Selasa, 29 Maret 2016

Motor Pak Dhe dan Kritik Makdhe

Yadi dan Retno part II

Jam 9 malam telepon genggam Yadi berdering kencang. Padahal baru saja ia membaringkan badan selepas pulang kerja. Sambil menguap lebar ia melihat layar ponselnya. Ternyata Pak Dhe memanggil.

"Halo Pak Dhe. Pripun?",
"Lagi dimana, Yadi?"
"Di rumah, Pak Dhe"
"zzzzz...*(&^*%%*)(%$&^)+_%$@".
suara Pak Dhe tak begitu jelas di telinga Yadi yang setengah mengantuk.
"Saya ke sana saja, Pak Dhe?"
"Iya.. Kalau kamu berkenan"
Yadi pamit pada Retno yang tengah melipat pakain sambil menonton teve. Sejurus kemudian, Yadi kembali harus mengeluarkan kendaraan yang masih 'panas' oleh keringat sorenya. Lalu ia menyalakannya, melaju pelan menyaou angin malam.



Sampai di rumah Pak Dhe.
Rupanya Pak DHe sudah bersiap dengan komputer jinjingnya. Beliau duduk di kursi depan rumah sambil mengetik sebuah naskah beberapa lembar.

"Gimana, Yadi?. Sehat"
"Alhamdulillah, Pak Dhe. Oh ya, tadi di telepon Pak Dhe bilang apa? Aku tak mendengar jelas"
Lalu Pak Dhe menjelaskan bahwa beliau ingin dicetakkan beberapa dokumen pekerjaannya. Yadi lalu menanggukkan kepala tanda bersedia.

Pembicaraan mereka pun bergeser ke tema pekerjaan juga penghasilan.
"Motormu bagus, Yadi"
"Oh, ini motor bapak"
"Lha motormu?"
"Kemarin kami bertukar motor. Bapak ke Jepara"
"Oh.. Hebat kamu, Yadi!. Masih muda sudah punya kendaraan sendiri"
"Ah, masih butut, Pak Dhe"
"Yah, walau butut. setidaknya itu hasil jerih payahmu sendiri."

Lalu Pak Dhe bercerita tentang motornya, 15 tahun lalu, saat itu usia beliau 25 tahun Pak Dhe membeli motor "lanang" seharga dua juta. Uang hasil tabungannya selama 5 tahun bekerja. Sebelumnya, Pak Dhe harus menyewa motor jika ingin bepergian agak jauh. Biaya sewanya Rp 15.000 untuk setengah hari dan Rp 25.000 untuk satu hari.

Lambat laun saat kondisi ekonomi membaik, Pak Dhe berani menjual motor pertamanya itu untuk dibelikan motor yang lebih bagus. Kondisinya masih oke walau memang motor bekas juga.
Beberapa tahun berikutnya, kebetulan Pak Dhe sedang banyak uang, beliau membeli sepeda motor baru milik temannya.Harganya murah, kondisi masih cantik dan ciamik. cocok untuk mejeng dan bergaya. Walau begitu motor itu masih termasuk kategori motor bekas juga.

Tahun berganti, kesibukan pun bertambah. Keuangan juga terlihat lebih prospektif dan cerah. Saat Pak Dhe berterus terang kepada Mak Dhe bahwa ia ingin membeli motor yang benar-benar baru (anyar gress), Mak Dhe menolak keras. "Sudahlah, Pak. Mbokyo jangan gonta-ganti motor terus. Syukuri yang sudah ada. wong masih bagus gitu kok. Nanti jadi kebiasaan. lawas dikit ganti. ntar menular soal istri".

Yadi tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. Hebat juga, Pak Dhe harus bersyukur punya pendamping hidup yang bisa memberi saran yang emosional itu, yang ikut memberi andil dalam keputusan berumah tangga. Jadi, seorang istri tidak hanya taqlid buta kepada sang suami ibarat pepatah swarga nunut neraka katut. Namun, seorang pendamping juga harus memiliki pandangan yang tajam dan dapat membantu suami untuk memberi ide, saran, juga kritik yang solutif. ya seperti Mak Dhe ini. Pokoke Mak Dhe sakjose.

Lalu Yadi teringat Retno, istri yang sangat ia cintai. Istri yang juga punya daya pikir kritis, berprinsip, dan setia. Akhirnya Yadi segera pamit kepada Pak Dhe, "Pak Dhe, sudah malam. aku pulang dulu, ya!".
"Iya. Terima kasih lho, atas bantuannya".
"Iya, Pak"
Yadi tancap gas menuju rumah, teringat pujaan hati, belahan jiwa, sigaring nyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar