Jumat, 09 Juni 2017

SARUNG NAIK KELAS


Sarung Nusantara
 
Di Indonesia semula sarung diidentikkan dengan busana masyarakat pedesaan (wong ndeso). Bahkan ia menjadi seragam wajib di pesantren. Ibarat dua sisi mata koin paara santri dan Kiai tak bisa dipisahkan dengan eksistensi sarung. Selain menjadi busana harian, sarung juga sering dikenakan berbagai kegiatan bernuansa keagamaan seperti shalat di masjid, pengajian, selamatan.

Para pejabat bersarung
Namun dewasa kini, sarung bukan lagi sekadar busana wong ndeso. Ia sudah jamak digunakan pada acara-acara formal. Para pejabat negara sering muncul dengan mengenakan sarung pada beberapa forum resmi. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa sarung adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Indonesia yang patut untuk dilestarikan dan dicintai.

Di era globalisasi ini
sarung merupakan salah satu ikon busana yang patut dibanggakan bangsa Indonesia. Yai Agus Sunyoto menjelaskan bahwa sarung berasal dari Negeri Yaman. Kemudia saat sampai di Nusantara, Bangsa Indonesia mengolah dan mengembangkan sesuai dengan cita rasa masing-masing daerah. Sehingga kini sarung memiliki beragam motif dan warna yang menarik dan khas.  

Pak Jokowi dengan sarungnya
Baru-baru ini telah diadakan Seminar Nasional Sarung Nusantara yang mana merupakan bagian dari acara Festival Sarung Nusantara yang dilaksanakan di Jakarta. Acara tersebut bertujuan meneguhkan sarung sebagai identitas budaya nusantara dengan narasumber antara lain Yai Agus Sunyoto (Lesbumi PBNU), Pak Imam Suprayogo (UIN Maliki), dan Pak Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta). Acara semacam ini bukanlah yang pertama kali digelar. Di tahun sebelumnya telah diadakan acara serupa di Pare-pare. Bahkan Festival sarung, Iket dan topeng yang digelar di Purwakarta telah meraih rekor Muri dengan kategori peserta terbanyak.

Pak Imam Suprayogo menjelaskan bahwa sarung itu merupakan simbol dari keanggunan pemakainya karena di samping dipakai sebagai sarana ibadah dan menunjukkan keluhuran akhlak. Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa sarung dapat menjadi identitas kecerdasan seseorang. Kita tidak menjumpai anak muda yang pacaran dengan memakai sarung atau di tempat-tempat negatif lainnya. Sarung juga tidak selalu menunjukkan pemakainya sebagai orang yang bodoh dan tradisional karena ternyata banyak mahasiswa/santri saya yang lulus dengan predikat terbaik bahkan ada santri yang menulis skripsi dengan 3-9 bahasa dan mereka itu pake sarung semua.

Berdasarkan sudut pandang filosofis, Pak Dedi Mulyadi mengurai sarung dalam perspektif Budaya Sunda. Beliau mengartikan sarung dengan mengurai kata “Sa” dan “Rung”. Sa dalam bahasa Sunda berarti tidak terbatas, berlebihan, [rakus]. Ini adalah sifat dasar manusia yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Manusia senantiasa berusaha menguras keempat elemen yang ada di bumi secara berlebihan. Sedangkan ‘Rung’, artinya dikurung. Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung.

Pak Jokowi turun dari pesawat
Dari kedua tokoh di atas kita temukan bahwa sarung bisa jadi sebuah alarm bagi pemakainya untuk senantiasa dekat dengan Tuhan. Ia dapat menjadi pertimbangan untuk berbuat tercela. Saya bersarung, tak pantas kiranya berbuat maksiat. Sehingga, sarung mengingatkan penggunanya pada Sang Pencipta.

Menurut penulis, upaya peneguhan sarung sebagai identitas budaya nusantara perlu didukung oleh berbagai kalangan dan institusi, terutama perguruan tinggi. Dari pengamatan penulis, sarung belum merambah ke wilayah kampus. Bersarung di kampus masih dianggap pengguna tidak dapat menempatkan diri (ndeso/udik). Stigma itu tidak lain karena institusi perguruan tinggi belum akrab dengan sarung. Perlu kiranya kebijakan yang mendukung upaya peneguhan ini dengan membolehkan civitas akademika bersarung dalam mengikuti kegiatan kampus baik di kelas maupun di luar kelas sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Kita dapati setiap kampus perguruan tinggi mempunyai aturan tentang busana civitas akademika yang berbeda. Ada yang mewajibkan mahasiswa muslimah untuk berjilbab, ada pula yang tidak mewajibkan. Ada yang melarang pengenaan celana ketat ada pula yang membolehkan. Di STAIN Kudus misalnya, aturan busana civitas akademika yaitu wajib mengenakan baju, celana panjang yang sopan, dan bersepatu. Tidak diperkenankan mengenakan kaos oblong, bersandal, dan melepas jilbab bagi mahasiswi.

Perkuliahan Akper Buntet Cireb
Pada peringatan Hari Santri Nasional beberapa waktu lalu beberapa perguruan tinggi seperti Akper Buntet Cirebon, UIN Maliki, Malang, Unisma Malang melakukan seremoni dengan mengenakan sarung selama perkuliahan. Hal itu merupakan terobosan yang bagus dan patut untuk dikembangkan. Namun, hal tersebut dinilai belum cukup untuk memperteguh eksistensi sarung dalam dunia perguruan tinggi.

Penggunaan celana di kampus dan acara-acara formal tak lain hanyalah sebatas kode berpakaian. Mahasiswa di Arab saudi biasa melaksanakan perkuliahan dengan bergamis ataupun bercelana. Gamis adalah busana harian masyarakat Arab dan mereka bangga mengenakannya di berbagai kesempatan terlebih pertemuan formal. Penggunaan gamis pun banyak diikuti oleh sebagian orang Indonesia.


Lalu bagaimana dengan sarung? Menurut penulis, sarung sangat layak digunakan sebagai opsi kode berpakaian mahasiswa. Baik sarung, celana, maupun gamis mempunyai fungsi yang sama yaitu melindungi kulit dari gangguan lingkungan pun dari kacamata Islam, mereka sama menutup aurat. Di era globalisasi, segala hal berbau mancanegara akan mudah hadir di depan mata kita. Sudah barang tentu kita turut menghadirkan sesuatu di mata mereka. Inilah kita bangsa Indonesia dengan sarung khas Nusantara. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa kampus perguruan tinggi perlu “disarungi” agar sarung dapat naik kelas dan sejajar dengan celana. Saatnya sarung naik kelas dan saatnya sarung mendunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar