Selasa, 22 Desember 2015

FILSAFAT MORAL: ETIKA BERBAHASA MENURUT UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA



FILSAFAT MORAL:
ETIKA BERBAHASA MENURUT
UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA

Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas akhir semester
Mata Kuliah : Filsafat
Dosen Pengampu : Nur Said, MA., M.Ag.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/0/03/Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah.jpg


Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur
(1310320005)




PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa adalah entitas suatu budaya. Dalam bahasa itu terkandung muatan budaya penuturnya, termasuk nilai moral dan etika. Selain menjadi alat komunikasi antar warga, bahasa jawa juga sebagai wahana mengekspresikan diri kepada khalayak, baik berupa tembang, geguritan, maupun unen-unen.
Sebagai salah satu produk peradaban yang unggul, bahasa Jawa mempunyai posisi tersendiri dalam tatanan hidup masyarakat jawa. Ia sekaligus menjadi sarana mengekspresikan budaya. Ia juga merupakan cerminan budaya pemakainya. Pepatah ’Ajining dhiri dumunung ana ing lathi’ menunjukkan bahwa bahasa merupakan cerminan jati diri pembicara. Tinggi-rendahnya peradaban seseorang tercermin dalam apa yang keluar dari mulutnya. Halus kasarnya bahasa seseorang mewujudkan kesantunan pribadinya. Bagi manusia Jawa tingkat tutur bahasa yang dipilih orang jawa mencerminkan kesantunannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan filsafat moral?
2.      Apa pengertian nilai
3.      Apa perbedaan etika dan moral?
4.      Bagaimanakah signifikansi filsafat moral?
5.      Bagaimana mendidik anak berbahasa sesuai dengan unggah-ungguh Jawa?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian filsafat moral
2.      Mengetahui pengertian nilai
3.      Mengetahuiperbedaan etika dan moral
4.      Mengetahui signifikansi filsafat moral
5.      Mengetahui cara mendidik anak berbahasa sesuai dengan unggah-ungguh Jawa?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat Moral
Dalam perbincangan filsafat moral, secara garis besar ada dua macam teori etik: teleologis dan deontologis. Etika teleologis menentukan baik-buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akibat yang menjadi tujuannya. Baik etika hedonisme Epikuros yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan kehidupan manusia, etika eudemonisme Aristoteles yang mengejar kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia, maupun ulitarisme John Stuart Mill dan Jeremy Bentham dengan prinsip kegunaan atau mencapai target kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin, semua aliran etika tersebut termasuk dalam lingkaran etika teleologis: ada sebuah tujuan yang ingin dicapai.[1]
Alfarabi banyak menulis tentang manusia dan hakikatnya. Dalam bukunya Al Madinatul Fadhilahmembahas tentang manusiayang menurutnya, saat manusia ada, yang pertama membuat dapat makan adalah kekuatan makan. Setelah itu muncullah kekuatan-kekuatan untuk mengindera.[2]
Indera-indera tersebut antara lain indera pengecap, pengelihat, pendengar, pembau, dan peraba. Alfarabi menyebutkan juga tentang adanya daya khayal dari dalam manusia. Dengan kekuatan indera yang dimilikinya, manusia dapat menyusun segala yang ada di sekitarnya, pun memisahkannya. Dari itu, dengan dayanya juga manusia dapat memisahkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.
Moral bersumber dari dua hal yaitu sumber internal (dari dalam diri) dan sumber eksernal (dari luar diri). Sumber-sumber internal antara lain adalah hati yang dapat memaksa manusia untuk berbuat baik maupun buruk. Dalam kapasitasnya, hati adalah asal dari kekuatan rasional dan emosional. Ia memiliki fungsi sebagai berikut:[3]
·         Menilai benar salahnya suatu perilaku, sehingga perilaku itu dikatakan baik atau buruk
·         Memberikan balasan yang sesuai terhadap suatu perbuatan dalam bentuk kepuasan/kegembiraan terhadap perbuatan baik, atau kecaman dan cemoohan pada perbuatan buruk
·         Mengarahkan perilaku kita ke depan, sehingga kita dapat memperoleh kesenangan hati dan menghindari kebenciannya.
Sumber eksternal moral adalah masyarakat dengan segala adat, tradisi, hukum, kekuasaan politik, dan agama di dalamnya. Kaum sosiolog melihat bahwa hukum-hukum moral (etika) telah diciptakan oleh masyarakat dengan melihat pengalaman-pengalaman historis yang dialami. Kemudian masyarakat menggambarkan jalan kebaikan bagi anggota-anggotanya serta memperlihatkan jalan keburukan yang hendaknya mereka hindari.
Norma-norma moral (etika) yang diciptakan masyarakat dibuat untuk memberikan keuntungan bagi individu maupun masyarakat itu sendiri. Sedangkan agama dianggap sebagai kekuatan eksternal yang bersumber dari Allah Swt. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah menurunkan syari’at (hukum) bagi manusia dengan jalan taqwa, yaitu mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
B.     Nilai
Nilai (value) adalah standar yang digunakan untuk mengukur sesuatu. Nilai memuat akan kebenaran, kebaikan, dankeindahan. Dari itu, nilai sendiri dibagi menjadi tiga jenis:[4]
a.       Nilai Logis
Nilai logis (dari kata logos: Yunani) atau logika adalah nilai yang membahas tentang kebenaran. Ia membantu kita untuk memisahkan antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dan yang batil. Contoh: 1 + 1 = 2 . maka nilainya adalah benar. Sedangkan 1 + 1 = 3, maka nilainya adalah salah.
b.      Nilai Etika
Nilai etika adalah nilai yang membahasa tentang kebaikan, kepatutan, atau kepantasan. Nilai etika membantu kita untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Ia mengarahkan kepada kita apa yang seharusnya dilakukan dalam berperilaku. Sebagai contoh: memakan menggunakan tangan kanan adalah hal yang baik, sedangkan memakan dengan tangan kiri adalah hal yang buruk.
c.       Nilai Estetika
Nilai estetika membahas tentang keindahan. Keindahan berkaitan erat kepada observatornya. Namun para filsuf seperti al-Ghazali dan plato memandang bahwa nilai estetis suatu entitas haruslah muncul karena keindahan obyektif, bukan keindahan subyektif. Contoh: sebagian besar warga menyebut bahwa bunga mawar itu cantik atau indah, maka bunga mawar adalah indah. Sebaliknya, apabila hanya satu atau dua warga yang menyebut bunga mawar itu indah, maka ungkapan bunga mawar itu indah tidak dapat diterima karena tidak obyektif.

C.    Perbedaan Etika dan Moral
Dalam konteks filsafat, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos, ethos yang berarti adat, kebiasaan atau praktik.[5] sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.[6] Di situ, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
1.      Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban moral (akhlaq)
2.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq,
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sidi Gazalba menyimpulkanbahwa etika merupakan teori tentang perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Dengan kata lain, etika merupakan ilmu/ refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.[7]
Moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral bagi kita adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Pakubuwono IV. Sumber dasar ajaran-ajaran itu adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologi-ideologi tertentu.[8]
D.    Signifikansi Moral
Menurut Frans Magnis-Suseno, signifikansi etika berguna untuk membantu mahasiswa menyatukan pengalama baru yang mereka dapati secara intelektual ke dalam kepribadiannya dari segi nilai normatif yang dibawanya. Sedangkan pengalaman baru yang dimaksud adalah semacam keterlibatan mahasiswa pada bidang keahlian khusus di universitasyang mengalami kontak dengan berbagai pandangan ideologi, politik, sosial, norma, dan sebagainya.
Fungsi etika bukan untuk membangun sikap-sikap moral baru, melainkan terbatas pada segi integrasi intelektual: membantu mahasiswa agar ia sebagai makhluk yang berpikir secara rasional, dapat mempertanggungjawabkan sikap-sikapnya terhadap pengalaman baru itu. Dengan kata lain, etika membantu mahasiswa bukan dalam hal menemukan dan menentukan sikap praktisnya sendiri, melainkan dalam memberi penilaian-penilaian terhadap segi-segi normatif dalam pengalamannya itu. Etika membantu mahasiswa untuk memberi penilaian-penilaian yang tepat, yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.[9]
Frans Magnis-Suseno mengungkapkan bahwasannya tujuan materi etika di perguruan tinggi adalah membuat mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap segala lembaga normatif. Manusia berada dalam jaringan norma dari dalam diri dan norma dari luar. Mahasiswa hendaknya tidak tunduk terhadap apa saja yang disuguhkan kepadanya.
Lembaga-lembaga normatif dapat dibedakan menjadi tiga macam:[10]
1.      Diri kita sendiri
Manusia dituntut untuk sanggup untuk dapat bersikap kritis pada norma-norma superegonya sendiri dan dapat memberi penilaian rasional terhadap dorongan-dorongan dalam hatinya. Melalui analisis fenomenologis kesadaran moral, etika membantu mahasiswa untuk menyadarkan hak dan kewajibannya. Dengan demikian mahasiswa dibantu untuk mencapai kedewasaan.
2.      Lembaga masyarakat
Lembaga normatif masyarakat di sini meliputi keluarga, sekolah, agama, dan lain-lain. Mahasiswa dapat mengecap intelektualitas guna membebaskan diri dari sikap yes-men yang hanya membebek kepada orang lain.
3.      Ideologi
Ideologi merupakan teori atau pandangan yang memberi makna pada kehidupan. Masyarakat modern cenderung berebut ideologi secara kontinyu, baik terbuka maupun gerilya.
Banyak ditemukan oknum-oknum yang memperkuat kedudukan dengan membungkam kritik masyarakat, memakai nilai-nilai untuk kepentingan mereka sendiri. Nilai-nilai sejati seperti Pancasila, kekeluargaan, dan “kepribadian nasional” dapat disalahgunajkan untuk melarangsikap-sikap tertentu dalam masyarakat yang dianggap sebagai pengancam kedudukan seorang penguasa. Etika dapat membuat mahasiswa menjadi kritis: ia menyadari sifat ideologis anggapan-anggapan itu dan dengan demikian tidak lagi dapat diperdaya olehnya. Sekaligus ia mengembalikan nilai-nilai itu dalam kjesejahteraan mereka.[11]
E.     Mendidik Anak Berbahasa dengan Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Bahasa Jawa
Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang cukup canggih dan rapi. Yang dimaksud dengan tingkat tutur atau undha usuk (speech level) adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar), atau tingkat Ngoko (N), Madyo (M) dan Krama (K).
Sebetulnya bila diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran:[12]
(1)   Ngoko,
(2)   Madya,
(3)   Ngoko, dan
(4)   Basa kasar.
(1) Tingkat tutur Ngoko
Tingkat tutur Ngoko mencerminkan rasa akrab (solider) antara pembicara dan mitra bicara. Artinya, pembicara tidak memiliki rasa segan, hormat atau rasa pakewoh terhadap mitra bicara. Orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap mitra bicara, atau sesamanya, tingkat Ngoko inilah yang tepat untuk dipakai. Teman yang saling akrab biasanya saling berbicara ngoko. Maka akan menjadi aneh bila antar teman yang sudah kenal dan akrab berbicara dalam tingkat madya atau krama. Bila antar teman yang akrab berbicara dalam tingkat tutur krama maka hubungannya menjadi tidak akrab dan suasana bicara yang biasanya berubah menjadi resmi.
Bila demikian maka rasa keakraban menjadi hilang. Orang yang berstatus lebih tinggi, misalnya, guru terhadap murid, orang tua terhadap anak, pantas menggunakan tingkat ngoko. Akan menjadi aneh dan lucu bila seorang guru memakai bahasa krama kepada muridnya. Bila seorang guru berbicara kepada muridnya atau seorang atasan berbicara dalam bahasa krama kepada bawahanya merupakan pertanda marah atau sindiran.
Antara orang yang memiliki hubungan akrab tetapi saling menghormati dapat memakai tingkat ngoko halus (antya basa dan basa antya). Kalangan pegawai di kantor, antara guru di sekolah menggunakan tingkat tutur ngoko alus atau basa antya dan antya basa.
(2) Tingkat tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara ngoko dan krama. Tingkat tutur ini menceminkan rasa sopan, tingkat tutur ini semula adalah tingkat tutur krama tetapi sudah mengalami penurunan atau perkembangan yang lebih rendah statusnya, yang sebut kolokialisasi (menjadi bahasa sehari-hari yang tidak formal, atau perubahan dari formal menjadi tidak formal (Soepomo, 1979: 15). Tingkat madya ini, oleh karena itu, bagi kebanyakan orang disebut setengah sopan. Orang yang disapa dengan tingkat tutur ini biasanya orang yang tidak begitu disegani atau tidak sangat dihormati.
Orang desa yang dihormati biasanya disapa dengan tingkat tutur madya. Kepala kantor terhadap rekannya yang tidak memiliki pangkat yang sama, orang yang sudah dewasa, orang lanjut usia juga menggunakan tingkat tutur ini.
(3) Tingkat Krama
Tingkat tutur krama ialah tingkat tutur yang mencerminkan sikap penuh sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya tingkat segan, sangat menghormati, bahkan takut. Seorang pembicara (O1) yang menganggap bahwa mitra bicaranya (O2) orang yang berpangkat, berwibawa, belum dikenal, akan menggunakan tingkat tutur ini. Murid terhadap guru, seorang bawahan kepada atasan.
Seorang bawahan yang berbicara dengan atasan, atau seorang murid kepada gurunya memakai bahasa ngoko dikatakan tidak sopan atau njangkar atau nukak krama.Seorang ibu bila berbicara dengan anaknya sering menyelibkan kata-kata krama bila berbicara dengan anaknya. Seorang guru SD atau TK juga sering menyelipkan kata-kata krama bila berbicara dengan muridnya. Ini semua dilakukan bukan untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi untuk mendidik atau membiasakan berbicara dalam bahasa krama kepada anak atau murid-murid.
Basa krama bukan hanya ditandai oleh bentuk sintaktis dan morfologis, tetapi juga suara dan bentuk tubuh. Seseorang yang berbahasa krama berbicara dengan suara lembut, pelan dengan badan yang sedikit membungkuk.
(4) Basa kasar
Basa Jawa kasar adalah basa yang derajatnya paling rendah. Bahasa tingkat ini adalah bahasa sehari-hari yang dipergunakan oleh orang yang tidak berpendidikan yang tidak punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang marah, atau orang yang meremehkan orang lain. Perampok atau penjahat lainnya ujaran yang dipakai Bahasa Jawa kasar, penuh dengan kosa kata seharian (kolokial) yang kasar, kosa kata tabu dan kasar. Nada bicara pemakai basa Jawa tidak lembut tetapi kasar dengan suara tinggi, dan dibarengi ada hentakan (bentakan). Posisi tubuh pembicara tidak ada rasa simpatik, sombong.
Orang yang sedang marah lupa akan unggah-ungguh yang harus ditaati dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam situasi yang terjadi. Ia tidak perduli dengan status orang yang diajak bicara.
Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Unggah-ungguh atau etika berbahasa sangat penting dalam tatanan moral masyarakat jawa. Adanya tingkatan bahasa menunjukkan orang Jawa sangat menjunjung tinggi akhlak terhadap sesama.
Sekarang ini pelajaran Bahasa Jawa yang ada di Sekolah-sekolah hanya sebagai pengetahuan saja. Dalam pengaplikasianya, anak-anak lebih sering menggunakan Bahasa Jawa ngoko atau bahasa Indonesia biasa. Mungkin karena nilai praktisnya; lebih mudah dalam pengucapannya.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan model pengajaran yang ada di rumah dan lingkungan sekitar juga. Orang tua yang tidak membiasakan anak-anaknya untuk menggunakan bahasa Krama Inggil, mereka lebih suka dengan menggunakan Bahasa Jawa Ngoko atau Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat sepele, tetapi dapat melumpuhan eksistensi krama inggilsebagai Bahasa khas tanah Jawa yang akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak-anak kita.
Dapat dianalisis, perubahan yang terjadi di atas juga berasal dari  sumber norma itu sendiri, yakni masyarakat. Di sini, peran keluarga sangat besar terhadap pergeseran unggah-ungguh anak. Sebagai masyarakat terkecil, lingkungan keluarga hendaknya mendidik dan memupuk keaktifan etika berbahasa anak sejak dini. Dalam syair kitab Ngudi Susilo karangan Kiai Bishri Musthofa disebutkan, “bocah iku wiwit umur pitung tahun kudu ajar toto keben ora getun”(Anak usia tujuh tahun harus belajar etika agar tidak kecewa).
Senada dengan syair tersebut Dr. Muhammad Fahd Ats-Tsuwaini mengungkapkan bahwa pada saat anak berusia 7-10 tahun, anak mengalami peralihan dari fase bergantung penuh menuju fase kebebasan memilih keputusan. Ini adalah tahap belajar langsung karena hak memilih dan mengambil keputusan diikuti dengan pengetahuan tentang sebab dan akibatnya sehingga anak paham mengapa dia memilih ini dan meninggalkan itu. Pada tahap ini peran orang tua adalah mendampingi dengan memberi penjelasan dan memberi anak kesempatan memilih, mengambil keputusan dan mencoba.[13]
Yustina Eka Tjandra memaparkan 13 perkataan buruk orang tua yang mudah ditiru anak, yaitu:
(1)   Bohong kecil
(2)   Banyak mengancam
(3)   Bicara tidak tepat sasaran
(4)   Menekankan hal-hal yang salah
(5)   Merendahlan diri sendiri
(6)   Marah yang berlebihan
(7)   Pendengar yang buruk
(8)   Gengsi untuk menyapa
(9)   Istilah yang tidak jelas maksudnya
(10)       Suka membandingkan
(11)       Memberi julukan yang buruk
(12)       Menyindir
(13)       Mengejek
Meniru sudah terjadi sejak anak mulai menyadari berbagai rangsang di sekitarnya. Peniruan merupakan salah satu cara anak belajar tentang diri dan lingkungannya. Paling sederhana, peniruan terjadi ketika anak belajar berbahasa atau bicara. Tanpa peniruan, ia tidak akan mampu mengembangkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan lingkungan.[14]
Permasalahannya adalah hal yang ditiru anak tidak selalu bernilai positif. Ia juga kerap meniru hal-hal yang buruk. Tutur kata yang halus; berbahaas krama orang tua membuat ia meniru berkata halus. Sebaliknya, tutur kata kasar orang tua akan berimbas pada kebiasaan berbahasa anak.
Oleh sebab itu kemampuan berbahasa anak harus diperhatikan dan senantiasa dibimbing orang tua. Di samping menumbuhkan kesantunan karakter anak, kita juga melestarikan salah satu budaya luhur Jawa yaitu bahasa Jawa, khususnya bahasa krama.
Filsafat Moral dan Bahasa Jawa
Filsafat moral mengkaji baik dan buruknya tindakan serta buahnya yakni kesenangan ataupun kebencian dalam diri manusia. Melalui bahasa manusia menyalurkan ekspresinya kepada komunitasnya. Bahasa yang baik akan menghasilkan kesenangan, sedang bahasa yang kjasar akan menghasilkan kebencian.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang menjunjung keluhuran budi pekerti. Adanya tingkatan bahasa dari krama hingga ngoko dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat Jawa sendiri. Bagaimana kita harus bertutur kata kepada yang orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, dan kepada sesama.
Unggah-ungguh berbahasa sejalan dengan nafas filsafat moral: merenda kebijaksanaan hidup. ‘Moral philosophy or ethics asks how people should belive or what we should believe; or how we should live’.[15] Ungkapan di atas mendeskrepsikan ada sesuatu yang lebih istimewa dalam filsafat moral. Filsafat moral mempertanyakan bagaimana seharusnya kita bertindak dan menjalani kehidupan.
Kemampuan menggunakan bahasa Jawa dengan baik tentunya akan berimplikasi pada tingkah laku dalam bermasyarakat. Ada rasa saling menghormati, mendahulukan kepentingan yang lain, dan tentunya akan lebih harmonis. Karena tak ada lagi benturan kepentingan karena lebih menonjolkan diri sendiri dibandingkan orang lain.
Dengan berbahasa yang baik dan etis tentu akan menumbuhkan kebijaksanaan dan ketenangan dalam dada serta mendamaikan hati orang-orang di sekitarnya. Walhasil, perilaku negatif seperti marah, mengejek, sakit hati, dapat dihindari. Sekali lagi, pepatah ’Ajining dhiri dumunung ana ing lathi’ menunjukkan bahwa bahasa merupakan cerminan jati diri pembicara.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam perbincangan filsafat moral, secara garis besar ada dua macam teori etik: teleologis dan deontologis. Etika teleologis menentukan baik-buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akibat yang menjadi tujuannya. Nilai (value) adalah standar yang digunakan untuk mengukur sesuatu. Nilai sendiri dibagi menjadi tiga jenis: nilai logis, nilai etika, nilai estetika
Signifikansi etika berguna untuk membantu mahasiswa menyatukan pengalama baru yang mereka dapati secara intelektual ke dalam kepribadiannya dari segi nilai normatif yang dibawanya.
Bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang cukup canggih dan rapi. bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran: Ngoko, Madya, Ngoko, dan Basa kasar.Unggah-ungguh atau etika berbahasa sangat penting dalam tatanan moral masyarakat jawa. Adanya tingkatan bahasa menunjukkan orang Jawa sangat menjunjung tinggi akhlak terhadap sesama.
Perubahan yang terjadi di atas juga berasal dari  sumber norma itu sendiri, yakni masyarakat. Peran keluarga sangat besar terhadap pergeseran unggah-ungguh anak. Sebagai masyarakat terkecil, lingkungan keluarga hendaknya mendidik dan memupuk keaktifan etika berbahasa anak sejak dini.
Filsafat moral mengkaji baik dan buruknya tindakan serta buahnya yakni kesenangan ataupun kebencian dalam diri manusia. Melalui bahasa manusia menyalurkan ekspresinya kepada komunitasnya. Bahasa yang baik akan menghasilkan kesenangan, sedang bahasa yang kjasar akan menghasilkan kebencian.


B.     Saran
Mendidik anak berkarakter bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Akan sia-sia segala pengajaran bapak/ibu guru dan sumbangsih pemerintah apabila tak dibarengi dengan keikutsertaan orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar untuk membina anak kita.
Diibaratkan tanaman, bilamana tanaman itu memiliki akar yang kuat tentu tanaman itu siap menghadapi angin yang kencang, sehingga ia tidak mudah tumbang. Sama halnya dengan anak kita. Apabila sedini mungkin orang tua mengajarkan tata krama dan langsung memberi contoh secara kontinyu, maka tidak mustahil anak kita akan menjadi anak yang berakhlak karimah dan dapat menjadi pemimpin bangsa.
Mari kita didik anak-anak kita menjadi anak yang salih, yang dapat bertutur kata halus dan menyenangkan, teristimewa, anak-anak kita mampu bertutur dengan bahaa krama sesuai dengan unggah-ungguh khas Jawa.





DAFTAR PUSTAKA
Al Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. 1985. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ats-Tsuwaini, Muhammad Fahd. Mendidik Anak Tanpa Kekerasan. Surakarta: Abyan Solo
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, 2002. Jakarta: Gramedia
Mustofa, Bisri. Ngudi Susilo. 1954. Kudus: Menara
Franz Magnis-Suseno.Etika Dasar. 1987. Yogyakarta: Kanisius
__________________ Berfilsafat dari konteks.1999. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat.1992. Jakarta: Bulan Bintang
Isma’il,Fu’ad Farid & Abdul Hamid Mutawalli.Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam). 2012. Yogyakarta: IRCiSoD
Ngadiman, Agustinus. Dalam makalah: Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan Sekarang). 2011
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2. 1997. Jakarta: Balai Pustaka
Tjandra, Yustina Eka. Anakku Peniru Paling Luar Biasa. 2012. Nganjuk: Sinar Ilmu
Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. 2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


[1] Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. 2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 167
[2]Dr Ahmad Fuad Al Ahwani. Filsafat Islam. 1985. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm.123
[3]Dr. Fu’ad Farid Isma’il & Dr. Abdul Hamid Mutawalli. Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam). Hal. 325
[4]Ibid. Hal. 241
[5]Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 157-158.
[6] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 271
[7]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 49-50.
[8]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 14
[9]Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari konteks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 11-12.
[10][10]Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. 2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 175.
[11]Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari konteks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 12-14.
[12]Ngadiman, Agustinus. Dalam makalah: Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan Sekarang).
[13]Ats-Tsuwaini, Muhammad Fahd. Mendidik Anak Tanpa Kekerasan. Surakarta: Abyan Solo. Hal. 63
[14]Yustina Eka Tjandra. Anakku Peniru Paling Luar Biasa. 2012. Nganjuk: Sinar Ilmu. Hlm. 45
[15]Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. 2012. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar