Kamis, 26 Desember 2019

DIENG, PUAS PUAS PUAS

Oleh: Ghofur Dzulhikam


DIBALIK UDANG
Melihat Mbak Nik pasang story mau ‘JJ’ ke Dieng aku jadi penasaran, mau apa dia? Selidik punya selidik rupanya Mbak Nik berencana nge-camp di sana pada 24-25 Desember. Dia akan berangkat bersama Pak Ni, Pak Im, Mbak Vita, Bu Indah, Pak Zin, dan lainnya.

Nama terakhir buat aku terkejut. Tumbenan Beliau ikut acara kek gini. Pakdeku yang satu ini (gosah tanya usianya berapahh) setahuku jarang ikut acara outdoor di alam. And you know, Beliau justru jadi aktor utama di camping kali ini. He made us cekikikan all day long. Mengubah dingin menjadi hangat dan mengubah hangat menjadi kebelet pipis. Ahhh.. Aku langsung menyatakan gabung. Sepertinya seru dan bakal mengasyikkan kumpul sama mereka-mereka. Lagian aku juga belum pernah ke Dieng. Mumpung ada rombongan dekat, cuss mangkaaattt.



PROLOG
Aku mulai dari mana yaa. Jadi bingung sendiri. Mulai dari nol ya maaasss.. Dieng ini sebenarnya bukan nama gunung, tapi dataran tinggi (latin: plateau. Dibaca: plato). Jelasnya dataran tinggi yang dikelilingi oleh gunung Sumbing dan Sindoro (3.150 mdpl). Jujur saja walaupun aku cukup punya wawasan di dunia kepramukaan tapi aku cukup awam dengan dunia ‘pergunungan’. Lha piye.. dulunya pas jambore kita mendirikan tenda di sawah, bukan di gunung. Heheh

Kegitan puncak kita kali ini adalah melihat sunrise atawa matahari terbit. Apa sih asiknya melihat matahari terbit? Ya mbuh. Aku juga sedang mencari jawabannya sambil mikir, subuh ning kono aku iso tangi pora. Ngerti atise koyo ngono.

Ada beberapa titik yang recommended untuk dapat menikmati indahnya sunrise di Dieng, salah satunya adalah bukit Sikunir. untuk menuju sana kita perlu berjalan sekitar 45 menit dari camp. Camp Sikunir sendiri berada di area parkir telaga Cebong. Wah.. mantap ya.. kita bikin tenda dekat telaga jadi syahdu gitu deh.

PERSIAPAN, YA!
Saat berkemah tentu kita wajib membawa peralatan berkemah macam tenda, matras, kompor, dan ‘SB’. Nah, kesemuanya aku nggak bawa. Aku Cuma bawa jaket, sarung tangan, dan kupluk. Gimana? Sungguh kucluk bukan? Sebenarnya bukan karena aku nggak usaha tapi karena miss komunikasi aja. Sebelumnya aku dah tanya ke mbak Nik, “Mbak aku perlu bawa apa aja?”. E dia malah jawab, “Gowo panganan sing akih”. Lah.. aku ya jadi berasumsi kita bakal nginep di homestay.

Dan pas pemberangkatan kita baru dikasih tahu kalau ntar kita bikin tenda. Iya sih, tendanya cukup, tapi selimut dan matrasnya yang kurang. Tau gini kan aku bawa tikar sekalian kasur dari rumah. Walhasil, malam itu aku kedinginan nggak karuan. Awak mlengker macam obat nyamuk bakar. Alhamdulillahnya, aku bisa tidur dan bangun subuh meski perlu beberapa kali bangun-tidur lagi.

Sebenarnya di camp Sikunir sudah tersedia fasilitas yang cukup. Ada mushola, ada toilet, dan banyak sekali warung penyedia makanan serta penyewaan alat camping. Cuma harganya saja yang wah wah sedap. Untuk tenda dome isi 4 orang dibandrol Rp 150rb. Padahal kalau beli kita cukup rogoh Rp 650rb. Sok tuku dewe pokoke.

API UNGGUN, TAHLILAN, ABC
Maghrib tiba, kami segera berwudhu dan sholat di mushola. Lalu dilanjutkan kembali ke tenda untuk berramah tamah menghangatkan suasana. Semakin malam hawa dingin mulai terasa menjalar dari ujung kaki sampai ujung kelapa, eh, kepala. Hidung kita tempel salon pas biar pas. Anget. Lalu panas. Akhire tak copot.

Kita menyalakan api unggun biar camping kita tampak kaffah. Belum lengkap rasanya kalau camping gada yang dibakar. Kita bakar kayu dari beli di sana. Kayune agak basah jadi sulit dibakar, kurang cocok buat api unggun. Setelah api menyala kami memulai kegiatan tahlilan bersama. Dan kebetulan saja malam itu adalah malam Natal.

Selesai ritual tahlilan, kami melanjutkan ritual yang lain yaitu dolanan. ABC menjadi pilihan kami buat meramaikan pikenik malam itu. Kita menyebutkan dari nama hewan, judul film, sampai judul lagu dengan ngawur dan sakarepe dewe. Semuanya tak terkecuali Pak Zin larut dalam canda tawa. Celoteh-celoteh ngaco tanpa jaim dan muka penuh bedak menjadi kenangan tersendiri. Ku lihat hanya di tenda kami yang nampak riuh sementara yang lain hanya anteng-anteng saja menikmati dinginnya malam desa Sembungan, desa tertinggi di Jawa.

Pukul 9. Kami masuk ke tenda masing-masing dan segera menuju alam mimpi. Berharap semoga cuaca baik dan besok bisa bangun lebih awal menyongsong fajar.

SUNRISE, OH YESS!
Ternyata polahku bangun-tidur lagi diikuti dengan lainnya yang agak lambat untuk bersiap naik. Hingga pukul lima tepat kami baru lengkap dan bersiap naik ke puncak sikunir. Di sana sudah ada banyak pendaki lain bejubel ingin menikmati golden sunrise. Dari 12 orang rombongan kami ternyata belum ada yang pergi ke sana sama sekali. Busyet.. Nekat nih! Bahkan Pak Ni, pakarnya muncak, ahlinya ahli, juga belum pernah ke sana. Untungnya, kita punya guide yang membimbing perjalanan kita. Mbak Napislah orangnya. Yang satu ini rupanya pernah berulang kali ke Sikunir. Pantas saja, pas crito ning soal Dieng, wis mirip koyo pendongeng. Ono pada jaman dahulune.

Tapi sialnya, Mbak Napis gagal membawa kita menikmati indahnya sunrise Dieng. Lereng bukit sebelah sudah keburu menguning sebelum kita tiba di puncak. Bahkan baru separuh jalan sudah ada orang yang turun sambil teriak cekikikan penuh tipuan, “Ayo yang semangat. Sanrese apik. Seh uman kok”. “Hmm.. Pok Iyo??”, batinku. Begitupun kami tetap lanjut sambil berharap masih mendapat sunrise Dieng rak ketang koretane.

Dan benar. Sampai puncak matahari udah tinggi. Kita tak mendapat yang kita inginkan. Lantas? Apa kita sedih? Yo ora lah. Kita mah seneng-seneng bae. Setidaknya masih bisa poto-poto. Aku juga. Aku juga pengen poto-poto dengan latar belakang gunung. Mayan buat story WeA, kan. Heheh

Kami harus perlu mencari celah berpoto mengingat buanyak kali para penikmat sanres. Udah mirip bejubelnya penonton orkes adella lah. Rupanya yang gak uman sanres juga tak kalah banyak. Kawanan kabeeehh.

Overall kami cukup puas dan menikmati pikenik kali ini. Kami berhasil menjejakkan langkah di bukit dengna ketinggian 2.300 mdpl. Di ketinggian ini, udara tipis, sehingga akan membuat napas kita tersengal saat mendaki. Kita perlu mengatur pernapasan melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut secara teratur.

Aku tak cukup pandai menggambarkan keindahan Gunung Sindoro dan Sumbing. Yang jelas wapik dan sak indahe. Bila ada kesempatan kemarilah. Ajak kawan terbaikmu.

MIE GORENG ILANG
Rencananya habis turun kita mau sarapan. Kita dah sangu mie instan berbungkus-bungkus dari rumah. Saatnya kita masak dan menikmati hidup. Namun, saat kompor sudah menyala, mie instan justru tiada, raib entah kemana.

Dugaan kami, mie instan tersebut hilang diambil orang saat kami tidu semalam. Gebleknya, saking menikmati alam dan menganggapnya sebagai rumah sendiri kita menaruh ‘makanan pokok’ kita dil luar tenda. Akhirnya kita harus bersabar sambil terus menghujat semut-semut di tanah, ‘Kok isoooo??’.

BAYAR
Namanya juga pikenik pastinya dibutuhkan duit. Ingat, ‘biayaan’ kita itu membutuhkan biaya. Sebagai bonus, akan saya hitungkan berapa sih uang yang perlu disiapkan untuk pergi ke Sikunir. yuk, cekidot!

1. Tranportasi. Kalau ini nggak perlu tak jelaskan ya.. tergantung individu mau naik apa dan berangkat dari mana. Kalau aku dari Demak naik elf bajet Rp 200rb susuk.
Rute kami: Wedung – Demak – Semarang - Bawen via tol – Temanggung – Parakan –Wonosobo – Dieng – Sikunir

2. Tiket. Di depan kami sudah bayar 2 kali untuk tiket masuk area Sikunir, masing-masing Rp 10rb per kepala. Di camp kita masih kena uang sewa lahan Rp 10rb per tenda. Jadi, tengah malam para petugas berkeliling mengetok tenda. “Misi mas.. misi mbaaa..”, gitu sapanya.

3. Tiket Kawah Sikidang. Kita juga mampir sini. Rp 10rb per kepala. Di sana ada spot foto, tapi mbayar juga dari 5rb-10rb.

4. Toilet. Nah ini. Aku punya kebiasaan ketika kedinginan maka proses sekresi berjalan lebih cepat. Rp 2rb tiap cur. Ada banyak toilet kok. Cuma di jam-jam tertentu kita perlu ngantri.

5. Makan. Kalau mau hemat bawalah cemilan dari rumah. Soalnya di camp yang tinggal duduk dan nggak ngapa-ngapain, mulut kita ngga bakal bisa diem. Ono wae sing pingin dipangan. Anyway, di sana harga jajanan masih terjangkau lah. Sarapan juga nggak mahal-mahal amat.

DIENG, PUAS PUAS PUAS
Alhamdulillah saya puas. Terima kasih semua kawan-kawan, tak sebutke siji-siji ya.. Pak Ni, Pak Zin, Pak Im, Mbak Nik, Bu Indah, Mbak Vita, Mbak Napis, Mbak Wahyu, Mbak Sa’adah, Yantiyem. Tak ketinggalan Pak Sopir yang sangat paham darah Dieng. Swangar. Nyupire wus-wus, kewes, tanpa mengurangi kenyamanan penumpang. Ayuh... next pikenik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar