Sabtu, 20 September 2014

PENGERTIAN USHUL FIQIH



PENGERTIAN USHUL FIQIH


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Hj. Istianah, MA


Disusun oleh :
M. Abdul Ghofur    (1310320005)



PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada Masa Rasululah Saw, dikisahkan dua sahabat sedang bepergian. Saat mereka hendak mengerjakan shalat, di sana tidak ditemukan air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.
Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah Saw dengan sunahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Quran atau sunnahnya. Namun, setelah Rasul tiada, muncullah permasalahan-permasalahan yang baru dan tidak mudah untuk diselesaikan.
Sehubungan dengan perkembangan ilmu ushul fiqh yang telah digambarkan di atas, maka alangkah baiknya jika kita mengetahui lebih dalam tentang Fiqh dan Ushul Fiqh.
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ilmu fiqh. Ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi Ushul fiqih?
2.      Apa objek kajian Ushul fiqih?
3.      Apa ruang lingkup Ushul fiqih?
4.      Bagaimana hubungan ushul fiqih dengan fiqih?
5.      Bagaimana Sejarah perkembangan Ushul fiqih?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui definisi Ushul fiqih
2.      Mengetahui objek kajian Ushul fiqih
3.      Mengetahui ruang lingkup ushul fiqih
4.      Mengetahui hubungan ushul fiqih dengan fiqih
5.      Mengetahui Sejarah perkembangan Ushul fiqih



BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI USHUL FIQIH
Ushul fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti; pangkal, pokok, dasar dll. Sedangkan Fiqih, secara bahasa berarti pemahaman. Secara istilah, fiqih: “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.[1]
Ustadz Abdul Hamid Hakim menjelaskan hukum-hukum dibagi menjadi delapan yaitu: Wajib, Mandub, Haram, Makruh, Mubah, Shohih, Batal, Rukhsoh, Azhimah.[2]. Sedangkan menurut Imam Abi Ishaq, Hukum Syara’ dibagi menjadi enam, yaitu: Wajib, Mandub, Mubah, Mahzhur, Makruh, Shohih, dan Batil.[3]
Ushul fiqih adalah seperangkat dalil syar’i yang diambil untuk mengeluarkan hukum yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. [4]
Sumber-sumber dalil tersebut antara lain Firman Allah (Alqur’an), sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi, ijma’, dan qiyas. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Ad-Dimyati mengatakan Ushul Fiqih adalah dalil-dalil [kaidah-kaidah] yang diambul dari kitab [Alqur’an] dan sunnah, ijma’ untuk menetapkan hukum syara’.[5]
Jadi ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan teknik merumuskan hukum syariat untuk pedoman hidup dan jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
B.      OBJEK KAJIAN USHUL FIQIH
Objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah: perbuatan manusia yang ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya, meliputi jual beli, sewa menyewa, pengadilan, perwakilan, salat, puasa, haji, pembunuhan, tuduhan terhadap zina, pencurian, ikrar dan wakaf supaya ia mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan ini.
Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan system mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Berpegang pada pendapat Al-Ghazali, objek pembahasan ushul fiqh ada 4 bagian:
1.    Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum alaih.
2.    Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
3.    Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dalil itu.
4.    Pembahasan tentang ijtihad.[6]

C.    RUANG LINGKUP USHUL FIQIH
Secara global, ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a.       Pengenalan terhadap istilah-istilah tehnis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dll.
b.      Dalil-dalil hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah mursalah- berikut penetapan rangking kehujahan masing-masing dalil.
c.       Penjelasan tentang cara/metode “bagaimana  menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang dimaksud terdiri atas Qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari Nash (al-Quran Hadis) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d.      Mujtahid, ijtihad, fatwa, taklid dll.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul  fiqh ada 4, yaitu :
1)      Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh.
2)      Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
3)      Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh dalalah al-adillah ), karena ini adalah thariq al-istitsmar ( jalan / proses pembuahan ). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq ( tersurat ), dalalah bil mafhum ( tersirat ), dalalah bil dharurat ( kemadharatan ), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul ( makna rasional ).
4)      Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.

D.    HUBUNGAN USHUL FIQIH DENGAN FIQIH
Tujuan dari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syri’at terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi ilmu fiqih itu adalah tempat kembalinya seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembalinya seorang mukallaf untuk dapat mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari dirinya.
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi berdasarkan kaidah dan bahasan-bahasannya maka nash-nash syara’ dapat dipahami secara sempurna. Disamping itu, dapat pula diadakan perbandingan antarmadhab yang berlainan untuk mengurai hukum suatu kasus. Karena hal ini tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu ushul fiqih. Dengan demikian ilmu ushul fiqih juga merupakan landasan dari fiqih perbandingan.
Ushul Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain:
1.      Ushul Fiqih ibarat rantai penghubung antara fiqih dengan sumbernya
2.      Ushul Fiqih merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para pakar fiqih terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih.
3.      Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqih yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu,

E.     PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.[7]
Masa Nabi SAW
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul Saw, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah Saw”. (HR. Tirmizi)
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qaul Sohabi (fatwa sahabat). Namun demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.
Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.
Masa Pasca Imam Syafi’i
Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadis.



BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Ushul fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti; pangkal, pokok, dasar dll. Sedangkan Fiqih, secara bahasa berarti pemahaman.
Ushul fiqih adalah seperangkat dalil syar’i yang diambil untuk mengeluarkan hukum yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Sumber-sumber dalil tersebut antara lain Firman Allah (Alqur’an), sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi, ijma’, dan qiyas.
Objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah: perbuatan manusia yang ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya, meliputi jual beli, sewa menyewa, pengadilan, perwakilan, salat, dll.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul  fiqh ada 4, yaitu : Hukum-hukum syara’, Dalil-dalil hukum syara’, Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh dalalah al-adillah ), dan Mustamtsir.
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
B.     SARAN
Perkembangan zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau oleh rumusan fiqih yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan perangkat metodologisnya.
Diharapkan dengan adanya ilmu Ushul Fiqih kita dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut. Serta kita dapat turut aktif melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis tehnik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim. Mabadi’ Awaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Abu Abdullah Muhammad ibn Qosim. Fathul Qorib Almujib. 2005. Jakarta: Haromain
Ad-Dimyati. Hasyiyah Ad-Dimyati ‘Ala Syarh Al-Waraqat. Surabaya: Toko Kitab Alhidayah
Ade Dedi Rohayana. Ilmu Ushul Fiqih. 2006. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Mufarrihul Hazin. http://www.mufarrihulhazin.com 2011. Diakses tanggal 8 September 2014 pukul 10.00 WIB



[1] Ibnu Qosim. Fathul…. Hal. 5
[2] Abdul Hamid. Mabadi; … hal. 6-7
[3] Abi Ishaq. Lumma’. Hal. 3
[4] Ibid… hal. 4
[5] Ad-Dimyati, Hasyiyah…. Hal. 2
[6] Ade Dedi Rohayana. Ilmu Ushul Fiqih….hal.10
[7] Mufarrihul Hazin. http://www.mufarrihulhazin.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar