Sabtu, 20 September 2014

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN SEJARAH



STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN SEJARAH

Makalah disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu :
Rofiq Faudy Akbar, M. Pd





Disusun Oleh:
Muhammad Abdul Ghofur (1310320005)
Taufiqur Rohman (1310320017)



PRODI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti seluas-luasnya.[1]
Banyaknya aliran Islam yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah tidaklah tercetak apa adanya, melainkan dengan pelbagai proses seperti akulturasi dan asimilasi. Banyak di antara budaya-budaya Islam yang masih tercium aroma hinduisme maupun budhisme yang merupakan hasil dari strategi dakwah Islam di masa lalu. Hal tersebut dapat diketahui dan dipelajari melalui pendekatan sejarah asal mulanya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan sudi Islam dengan pendekatan sejarah?
2.    Bagaimana urgensi pendekatan sejarah dalam metodologi studi Islam?
3.    Apa saja produk sejarah yang dilahirkan Islam?
C.    Tujuan
1.         Mengetahui pengertian pendekatan sejarah
2.         Menemukan urgensi pendekatan sejarah dalam metodologi studi Islam
3.         Mengetahui produk sejarah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendekatan Sejarah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendekata berarti 1) proses perbuatan, cara mendekati, 2) Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti; metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Sedangkan kata historis berasal dari bahasa Inggris ‘history’ yang berarti sejarah.
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[2]
Jadi, studi Islam dengan pendekatan sejarah berarti mempelajari Islam dengan melihat jejak kesejarahannya meliputi waktu peristiwa, tempat peristiwa, dan tokoh yang terlibat di dalamnya
B.     Urgensi Pendekatan Sejarah dalam Metodologi Studi Islam
Setidaknya ada empat fungsi sejarah yang dinyatakan Nugroho Notosusanto, yaitu:
1)      Fungsi rekreatif
yaitu sejarah sebagai pendidikan keindahan, sebagai pesona perlawatan. Hanya pada fungsi rekreatif ini menekankan pada upaya untuk menumbuhkan rasa senang untuk belajar dan menulis sejarah. Kalau yang dipelajari berkait dengan sejarah naratif dan isi kisahnya mengandung hal-hal yang terkait dengan keindahan, dengan romantisme, maka akan melahirkan kesenangan astetis. Tanpa beranjak dari tempat duduk, seseorang yang mempelajari sejarah dapat menikmati bagaimana kondisi saat itu. Jadi, seolah-olah seseorang tadi sedang berekreasi ke suasana yang lalu.
2)      Fungsi inspiratif. 
Fungsi ini terkait dengan suatu proses untuk memperkuat identitas dan mempertinggi dedikasi sebagai suatu bangsa. Dengan menghayati berbagai peristiwa dan kisah-kisah kepahlawanan, memperhatikan karya-karya besar dari para tokoh, akan memberikan kebanggaan dan makna yang begitu dalam bagi generasi muda. Karena itu, dengan mempelajari sejarah akan dapat mengembangkan inspirasi, imajinasi dan kreativitas generasi yang hidup sekarang dalam rangka hidup berbangsa dan bernegara. Fungsi inspirasi juga dapat dikaitkan dengan sejarah sebagai pendidikan moral. Sebab setelah belajar sejarah, seseorang dapat mengembangkan inspirasi dan berdasarkan keyakinannya dapat menerima atau menolak pelajaran yang terkandung dalam peristiwa sejarah yang dimaksud. Kaitannya dengan fungsi inspiratif, C.P. Hill juga menambahkan bahwa belajar sejarah dapat menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap perjuangan dan pemikiran serta karya-karya tokoh pendahulu.
3) Fungsi instruktif. 
Yaitu sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini sejarah dapat berperan dalam upaya penyampaian pengetahuan dan keterampilan kepada subjek belajar. Fungsi ini sebenarnya banyak dijumpai, tetapi nampaknya kurang dirasakan, atau kurang disadari, karena umumnya terintegrasi dengan bahan pelajaran teknis yang bersangkutan.
4) Fungsi edukatif. 
Maksudnya adalah bahwa sejarah dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan keseharian bagi setiap manusia. Sejarah juga mengajarkan tentang contoh yang sudah terjadi agar seseorang menjadi arif, sebagai petunjuk dalam berperilaku.
Pendekatan kesejarahan sangat dibutuhkan dalam studi Islam, karena Islam datang kepada seluruh manusia dalam situasi yang berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatannya masing-masing.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami Alquran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya alquran yang selanjutnya disebut asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat alquran) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat alquran. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.[3] Senada dengan alquran, dalam mempelajari hadits dan sunnah nabi pun, pengkaji juga harus melihat asbabul wurudnya (sebab-sebab datangnya hadits tersebut).
Islam sebagai wahyu dicerminkan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Persoalan di sekitar hadits tidak perlu dikemukakan banyaknya. Bagaimana dalam buku hadits pertama Al Muwatha’, yang dikumpulkan ternyata haya memuat sekitar 700 buah hadits, termasuk sunnah sahabat. Sementara itu oleh imam Bukhori yang datang belakangan dicatat 4000 hadits, dan oleh Imam Muslim dicatat 6000 hadits. Lalu oleh Imam Ahmad Ibn Hambal dicatat 8500 hadits. Kenapa ada pertambahan jumlah semacam itu? Kemudian ada hadits shoheh, hadits mutawatir, hadits masyhur, hadits ahad. Wilayah-wilayah inilah antara lain yang dapat dijadikan kajian. Kita melihat bahwa orang sekarang mempunyai perlengkapan yang lebih untuk melakukan seleksi hadits. Sebab sekarang misalnya kita memiliki komputer. Mungkin juga perlu dipikirkan pendapat Fazlur Rahman, yang menyarankan penggunaan pendekatan Historical critism terhadap haditst. Mungkin metode ini tidak dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi, tetapi sangat mungkin bisa dilakukan oleh kelompok. Kita mengetahui dalam sejarah adanya upaya pemalsuan hadits. Kita juga mengetahui bahwa Imam Bukhori, Imam Muslim, atau Imam Malik lebih dulu melakukan wudlu dan shalat sebelum mencatat haditsnya.  Hal ini dilakukan sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya mengatakan, tadinya hadits yang dikumpulkan ada 300.000 buah. Tetapi, setelah diseleksi menjadi 6000 buah. Pertanyaannya, darimana dan sudah kemana saja sisanya itu? Persoalan-persoalan seperti ini merupakan wilayah yang bisa dilakukan kajian-kajian hermeneutika dan historical critism terhadap hadits kita dapat meneliti matan hadits, rijalul hadits atau perawi hadits tertentu. Ilmu yang sudah baku yang membahas persoalan hadits adalah ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu-ilmu ini perlu terus dikembangkan.[4]
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin, dhuafa’, munafiq, musyrikin, kafir, termasuk konsep yang konkret.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau perisiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersirat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah lab-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.[5]


  1. Produk Sejarah Islam
Islam mempunyai banyak produk sejarah yang memenuhi khazanahnya. Konsep Khulafaur Rasyidin adalah produk sejarah. Seluruh bangunan Islam klasik, tengah, dan modern adalah produk sejarah. Meliputi istana, masjid, madrasah, perpustakaan, dan sebagainya.
Khazanah keilmuan klasik (turats) Arab dianggap sebagai khazanah paling kaya yang pernah diwariskan oleh peradaban apapun, baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu, ia juga termasuk peradaban yang paling luas pengaruhnya dan penyebarannya di seluruh penjuru dunia pada umunya dan khususnya di Eropa.tak bisa di pungkiri bahwa khazanah turats inilah yang telah memberikan obor pencerahan pemikiran dan pondasi keilmuan pada Eropa di abad pertengahan, yang akhirnya mampu membuahkan pijakan kuat bagi era kebangkitan Eropa. Bangsa-bangsa Eropa ketika itu memang berupaya mengumpulkan semua literatur Arab yang bisa mereka peroleh, dan memanfaatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Bahkan, perhatian Eropa terhadap khazanah turats Arab masih terlihat semarak sampai masa sekarang.[6]
Kita dapat membayangkan bagaimana wajah Islam sekarang andai saja panji-panji Islam dapat bertahan di Andalusia. Andaikata Turki Utsmani bisa menjaga kekuasaannya. Andai Inggris tidak datang ke India. Andaikata Belanda tidak menjajah begitu lamanya di Indonesia, sejarahnya akan lain pula. Wajah Islam di dunia sekarang ini adalah sebagian dari produk sejarah masa lampau.
Tidak lupa, kitab-kitab klasik seperti Al-Muwatta Imam Malik, Shohih Bukhori Imam Bukhori, Ihya Ulumiddin al-Ghazali, dan sebagainya itu juga adalah produk sejarah. Mungkin tidak akan ada kitab semacam itu bila saat itu mereka tidak membuatnya. Demikian juga ilmu-ilmu fiqih, filsafat Islam, tasawuf, akhlaq adalah produk sejarah
Kita bisa melihat kesenian wayang di Jawa, seni lukis, seni baca qur’an beserta metodenya, seni kaligrafi, arsitektur, serat-serat keagamaan di berbagai tempat, seperti di Jawa, Maroko, Kairo, dan dimana-mana adalah produk sejarah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Studi Islam dengan pendekatan sejarah berarti mempelajari Islam dengan melihat jejak kesejarahannya meliputi waktu peristiwa, tempat peristiwa, dan tokoh yang terlibat di dalamnya.
Pendekatan kesejarahan sangat dibutuhkan dalam studi Islam, karena Islam datang kepada seluruh manusia dalam situasi yang berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatannya masing-masing.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Islam mempunyai banyak produk sejarah yang memenuhi khazanahnya. Konsep Khulafaur Rasyidin adalah produk sejarah. Seluruh bangunan Islam klasik, tengah, dan modern adalah produk sejarah. Meliputi istana, masjid, madrasah, perpustakaan, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998
Nata, Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998
Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2004



[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, h. 1
[2] Ibid., hal. 46
[3] Ibid., hal. 48
[4] Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998
[5] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, h. 48
[6] Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, hal. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar