya dikerjakan ya! Kalau menemui kesulitan bisa tanya teman atau Pak guru. Pak guru siap membantu. Bapak yakin, kamu bisa”. Dengan bahasa yang halus, dorongan demikian akan membuat siswa merasa bahwa pak guru masih peduli dan berharap padanya meskipun telah mneghukumya. Sehingga dapat diprediksi siswa tersebut akan lebih bersemangat dalam pembelajaran ke depannya.
Kesimpulannya, etika berbahasa adalah hal yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap penuturnya. Sehingga norma-norma kesusilaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Estetika berbahasa adalah satu keterampilan berbahasa yang dapat membantu pembicara untuk memudahkan maksud dan tujuannya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, seorang guru harus membimbing siswa agar mengetahui dan membiasakan etika berbahasa yang baik. Siswa juga harus menggunakan bahasa yang santun sesuai dengan ketentuannya. Dengan keterampilan estetika berbahasa guru dapat menggunakannya untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas pembelajaran. Sehingga tercapailah harapan untuk melahirkan insan yang sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar