Sabtu, 12 Maret 2016

Santri Pacaran

Oleh: Ghofur Dzulhikam


Pacaran, suatu kata yang mainstream (biasa) di telinga kita. Dulu, pacaran adalah hal yang tabu. hanya kalangan dewasa yang boleh membicarakannya, karena itu memang konsumsi dan kebutuhan mereka guna memasuki jenjang pernikahan. Tahun silih berganti, lemahnya pendidikan remaja dan pengawasan orang tua, plus tayangan media, secara nyata memprovokasi remaja untuk melakukan kegiatan yang bernama “pacaran”.

Melihat realitas “pacaran” memasuki sekolah menengah hingga sekolah dasar, tentu membuat hati kita prihatin. Bahkan, ihwal ini juga telah memasuki “pondok pesantren”. Sebuah lembaga pendidikan yang berusaha mendidik dan membina generasi muda islam, nyatanya juga kecolongan.


Tidak sedikit para santri yang melakukan pacaran dengan diam-diam. Bahkan ada yang berani terang-terangan. Menulis di media sosial juga mengunggah foto berdua. Mereka terbuai hingga melupakan tata tertib. Mereka pun sudah siap menyanggah aturan itu. diantaranya:
1. Kami pacaran cuma untuk penyemangat belajar.
2. Itu tidak akan mengganggu belajar kami.
3. Kami yakin prestasi dan semangat belajar kami tidak akan menurun.
4. Dan lain-lain

Berbagai upaya upaya untuk menghindarkan santri dari pacaran baik upaya lunak maupun keras sudah dilakukan. Upaya lunak biasanya berupa ancaman akan bahaya pacaran. Santri dihimbau agar jangan mengumbar nafsu. Itu adalah tipu daya setan untuk menjerumuskan kalian pada lubang perzinahan. Naudzubillah.

Adapun upaya keras membuat lembaga lebih bersikap protektif (melindungi) bahkan eksklusif (tertutup). Seperti, ada yang model pesantren homogen (sejenis), putra semua atau putri semua. Hal itu dilakukan semata agar para santri jauh dari hiruk-pikuk fikiran tentang seorang bukan mahrom. HP bisa  menjadi barang haram di pesantren karena dianggap sebagai biang keladi kemerosotan prestasi bahkan moral santri. Memang, HP juga punya banyak manfaat untuk menunjang kreatifitas santri. Namun sayang, hal ini kerap diselewengkan. Selain itu, lembaga juga menerapkan takzir (hukuman) berat bagi pelaku pacaran. Mulai dari potong rambut, disiram air got, membaca alqur’an satu khataman sambil berdiri, dan sebagainya. Dari berbagai macam aturan di atas, toh faktanya kasus pacaran di kalangan santri masih bermunculan. Miris.

Saya tidak akan membahasa bagaimana atau apa yang mereka lakukan ketika pacaran. Namun, sya akan membahas peran pengurus menaggapi kasus tersebut. Secara personal saya mengapresiasi tujuan dari lembaga pesantern. Menurut saya upaya-upaya yang dilakukan tidak salah. Saya hanya memandang pesantren kini mengalami ketakutan luar biasa. Diketemukannya kasus santri pacaran tentu membuat muka pesantren tercoreng, sehingga membuat pesantren bersikap“galak” agar peraturannya dipatuhi para santri. Tak pelak, muncul stigma pesantren itu “ketat”, “kejam, “tidak nyaman”, dan “menakutkan”.

Ketika stigma ini muncul, tentu muncul anggapan bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang menyenangkan. Di sana hanya akan ada ancaman dan hukuman. Padahal, hal tersebut tidaklah benar.

Komunikasi adalah hal yang sangat penting. Menurut saya daya komunikasi pesantren (yang punya kasus pacaran) masih lemah. Komunikasi yang terjalin masih bersifat formal dan kaku, belum menyangkut ke hal-hal yang masuk ke ranah pribadi santri.

Pesantren telah dipilih wali murid untuk mewakili tanggung jawab wali santri. Otomatis, pengelola melalui pengurus pesantren juga harus menggantikan peran orang tua santri. Diantaranya adalah “mendengarkan”. Mendengarkan cerita atau curahan hati anak memang terlihat sederhana. Tak sedikit orang yang meremehkannya. Namun begitu, bagi saya ini adalah hal yang penting. Memang, para santri sudah menceritakan “curahannya” pada teman sebayanya. Kemudian santri yang lain mendengarkan, menanggapi, dan memberi saran sesuai dengan tingkat berfikir dan daya emosinya. Akantetapi, peran orang tua tidak sepadan dengan teman santri tadi. Orang tua tentu memiliki pandangan yang lebih luas dan lebih baik. Sebagai orang tua yang baik, ia tidak hanya mendengarkan, lalu memberi saran sesuai kesenangan anaknya, tetapi juga nasehat untuk kebaikannya.

Andai teknik ini digunakan oleh para pengurus, saya yakin kasus pacaran santri pesantren bisa ditanggulangi. Untuk para pengurus, ajaklah para santri bercerita tentang hal-hal yang terjadi di kesehariannya. Dengarkan, lalu arahkan. Semacam konseling. Dengan begitu, santri punya wadah untuk menyampaikan perasaan yang sedang ia rasa.

Saya menduga, ketika seorang remaja sedang terbuai asmara, ia lalu menceritakannya pada teman sebayanya. Dengan berbekal pengetahuan dan emosi seusianya, temannya tersebut mendukung agar ia berpacaran. Merasa dapat dukungan, ya sudah. Akhirnya si santri terjun melenggang bebas.

So, pengurus pesantren, jaga baik-baik adik-adik santri. Jangan hanya memarahinya, tapi dengarkan dan sayangi mereka. Dan juga, yang tak kalah penting adalah berilah contoh yang baik untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar