Minggu, 06 November 2016

KONSEP ISLAM TENTANG ALAM, MANUSIA DAN PENDIDIKAN



KONSEP ISLAM TENTANG
ALAM, MANUSIA DAN PENDIDIKAN



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Marsyanah, M.Pd.I



Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur
(1310320005)





PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
“Sesungguhnya dalam menciptakan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran, 3;190-191).
 Sifat manusia selalu ingin tahu apa yang ditangkap oleh indranya, minimal setelah indranya menangkap sesuatu, dia akan bertanya; apa itu? Dari mana asalnya? Bagaimana sehingga ada? Dan bagaimana kesudahannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan filosfis.
Demikian halnya dengan alam, pertanyaan yang terlintas; apa itu alam?; bagaiamana sehingga ia ada?; dan bagaimana ujung dari alam ini? Pertanyaan tersebut telah berusaha untuk dijawab oleh para filosof, di antara mereka terjadi perbedaan tentang asal-usul alam.Sehingga pertanyaan tidak Sebatas tentang alam saja, tetapi pertanyaan-pertanyaan lain pun berdatangan sehingga sampai pada pertanyaan yang berhubungan dengan hakekat “wujud” atau “ada”, dan ini merupakan objek filsafat.[1]
Tuhan menciptakan alam semesta dengan berbagai macam ciptaan yang mendukung kebutuhan manusia. Adam As (nenek moyang manusia) dipersiapkan untuk menjadi pemimpin (khalifatullah) yang bertugas menjaga, melestarikan, dan menyejahterakan kehidupan di bumi. Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[2]
Dengan dibekali nafsu dan akal manusia berpotensi untuk mengolah sedemikian rupa tanah dan air yang terhampar di bumi. Pun demikian, manusia juga berpotensi untuk membuat kerusakan bahkan kehancuran di muka bumi. Oleh karenanya, pendidikan diperlukan agar manusia sekalian dapat menjalankan tugas-tuganya dengan baik dengan merujuk pada ketentuan Allah yang termaktub dalam kitab suci Alquran.
Dalam makalah ini penyusun akan mengurai konsep alam manusia, dan pendidikan menurut perspektif islam.

B.        Rumusan Masalah
1.         Bagaimana konsep alam menurut perspektif Islam?
2.         Bagaimana hubungan manusia dengna alam?
3.         Bagaimana peran pendidikan terhadap hubungan manusia dan alam?

C.        Tujuan
1.         Mengetahui konsep alam menurut perspektif Islam
2.         Mengetahui hubungan manusia dengna alam
3.         Mengetahui peran pendidikan terhadap hubungan manusia dan alam



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Alam Menurut Perspektif Islam
1.      Pengertian
Kata alam merupakan serapan dari bahasa Arab yang berakar dari  kata علم yang mempunyai arti dasar bekas atau tanda sesuatu yang membedakan dengan yang lain.[3]
  Di dalam bahasa Indonesia, alam mempunyai bermacam-macam arti, antara lain: 1). dunia; 2). segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang-bintang,kekuatan-kekuatan); 3). daerah (keadaan, masa, kehidupan, dan sebagainya);  4). Segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan (golongan dsb) dan dianggap sebagai satu keutuhan; 5). segala daya (kekuatan dsb.) yg menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini, seperti: hukum alam; ilmu alam.[4]
Dari makna etimologi yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa alam adalah semua yang ada; baik yang bersifat materi atau nonmateri, yang dilihat atau yang tidak. Tuhan tidak termasuk alam, walaupun Dia “Ada”, karena Dia tidak bersifat materi atau non materi. 
2.      Proses kejadian alam
Salah satu yang menjadi perdebatan antara  para filosof  dan teolog muslim (Asy‘ariyah), adalah tentang asal-usul terciptanya alam. Secara umum ada dua teori besar yang menjadi pangkal pembahasannya, yaitu teori keadaan tetap (Steady-State Theory) dan teori dentuman besar (Big-Bang Theory).[5]
a.       Teori keadaan tetap (Steady-State Theory)
Teori ini berdasarkan prinsip kosmologi sempurna yang menyatakan bahwa alam semesta di manapun dan bilamanapun selalu sama. Berdasarkan prinsip tersebut alam semesta terjadi pada suatu saat tertentu yang telah lalu dan segala sesuatu di alam semesta selalu tetap sama walaupun galaksi-galaksi saling bergerak menjauhi satu sama lain. Teori ini ditunjang oleh kenyataan bahwa galaksi baru mempunyai jumlah yang sebanding dengan galaksi lama. Dengan demikian teori ini secara ringkas meyatakan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk (lahir) tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati. Jadi, teori ini beranggapan bahwa alam semesta itu tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya tanpa awal dan tanpa akhir.[6]
b.      Teori dentuman besar (Big-Bang Theory)
Teori ini berlandaskan dari asumsi adanya massa dan massa jenis yang sangat besar, karena adanya reaksi inti kemudian meledak dengan hebat. Massa tersebut kemudian mengembang dengan cepat menjauhi pusat ledakan.[7]
Para teolog (mutakallimin) mengatakan bahwa alam ini baharu, dan adanya dari yang tidak ada. Pandangan teolog sejalan dengan al-Kindi yang berpendapat bahwa alam diciptakan dari ketiadaan, dia merupakan ciptaan Allah, beredar menurut aturannya (sunnatullah) tidak qadim tetapi mempunyai permulaan.[8]
Kosmolog modern dalam menjelaskan penciptaan alam semesta berpegang pada teori Big Bang. Menurut teori ini, alam semesta terkemas dalam singularitas yang sekitar 15 miliar tahun kemudian meledak, pecah berkeping-keping dengan dahsyatnya. Pecahan inilah yang menjadi atom, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Karena pemuaian alam semesta, galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dan akan terus bergerak.[9]
Namun begitu, Ibn Rusyd berbeda pendepat. Menurut beliau, alam diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu al-maddah, penciptaan ini terus menerus sejak azali. Untuk mendukung argumentasinya, Ibn Rusyd merujuk kepada Alquran. Ibn Rusyd mengatakan bahwa firman Allah dalam Q.S. Hud (11):7.
dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air...
ayat ini zahirnya mengisyaratkan bahwa “ada” sebelum “yang ada” yaitu, al-‘arsy dan air, ada waktu sebelum waktu ini, dan firman Allah dalam Q.S. Ibrahim/17:48. 
(yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit,…
Ayat ini pun mengisyartakan bahwa “ada yang kedua” setelah “yang ada ini”, begitupun dengan firman Allah dalam Q.S. Fussilat (41):11.
kemudian Dia menuju ke langit dan langit itu masih berupa asap,… yang mengisyaratkan bahwa langit diciptakan dari sesuatu.
Walaupun Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang yang rasional dan mempercayai apa yang dihasilkan oleh akal, namun dalam penetapan qidam-nya alam, beliau menganggap tidak termasuk yang dapat dianalogikan dan dibuktikan dengan penelitian, tetapi harus lewat pendengaran (wahyu).[10]
Dengan penjelasan ini, penelitian yang telah  dilakukan oleh kosmolog, bahwa alam terjadi dari ketiadaan, seakan membantah pendapat Ibn Rusyd, dan mendukung pendapat teolog.
Bagaimana dengan isyarat-isyarat Alquran? Alquran seakan membenarkan kedua pendapat tersebut. Saat Ibn Rusyd berpendapat bahwa alam diciptakan dari maddah seperti yang telah dijelaskan beliau merujuk  kepada Alquran (Q.S. Hud (11): 117, Ibrahim (14 ):48, Fussilat 11), demikian juga para teolog, mereka berargumentasi dengan menggunakan Alquran, bahwa Alquran menggunakan lafal-lafal seperti: بدع, خلق, فطر dan menurut al-Asfahaniy kesemuanya mengandung makna penciptaan dari yang tidak ada dan tidak ada contoh sebelumnya. Oleh karena itu, kata bid‘ah (berasal dari kata bada‘a) bermakna: berkata atau berbuat sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Selain itu, Alquran  juga menyebutkan bahwa penciptaan terjadi mempunyai permulaan, hal ini bermakna penciptaan mempunyai zaman atau waktu, berbeda dengan pendapt Ibn Rusyd yang berpendapat keberadaan alam tidak didahului oleh zaman.[11] 

B.     Hubungan Manusia dengan Alam
Alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena susungguhnya Allah menciptakan alam serta isinya hanya untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi justru dengan tangannya kadang manusia merusak alam yang seharusnya dilestarikan, dimakmurkan, dan dipelihara sebagai suatu amanah dari Allah. Padahal, alam seharusnya menjadi sahabat manusia yang kemudian alam akan memberikan manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia.
Berkali-kali Allah mengingatkan manusia untuk mengenal dirinya sendiri karena dengan mengenal dirinya manusia dapat mengetahui substansinya. “man arafa nafsah faqad arafa rabbah”, siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.
Dalam Alquran, manusia disebut dengan tiga macam kata, yakni basyar, al-insan, dan an-nas.[12] Pertama, Kata basyar disebut dalam Alquran 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS. Ali ‘Imran [3]: 47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dll.
Kedua, kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalam Alquran yang dapat  dikelompokkan dalam tiga kategori.
a.       al-insan dihuhungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah
b.      al-insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah dan kikir
c.       al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan non materi.
Ketiga, kata an-nas yang disebut sebanyak 240 kali dalam Alquran mengacu pada eksistensi manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya. Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan  dirinya  mencapai tujuan yang positif. Mereka menganggap manusia itu rasional dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini membuat manusia itu terus berubah dan berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih sempurna. Manusia dapat pula menjadi anggota kelompok masyarakat dengan tingkah laku yang baik. Mereka juga mengatakan selain adanya dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam hidupnya juga digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan keinginan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.[13]
Bagaimana pandangan filsuf barat tentang manusia? Socrates misalnya, menyebut manusia sebagai Zoon politicon atau hewan yang bermasyarakat, dan Max Scheller menyebutnya sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah.[14]
Ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga terdapat banyak rumusan atau pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut:[15]
1.      Homo sapiens atau makhluk yang mempunyai budi.
2.      Homo faber atau Tool making animal yaitu binatang yang pandai membuat bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebutuhan hidupnya.
3.      Homo economicus atau makhluk ekonomi.
4.      Homo religious  yaitu makhluk beragama.
5.      Homo laquen atau makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang tersusun.
Di samping itu masih ada  ungkapan lain tentang definisi manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale (hewan yang rasional atau berpikir),  animal symbolicum (hewan yang menggunakan symbol) dan animal educandum (hewan yang bisa dididik). Tiga istilah terakhir ini menggunakan kata animal atau hewan dalam menjelaskan manusia. Hal ini mengakibatkan banyak orang terutama dari kalangan Islam tidak sependapat dengan ide tersebut. Dalam Islam hewan dan manusia adalah dua makhluk yang sangat berbeda. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk sempurna dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada hewan, seperti potensi akal dan potensi agama. Jadi jelas bagaimanapun keadaannya, manusia tidak pernah sama dengan  hewan.
Dalam ilmu mantiq (ilmu logika) kita temukan rumusan tentang manusia dengan sebutn sebagai “al-insanu hayawanun natiq” yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita menjadi insan atau manusia adalah hewan yang natiq, yaitu berkata-kata, mengeluarkan pendapat dengan berdasarkan pemikirannya.
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa manusia bisa menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang diberikan Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal), kalbu, jiwa, raga serta panca indra. Dalil Alquran yang diajukannya adalah surah alA’raf:
“… mereka (manusia) punya hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka punya mata tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tandatanda kekuasaan  Allah), mereka mempunyai telinga tapi tidak dipergunakan untuk (mendengar ayat-ayat Allah). Mereka itu sama dengan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang yang lalai.”  (QS:7:179).
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa manusia memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk terbaik dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Namun apabila manusia tidak bisa  mengembangkan potensinya tersebut bisa saja manusia menjadi lebih rendah dari makhluk lain, seperti hewan misalnya.[16] 
Amir Daien Indrakusuma mengatakan manusia mempunyai beberapa macam hakikat[17], yaitu:
1.      Manusia mempunyai hakikat sebagai mahluk dwi tunggal. Yaitu memiliki unsur rohaniah dan jasmaniah, unsur halus dan kasar, jiwa dan raga.
2.      Manusia mempunyai dua sifat hakiki yaitu mahluk individual dan mahluk sosial. Sebagai mahluk individual manusia mempunyai kebutuhan, keinginan, bahkan pemikiran tersendiri yang kemungkinan berbeda satu dengan lainnya. Sementara sebagai mahluk sosial manusia mempunyai naluri untuk hidup bersama, berkelompok, berbaur, dan tolong-menolong. Hal itu dikarenakan karena manusia sadar bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri tanpa dukungan manusia lainnya.
3.      Manusia mempunyai hakikat sebagai mahluk susila atau berketuhanan. Manusia menyadari bahwa mereka adalah mahluk yang lemah. Mereka mempunyai hanya mempunyai sedikit kekuatan dan terbatas. Di luar sana ada dzat yang mempunyai kekuatan yang lebih besar dan tak terkalahkan. Dari situ manusia tunduk dan patuh terhadap Tuhan yang melindunginya. Manusia mengikuti ketentuan-ketentuan berupa wahyu yang diterima. Tata hidup untuk berlaku baik diterapkan menjadi norma dalam keseharian. Manusia dituntut mampu membedakan yang baik dan buruk demi dapat memenuhi kehendak Tuhan.
Kesimpulannya adalah apabila hakikat di atas terpenuhi dalam diri manusia maka dapat diyakini bahwa manusia tersebut adalah manusia yang sempurna (insan kamil).
C.    Peran Pendidikan Islam Bagi Manusia
Dalam bahasa Arab terdapat beberapa kata yang merujuk kepada pendidikan. Antara kalimah yang selalu digunakan ialah:[18]
1.     Tarbiyyah. Kalimah tarbiyyah berasal daripada kata dasar ‘rabba’ (mengasuh, memelihara atau memimpin). Ia juga merujuk kepada proses perkembangan potensi individu, mengasuh atau mendidik untuk menuju kepada satu keadaan yang matang.
2.     Ta’lim. Kalimah ta’lim berasal daripada konotasi ‘alima (mengetahui, memberitahu, melihat, mencerap, menganggap). Ia merujuk kepada proses menyampaikan atau menerima ilmu pengetahuan yang kebiasaannya didapati melalui latihan, arahan, tunjuk ajar atau lain-lain bentuk pengajaran.
3.     Ta’dib berasal daripada kalimah aduba (memperhalus, berdisiplin dan berbudaya). Ia merujuk kepada proses pembinaan watak dan pengajaran asas-asas penting untuk hidup bermasyarakat, ini termasuklah memahami dan menerima prinsip yang paling asas sekali yaitu keadilan.
Menurut al-Attas, antara ketiga-tiga kalimah tersebut, kalimah ta’dib lebih tepat kerana ia mempunyai makna yang lebih spesifik untuk menggambarkan proses pendidikan manusia berbanding dengan kalimah tarbiyyah yang mempunyai maksud yang lebih luas sehingga meliputi hewan, di samping penekanannya kepada pengasuhan fisik lebih daripada penngajaran mental dan rohani. Hujahnya diperkuatkan lagi dengan mengambil contoh Rasulullah saw yang telah menggunakan perkataan ta’dib untuk merujuk tentang pendidikan yang diberikan oleh Allah kepada Baginda.[19]
Semula alam (bumi) adalah sebuah padang yang gersang, tandus dan panas serta penuh kerusakan. Tuhan menyuratkannya pada surat Al-a’raf ayat 56:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya …”
Karenanya Tuhan menginginkan agar ada seorang makhluknya yang dipercaya untuk mengemban amanat sebagai pemimpin di bui yang bertugas memelihara kemakmurannya.
Tuhan menciptakan alam beserta isinya dan menghendaki manusia sebagai khalifahnya (pengganti). Namun, malaikat mempertanyakan kehendak-Nya, kenapa harus manusia? Bukankah itu tugas yang berat? Kenapa tidak kami (malaikat) saja yang setiap saat bertasbih dan bersujud kepada Allah? Justru bukankah mereka (manusia) suka membuat keonaran dan kerusakan?
Lalu Tuhan menciptakan Adam yang kemudian diajari ilmu-ilmu tertentu. Dengan fitrah dan potensinya, Adam dapat membuktikan kepada sekalian penduduk surga bahwa beliau laik menjadi seorang khalifatullah. Malaikatpun tunduk dan mengakui keunggulan manusia. Segenap mahluk Allah bersujud hormat kepada Adam, manusia dengan daya pikir yang hebat.
Di sana dapat kita lihat bagaimana proses Adam yang semula diragukan akan kemampuannya, dapat membuktikan siapa beliau sesungguhnya. Ya, terlihat pendidikan menjadi amat penting. Andai saja Adam tidak diajarkan Tuhan (tidak mendapat pendidikan), tentu beliau tidak akan dapat meyakinkan malaikat akan kemampuan manusia.
Manusia dibekali dengan nafsu dan akal. Nafsu untuk mengembangkan daya kreasi dalam mengelola, mengolah, dan memakmurkan bumi Allah. Sedangkan akal untuk memanifestasikan keinginan manusia.
Pendidikan membantu manusia mengasah akal dan potensi untuk memenuhi nafsunya (keinginan). Bagaimana mereka mampu membuat kedamaian dan kesejahteraan hidup sesuai yang diharapkan dapat diraih dengan menempuh pendidikan. Namun demikian, pendidikan itu harus disandarkan kepada Sang Khaliq untuk menjaga dan memelihara kesadaran manusia bahwa mereka harus menjaga keseimbangan alam. Alam tidak untuk digunakan seenaknya melainkan harus melihat dampak kedepannya. Pendidikan mengingatkan manusia agar bertindak arif dan bijaksana bahwa alam bukan tujuan melainkan hanya sebuah titipan. Kaitannya dengan alam sudah maklum bahwa manusia wajib menjaga kelestarian alam. Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 41-42:
“Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanandimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)
Menurut konsep islam, konsep pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang mempu mengoptimalkan daya potensi positif yang diberikan oleh tuhan kepadanya untuk terus menerus menuju kesempurnaan-Nya dan meminimalkan atau menumpas habis daya potensi negatif. Dan untuk itu, manusia harus secara terus menerus mengasah diri, memperdalam kesadarannya, memperhebat semangat atau kehendak dan etos kerjanya dan mempertajam pemikiranny.dari sini maka tersiratlah bahwa manusia harus menguasai ilmu dinianya sebagai akibat logis dari pemberontakannya untuk melawan kehidupan duniawi yang tidak memuaskan dan terpanggil membangunnya dan harus menguasai ilmu ukhrowi.[20]
Apabila kita melihat program pendidikan sebgai usaha untuk menumbuh kembangkan anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif, dapat dikatakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat mengantarkan pada tumbuhnya daya kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penndidikan keterampilan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terprogram.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuh kembangkan potensi dasarnya serta kecenderungan terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki.
Pendidikan islam menjembatani manusia dan alam agar saling berkolaborasi dalam mengesakan Tuhan. Sehingga, dengan pendidikan islam seorang muslim diharap mampu menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian yang lebih baik (insan kamil) karena tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri adalah agar manusia beribadah kepada Sang Pencipta.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      alam adalah semua yang ada; baik yang bersifat materi atau nonmateri, yang dilihat atau yang tidak. Tuhan tidak termasuk alam, walaupun Dia “Ada”, karena Dia tidak bersifat materi atau non materi. 
2.      Secara umum ada dua teori besar yang menjadi pangkal pembahasannya, yaitu teori keadaan tetap (Steady-State Theory) dan teori dentuman besar (Big-Bang Theory)
3.      Dalam Alquran, manusia disebut dengan tiga macam kata, yakni basyar, al-insan, dan an-nas.
4.      Beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah Homo sapiens, Homo faber, Homo economicus, Homo religious, Homo laquen
5.      Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada hakikatnya manusia digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal ini menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur  dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang ada dalam diri manusia.
6.      Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan  dirinya  mencapai tujuan yang positif
7.      Menurut Martin Burber manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam.
8.      Kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar dirinya, yaitu lingkungannya.
9.      Dalam bahasa Arab pula terdapat beberapa kalimah yang merujuk kepada pendidikan. Antara kalimah yang selalu digunakan ialah tarbiyah, ta’dib, ta’lim.
10.  Achmadi membagi tujuan pendidikan islam menjadi tiga kareakter yaitu: Tujuan tertinggi, tujuan umum, dan tujuan khusus
DAFTAR PUSAKA
Rif’at Syauqi Nawawi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami. (Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2000).
Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan membangun Pendidikan Islam.  2009. Yogyakarta: Teras
Abdullah Aly. Ilmu Alamiah Dasar. (Jakarta: bumi Aksara. 2000)
Abu al-Husein Ahmad ibn Faris ibn Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lugah (Cet. ke-1; Beirut: Dar Iḥya al-Turas  al-‘Arabiy. 2001).
Amir Daien Indrakusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. 1997.
Didiek Ahmad Supadie. Pengantar Studi Islam. (Jakarta: Rajawali Pers). 2011..
Drijarkara. Percikan Filsafat.  Semarang: Kanisius. 1978.
Mawardi. Ilmu Alamiah Dasar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia. 2004).
Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM  DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
Siti Khasinah. HAKIKAT MANUSIA MENURUT PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa  Indonesia  (Jakarta: Pusat  Bahasa Departemen  Pendidikan Nasional. 2008).
Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN  TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari Special Edition (2012) 7 - 22
Zakariya Basyir Imam. Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah. Dirasah Madkhaliyah Muyassarah (Cet. ke-1; Khurtum: Dar al-Sudaniyah li al-Kutub. 1998). Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
Zar. Sirajuddin. Filsafat Islam. Filosof dan Filsafatnya. cet. ke-4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010. 
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 2009.


[1] Zakariya Basyir Imam. Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah. Dirasah Madkhaliyah Muyassarah (Cet. ke-1; Khurtum: Dar al-Sudaniyah li al-Kutub. 1998). 84. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[2]  Rif’at Syauqi Nawawi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami. (Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2000). 67
[3] Abu al-Husein Ahmad ibn Faris ibn Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lugah (Cet. ke-1; Beirut: Dar Iḥya al-Turas  al-‘Arabiy. 2001). h. 663.
[4] Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa  Indonesia  (Jakarta: Pusat  Bahasa Departemen  Pendidikan Nasional. 2008). h. 33-34. 
[5] Abdullah Aly. Ilmu Alamiah Dasar. (Jakarta: bumi Aksara. 2000) hal. 34
[6] Abdullah Aly. Ilmu Alamiah Dasar…. hal. 35
[7] Mawardi. Ilmu Alamiah Dasar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia. 2004). hal. 27
[8] Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM  DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[9] Zar. Sirajuddin. Filsafat Islam. Filosof dan Filsafatnya. cet. ke-4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010. 
[10] Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM  DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat Penciptaan. Dalam jurnal Studi Islamika Hunafa. Vol. 9. No. 1 Juni 2012: 55-84.
[11] Muhammad Syarif Hasyim. AL-‘ALAM  DALAM ALQURAN… hal. 55-84.
[12] Didiek Ahmad Supadie. Pengantar Studi Islam. (Jakarta: Rajawali Pers). 2011. hlm. 137.
[13] Siti Khasinah. HAKIKAT MANUSIA MENURUT PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
[14] Drijarkara. Percikan Filsafat.  Semarang: Kanisius. 1978. hal. 138.
[15] Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 2009. hal. 82. lihat juga Syahminan Zaini. Mengenal Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya: 1980. hal.  5-6.
[16] Siti Khasinah. HAKIKAT MANUSIA MENURUT PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2013. VOL. XIII. NO. 2. 296-317
[17] Amir Daien Indrakusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. 1997. Hal. 47
[18] Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN  TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari Special Edition (2012) 7 - 22
[19] Zakaria Stapa. dkk. PENDIDIKAN MENURUT AL-QURAN DAN SUNNAH SERTA PERANANNYA DALAM MEMPERKASAKAN  TAMADUN UMMAH. Dalam Jurnal Hadhari Special Edition (2012) 7 - 22
[20] Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan membangun Pendidikan Islam.  2009. Yogyakarta: Teras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar