Selasa, 22 Desember 2015

TASAWUF DAN PERANANNYA



TASAWUF DAN PERANANNYA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pembelajaran Aqidah Akhlak MI
Dosen : H. Saiful Mujab, M.Pd.I




Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Taufiqurrohman (1310320018)




PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Munculnya berbagai sanggar pengajian tasawuf di kota-kota besar dan publikasi besar-besaran buku-buku bertema tasawuf akhir-akhir ini, menandakan bahwa ajaran tasawuf kembali diminati oleh masyarakat Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan sosial juga terlihat lebih jelas. Media massa sering melaporkan dan menurunkan tulisan, bahwa buku-buku tasawuf termasuk di antara buku-buku terlaris di pasaran perbukuan. Kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan di berbagai kota telah menarik minat yang cukup tinggi.
Munculnya kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi tasawuf pada satu sisi cukup membanggakan sebagai sebuah pengakuan terhadap kembalinya nilai spiritualitas Islam, tapi di sisi yang lain cukup mengkhawatirkan karena ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh agama tertentu (spiritualitas tanpa agama), atau jika ditopang oleh ajaran agama tertentu, coraknya masih anti-sosial.

B.        Rumusan Masalah
1.         Apakah yang dimaksud dengan tasawuf?
2.         Apa ajaran pokok tasawuf?
3.         Bagaimana peran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari?

C.        Tujuan Pembuatan Makalah
1.         Mengetahui pengertian tasawuf
2.         Mengetahui ajaran pokok tasawuf
3.         Mengetahui peran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, tasawuf memiliki banyak arti, antara lain:[1]
1.      Ahl al-suffah ( أهل الصفة ) orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah (Saddle-Cushion) dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah ( صفة ).
2.      Saf ( صف ) pertama. Sebagaimana orang sembahyang di saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
3.      Sufi ( صوفى ) dan صافى dan صفى yaitu suci. Seorang sufi orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
4.      Sophos kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya huruf s dalam sophos ditranliterasikan ke dalam Bahasa Arab menjadi س dan bukan ص, sebagai kelihatan dalam kata فلسفة dan kata philosophia. Seharusnya sufi ditulis سوفى dan bukan .صوفى
5.      Suf ( صوف ), kain yang terbuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wool yang dipakai kaum sufi, wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar di waktu itu simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pamakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar.
Sedangkan pengertian tasawuf secara terminoligis menurut beberapa para ahli di antaranya:
1.      Sebagaimana yang dikutip oleh Solihin dkk. yaitu:[2]
a.       Al-Jurairi: Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah.
b.      Al-junaidi: Tasawuf adalah (kesadaran) bahwa yang hak (Allah) yang menghidupkanmu dan yang menghidupkanmu.
c.       Abu Hamzah: Tasawuf merupakan memilih hidup fakir setelah (sebelumnya hidup) kaya, memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan, memilih menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal.
d.      ‘Amir bin Usman al-Maqi: Tasawuf adalah melakukan sesuatu yang terbaik di setiap saat.
e.       Muhammad Ali al-Qassab: Tasawuf merupakan akhlak mulia yang timbul di waktu mulia dari seorang yang mulia di tengahtengah kaumnya yang mulia pula.
f.       Syamnun: Tasawuf adalah memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
g.      Ma’ruf al-Kurkhi: Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk.
2.      Pendapat dari Syaikhul Islam Zakariya Al-anshari, sebagaimana yang dikutip oleh Mosthofa, Tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara mensuci bersihkan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[3]
Jika tasawuf dilihat dari sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, pengertian tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan tuhan.[4]
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah sikap atau perilaku  manusia yang terpuji, mengandung kebaikan dan menuju ridla Allah SWT. sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan ayat 63.
Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang yang bodoh menyapa mereka, maka mereka mengatakan kata-kata yang mengandung keselamatan”

B.     Pokok Ajaran Tasawuf
1. Maqomat
Ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Proses dan jalan itu sendiri cukup panjang dan melalui tahapan-tahapan yang disebut “maqomat”. Maqomat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti posisi, kedudukan, tingkatan. Dalam tasawuf sebagai diungkapkan Harusn Nasution, maqomat lazim dipahami sebaagai tempat pemberhentian atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Abu Nasr al-Tusi dari Iran mengatakan bahwa maqamat merupakan kedudukan seorang hhamba di hadapan Allah SWT yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihat an-nafs), berbagai latihan spiritual (riadlah), dan penghadapan dengan segenap jiwa raga (intiqa’) kepada Allah SWT.  Ada beberapa maqamat yang harus dilalui oleh seorang sufi. Menurut Abu Bakar al – Kalabadzi (990 M), tokoh sufi asal Bukhara, Asia Tengah, ada tujuh maqam yang harus dilalui seorang sufi menuju Tuhan yaitu, tobat, zuhud, sabar, tawakal, ridla, mahabbah, (cinta) dan ma’rifat.[5]
a. Tobat
Kata tobat berasal dari bahasa Arab Taubat yang berarti kembali. Dalam istilah tasawuf tobat berarti kembali dari perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama. Tobat merupakan penyesalan manusia dihadapan Tuhannya, dan ia tidak akan mengulangi kelalaiannya lagi. Menurut Mohammad Amin al-kurdi (1913), tokoh Tarikat Naksyabandiyyah dari etnis Kurdi, tobat merupakan awal dari maqamat. Kedudukannnya laksana fondasi dari sebuah bangunan. Tanpa fondasi bangunan tidka akan berdiri tegak. Tanpa tobat seseorang tidak akan dapat mensucikan jiwanya dan tidak akan dekat dengan Tuhannya. 
Ada tiga tingkatan tobat dalam tarikat. Peringkat pertama atau terendah yaitu bertobat dari berbagai dosa besar, seperti menyekutukanTuhan, durhaka dengan orang tua, berzina, membunuh orang yang tak bersalah, meminum khomer. Peringkat kedua, tobat dari dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, sikap menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat dengan Tuhan. Adapun tingkatan ketiga yaitu, tingkatan yang paling tinggi yakni, tobat dari kelengahan hati mengingat allah SWT. Kendati hanya sekejab.
Di dalam al-Qur’an tidak kurang dari 71 ayat yang menyebutkan tentang kalimat tobat, sepeti QS: At-Tahrim: 8: “Hai Orang-orang yang beriman bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan akan memasukkan ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.”
b. Zuhud
Dalam istilah sufi zuhud diartikan sebagai kebencian hati terhadap hal ikhwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah SWT, padahal ada kesempatan untuk memperolehnya. Hal ikhwal keduniaan itu tidak lain sebagaimana diisyaratkan dalam Al – Qur’an surat Ali Imran ayat: 14 yaitu berupa kesenangan material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberi kepuasan terhadap manusia.
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa –apa yang diingini, yaitu anak-anak, wanita-wanita, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesengan hidup didunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).
Segala bentuk kesenangan dunia mengacu kepada kepuasan semu dan terbatas. Meski demikian, menurut Abu Hasan as Sazili, (1256 M) pendiri tatikat As- Saziliah, keperluan manusia terhadap hal ikhwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya, yang dikatkan orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ikhwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup itu sendiri terdiri dari beberapa kompunen. Ada yang berbentuk kebutuhan individual, keluarga, masyarkat, bahkan dalam hal bernegara. Orang yang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ikhwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan.[6] 
c. Sabar
Al Qur’an mengatakan sabar dengan segala derivasinya sebanyak 103 kali. Salah satunya dinyatkan bahwa sabar nerupakan sifat Rasul, terutama para rasul yang dijuluki “Ulul Azmi” (yang memiliki keteguhan hati). Allah mengajarkan kepada kita agar sabar dalam menghadapi para musuh 
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (diperbtasan Negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS:3:200)
Syeh Abd Qodir Jailani membagi sabar menjadi tiga tingkatan. Pertama sabar untuk Allah (sabr li-Allah), yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya. Kedua sabar bersama Allah (sabr ma’a Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima keputusan dan tindakan Allah SWT. Ketiga, sabar atas Allah (sabr „ala Allah), yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan Allah, berupa rizki, kelapangan hidup dan lain sebagainya.[7]
d. Tawakkal
Kata tawakkal menurut bahasa berarti mempercayakan atau mmewakilkan. Dalam tasawuf tawakkal berarti mempercayakan atau menyerahkan segala masalah kepada Allah dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai maslah yang dihadapi. 
Abu Turob an Naqsabi, katanya sufi suka mengembara ketika ditanya tentang tawakkal, tawakkal berarti menunndukkan badan seperti rukuk dan sujud dalam shalat, mengikatkan hati dalam rububiyyah Allah SWT sebagai sang penguasa dan sang Pengatur, merasa tenteram dengan apa yang ada, jika diberi bersyukur, dan jika rezekinya ditahan ia sabar.[8]
Sementara al-Ghazali melihat tawakal itu ada tiga tingkatan. Pertama, menyerahkan diri kepada Allah seperti menyerahkan kekuasaan dalam suatu urusan kepada wakilnya, ssetelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan wakilnya dalam menangani urusan. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah seperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya. Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah SWT laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.[9]
e. Rida
Rida merupakan puncak perkembangan sikap tawakal. Rida dalam tasawuf berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah SWT baik yang menyusahkan atau yang menyenangkan. Rida kepada Allah muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadadp seseorang lebih baik dari pada keputusan orang itu sendiri bagi dirinya. Kalau seseorang telah merasa rida kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT pun rida kepadanya. Allah berfirman: Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebearan mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir suangai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mmereka pun trida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (QS:5:119)
f. Mahabah dan Ma’rifat
Kata mahabah memiliki beberapa arti di antaranya dari kata habb (bentuk jamak dari habbah) yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta. 
Rabia’ah al Adawiyyah (801 M) adalah sufi yang masyhur dalam memperkenalkan konsep cinta sufi. Menurutnya, mahabah atau cinta merupakan dasar dan prinsip dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Bagi Rabi’ah, mahabah muncul terlebih dahulu sebelum ma’rifat. Sebab seorang hamba belum dapat mencapai ma’rifat yakni mengenal Tuhan melalui mata hatinya, sebelum terlebih dahulu mencintai-Nya.[10]
Sementara Ma’rifat menurut kaum sufi ada tiga tingkatan. Pertama, pengetahuan awwam, yang merupakan pengetahuan lapisan terbesar umat manusia. Mereka mengenal Tuhan secara taklid, yang hanya terbatas pada pengucapan kalimah syahadat. Kedua, Pengetahuan orang-orang berilmu, yang mengenal Tuhan dengan lantaran logika dan dalil-dalil pembuktian. Ketiga, pengetahuan „arif, yang mengenal Tuhan melalui hati nuraninya.
Abdul Karim al-Qusyairi (998 M-1086 M), tokoh tasawuf Suni, menyebutkan, ada tiga media dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk mengenal Tuhan, yakni qalb, ruh, dan sirr (rahasia, bagian yang paling dalam dari hati). Kalbu adalah untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai Tuhan, dan sirr untuk mengenal Tuhan. Sirr inilah yang dpat menerima iluminasi (pancaran cahaya) Illahi, ketika ia telah disucikan dari berbagai kotoran. [11]
2. Tarikat
a. Konsep Tarikat
Tarikat merupakan ajaran tasawuf yang cukup penting setelah adanya maqomat. Yang dimaksud dengan istilah tarikat dalam tasawuf yaitu jalan menuju Allah SWT guna mendapatkan rida-Nya. Dengan menaati ajaran-Nya.
Istilah tarikat dalam tasawuf sering dihubungkan dengan syari’ah dan hakikat. Ketiga istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan peringkat penghayatan keagamaan muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal disebut syariat, peringkat kedua disebut tarikat, dan ketiga disebut hakikat.
Yang dimaksud syari’at adalah jalan utama yang mengandung peraturan keagamaan yang bersifat umum dan formal. Adapun tarikat merupakan jalan yang lebih sempit yang terdapat dalam jalam umum syari’at dan lebih khusus yang ditujukan kepada orang-orang yang ingin mencapai penghayatan keagamaan yang lebih tinggi. Pengamalan syari’at merupakan jenis penghayatan keagamaan eksoteris, sedangkan tarrikat merupakan jenis penghayatan esoteris.adapun hakikat secara harfiah merupakan berarti “kebenaran”, tetapi yang dimaksud debgan hakikat di sini ialah pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, yang dimulai dengan pengamalan syari’at dan tarikat secara seimbang.
b. Komponen Tarikat 
Di dalam organisasi tarikat dikenal adanya komponen utama yang mewarnai organisasi itu. Yaitu terdiri dari guru, murid, amalan, zawiyyah, dan adab[12].
1.      Guru tarikat disebut syeh, murad, atau pir. Seorang syeh atau mursyid harus menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap. Pemikiran, perkataan dan perilakuknya harus mencerminkan akhlak yang terpuji.
2.      Murid disyaratkan harus berjanji setia pada dirinya di hadapan mursyid, bahwa ia akan mengamalkan segala bentuk amalan dan wirid yang telah diajarkan mursyid kepadanya dengan sungguh-sungguh.
3.      Wirid, salah satu amalan utama yang menjadi inti wirid ialah zikir. Semua kelompok tarikat mengajarkan zikir ini. Al-Qur’an menerangkan: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”  
4.       Zawiat, yakni majelis tempat para salih mengamalkan suluk, zikir, dan berbagai wirid tarikat yang lain. Zawiat menurut pengertian bahasanya ialah sudut atau pojok. Mulanya para sufi para pengembara membutuhkan suatu tempat peristirahatan disalah satu pojok masjid distiap rute perjalanan yang merke lewati.
5.      Adab atau etika hubungan salik dengan syekh dalam sebuah tarikat.

C.    Peran Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari
Memperhatikan berbagai permasalahan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat modern sekarang, khususnya di Indonesia seperti yang telah digambarkan di atas, maka ada beberapa nilai tasawuf yang penulis tawarkan sebagai alternatif solusi spiritual terhadap problem kemanu-siaan maupun kenegaraan. Tentunya dengan mengutip sebahagian pendapat para ahli tasawuf:[13]
1.      Zuhud, cocok diaplikasikan dalam menghadapi persaingan dan keserakahan untuk memperebukan jabatan, pangkat dan kedudukan demi mengejar materi sebanyak-banyaknya. Zuhud dapat dijadikan solusi dalam menghadapi persoalan persaingan ekonomi. Persaingan yang tidak sehat, yang mengabaikan aturan syariat Islam terjadi karena hausnya manusia terhadap harta. Namun dengan menanamkan zuhud dalam diri, jiwa serakah akan terminimalisir.
2.      Dermawan (sakha’) dan murah hati (jùd), esensi keduanya sama, yaitu kerelaan mengorbankan sesuatu tanpa diiringi rasa kehilangan atau kesusahan. 48 Kemurahhatian (kemauan berinfak) di zaman modern, cocok untuk ditanamkan kepada jiwa-jiwa yang sudah diliputi oleh keserakahan dan persaingan di bidang material yang berakibat terjadinya jurang yang dalam antara simiskin dan sikaya. Dalam ajaran sufi, kedermawanan dan kemurahan hati, dilawankan dengan kikir (bukhl). Bila sikikir telah karam dalam kepemilikan harta benda, maka iapun rela berkorban demi materi.
3.      Cinta (al-Hubb), berimplikasi pada cinta kepada sesama manusia, dan hal ini bisa mengokohkan persatuan dan perdamaian antara sesama manusia akibat pertentangan, permusuhan dan peperangan yang senantiasa muncul di masyarakat modern. Cinta akan melahirkan sifat lemah lembut terhadap sesama manusia dan gerakan mereka adalah gerakan Tuhan dan semuanya dibawa pengawasan-Nya.50 Ketika manusia mulai mencintai Allah, cinta Allah akan bertambah hingga memberi kemampuan pada manusia untuk meneladani Nabi Muhammad saw, menyucikan dan menumbuhkan jiwa untuk selalu mengingat Allah akhirnya menjadi manusia yang sempurna
4.      Wahdah al-adyan, yang berarti kesatuan agama kendatipun konsep tersebut dicetuskan pertama kali oleh al-Hallaj, namun yang dimaksud dalam hal ini kesatuan pandangan secara sosial bahwa semua manusia menyembah Tuhan. Kesamaan-kesamaan inilah perlu dirujuk dan dipertautkan menuju titik yang satu yaitu Tuhan; sehingga pertentangan, pertikaian, permusuhan bahkan pembunuhan antarmanusia yang berlatar belakang sentimen agama bisa terhindarkan.
5.      Mengingat mati, sangat efektif untuk menekan kasus korupsi. Oleh karena itu bagi koruptor, baik skala kecil maupun besar, yang mengingat akan kematian maka ia akan sadar, dan kemudian akan menghentikan perbuatan hinanya tersebut.
6.      Tafakkur (berfikir) merupakan ciri khas manusia, sebab apabila manusia hilang akalnya tidak ubahnya sebagai binatang. Dalam Kitab Mau’izatul Mu’minin (Ringkasan Kitab Ihya ‘Ulumuddin karangan Al-Ghazali) bahwa ada empat hal yang harus difikirkan, yaitu: a. Ketaatan b. Kemaksiatan c. Sifat-sifat yang merusakkan d. Sifat-sifat yang menyelamatkan. Apabila setiap orang pandai memikirkan dan membandingkan keempat hal tersebut, kemasiatan dan kejahatan yang terjadi di kalangan masyarakat dapat berkurang.
7.      Taubah. akan dilakukan oleh orang yang merasa dirinya bersalah atas perbuatannya. Taubah dapat menyelamatkan seseorang dari kehinaan di hadapan Allah dan manusia. Orang yang bertaubah dengan taubah yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha) akan mengambil hikmah dari kesalahan yang telah dilakukannya di masa yang lalu.
8.      Sabr. Sabar merupakan modal utama dalam menghadapi hawa nafsu. Banyaknya tantangan yang mengakibatkan timbulnya angkara murka menjadikan hawa nafsu lebih dominan dibandingkan akal sehat. Akibat mengikuti hawa nafsu pertengkaran, perkelahian, atau bahkan pembunuhan bisa terjadi. Dengan Sabr nafsu dapat terkendali dan yang dominan adalah pikiran yang jernih.
9.      Tawakkal dapat menyebabkan manusia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Menurut Hamka, tidaklah keluar dari garis tawakkal, jika kita berusaha menghindarkan diri dari kemelaratan, baik yang menyinggung diri, atau harta benda, serta anak turunan.53 Dengan demikian, menghindari sesuatu yang akan menyusahkan diri sendiri tidaklah berdosa.
Demikianlah tasawuf yang dipraktekkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi apapun zamannya atau bagaiman pun gejolak dimuka bumi ini, semua kenyataan hidup akan dihadapi secara proporsional dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin dan penuh ketenangan (tuma’ninah).



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Tasawuf adalah sikap atau perilaku  manusia yang terpuji, mengandung kebaikan dan menuju ridla Allah SWT. sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan ayat 63.
Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang yang bodoh menyapa mereka, maka mereka mengatakan kata-kata yang mengandung keselamatan”.

2.      Pokok ajaran tasawuf meliputi maqamat, yakni: tobat, zuhud, sabar, tawakkal, rida, mahabah dan ma’rifat dan tarikat yang terdiri dari guru, murid, amalan, zawiyyah, dan adab.

3.      Peran Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari antara lain dapat berperan sebagai penumbuh sikap Zuhud, Dermawan (sakha’) dan murah hati (jùd), Cinta (al-Hubb), Wahdah al-adyan, Tafakkur Taubah, Sabr, Tawakkal.

4.      Tasawuf yang dipraktekkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi apapun zamannya atau bagaiman pun gejolak dimuka bumi ini, semua kenyataan hidup akan dihadapi secara proporsional dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin dan penuh ketenangan (tuma’ninah).


DAFTAR ISI

Abudin Nata. 1996.  Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada
al-Ghazali. 1995.  Abu hamid Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, terj. H. Muhamad Rifa’I .Semarang: Wicaksana,
Budi Munawar Rahmad, dan Asep Usman Ismail. Cinta Tuhan di tempat Matahari Terbit: tarikat Kadiriah – Nahsabandiah di Surabaya,  dalam JURNAL ILMU DAN KEBUDYAAN ULUMUL QUR’AN, Vol. 8, 1991
Harun Nasution. 1995.Filsafat dan MistisismeDalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Mahdi Malawat. Peranan Tasawuf Dalam Mengatasi Dilema Kemanusiaan dalam JURNAL FIKRATUNA, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni 2013
Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan”dalam JURNAL AL-HIKMAH No.13 Zulkaidah/Juni 1994, 33
Nurcholish Madjid.1994. Selayang pandang tentang Tarikat di Indonesia, dan Masa depannya, Makalah Klub Kajian Agama . Jakarta: Yayasan Paramadina
Solihin, dkk. 2008. Ilmu Tasawuf . Bandung: Pustaka Setia


[1] Harun Nasution, Filsafat dan MistisismeDalam Islam. (Bulan Bintang: Jakarta.1995), h. 57-58.
[2] Solihin, dkk. Ilmu Tasawuf (Pustaka Setia: Bandung, 2008), h. 13-15.
[3] Musthofa, Akhlak tasawuf (Pustaka Setia:Bandung), h. 207.
[4] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf  (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1996), h. 180.
[5] Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” al-Hikmah No.13 Zulkaidah/Juni 1994, 33
[6] Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 35 
[7] 8 Budi Munawar Rahmad, dan Asep Usman Ismail, Cinta Tuhan di tempat Matahari Terbit: tarikat Kadiriah – Nahsabandiah di Surabaya, jurnal Ilmu dan Kebudyaan Ulumul Qur’an, Vol. 8, 1991 41
[8] Ibid, hal 42
[9] al-Ghazali, Abu hamid Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, terj. H. Muhamad Rifa’I (Semarang: Wicaksana,1995, 20) 
[10] Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 36 12 Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 37 
[11] Murtada Mutahhari, Manazil dan Maqamat dalam “irfan” 1994, 37
[12] Nurcholish Madjid, Selayang pandang tentang Tarikat di Indonesia, dan Masa depannya, Makalah Klub Kajian Agama ( Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994)2
[13] Mahdi Malawat. Peranan Tasawuf Dalam Mengatasi Dilema Kemanusiaan dalam JURNAL FIKRATUNA, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni 2013: 49-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar