Minggu, 06 November 2016

TAFSIR AYAT TENTANG PESERTA DIDIK



TAFSIR AYAT TENTANG PESERTA DIDIK

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Tafsir
Dosen Pengampu : Teguh Muhyiddin, M.Pd


Disusun oleh :
M. Abdul Ghofur    (1310320005)



PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an benar-benar merupakan mukjizat bagi Rasululah saw. Di antara bukti kemukjizatannya adalah kisah-kisah gaib tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu. Misalnya, kisah tentang Musa yang bertemu dengan Khidir, seorang yang diberi anugerah ilmu yang dalam oleh Allah yang kemudian banyak memberi nasihat kepada Musa As.
Manusia adalah mahluk pembelajar. Begitulah sejatinya kita hidup di dunia ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Tidak main-main, melalui wahyu pertama-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Allah Swt. secara tegas memerintah hamba-Nya untuk senantiasa membaca, menelaah, meneliti, dan mempelajari ciptaan-Nya. Sehingga kita semakin dekat dengan-Nya dan dapat menangkap pesan-pesan keagungan dzat-Nya.
Akantetapi, ada satu hal yang sering ditinggalkan oleh para pembelajar, yakni adab. Adab atau etika kepada guru (pendidik) seringkali diabaikan oleh pelajar (peserta didik). Padahal, guru adalah pintu dari ilmu. Sedang ilmu tak dapat diraih tanpa seorang guru. Ketika murid tak lagi menghormati gurunya, maka murid tidak akan mendapat barakah dan manfaat ilmu, melainkan afat (bahaya) ilmu.
Bahkan Syekh Zarnuji secara khusus mengarang kitab “Ta’limul Muta’allim” karena melihat buruknya moral peserta didik kepada pendidik-pendidiknya. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam suart al-Kahfi ayat 60 sampai 82 memberikan banyak kesan perihal adab murid dan guru. Mulai dari niat, awal perjumpaan hingga perpisahan.
Disini penyusun akan menyajikan sebuah makalah mengenai ayat-ayat dan tafsirnya yang berkenaan dengan peserta didik. Semoga bermanfaat.

B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini adalah: Bagaimana tafsir surat al-kahfi ayat 60 s/d 82 menurut tafsir Jalalain,  tafisr Al-Mishbah, tafsir at-Thabari dan Ibn Katsir?
C.    TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82 menurut beberapa pendapat ulama’ serta dapat mengkaitkan dengan dunia pendidikan, khususnya tentang etika peserta didik.
D.    METODE PENELITIAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka dengan membaca literatur-literatur tentang al-Qur’an, mulai dari ayat, terjemah, tafsir, serta membandingkan satu buku tafsir dengan buku atau kitab lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Surat al-Kahfi ayat 60 s.d 82[1]
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82(
Artinya:
60. Dan (ingatlah) ketika Mûsâ berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Mûsâ kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."64. Mûsâ berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Mûsâ berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"69. Mûsâ berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Mûsâ berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Mûsâ berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Mûsâ berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

B.     Tafsir Surat al-Kahfi ayat 60 s.d 82 menurut Tafsir Jalalain[2]
Ayat 60
(Dan) ingatlah (ketika Musa berkata) Nabi Musa adalah anak lelaki Imran – (kepada muridnya:) yang bernama Yusya’ bin Nun; ia selalu mengikutinya dan menjadi pelayannya serta mengambil ilmu darinya. – (“Aku tidak akan berhenti) artinya aku akan terus berjalan – (sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan) tempat bertemunya Laut Romawi dal Laut Persi dari sebelah timurnya; yakni tempat bertemunya kedua lautan tersebut – (atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”) selama bertahun-tahun untuk mencapainya, sekalipun jauh.
Ayat 61
(maka tatkala keduanya sampai ke pertemuan dua buah laut itu) yakni tempat bertemunya kedua laut itu – (mereka berdua lupa akan ikannya) Yusya’ lupa membawanya ketika berangkat, Nabi Musa pun lupa mengingatkannya – (maka ia mengambil) yakni ikan itu melompat untuk mengambil – (jalannya ke laut itu) Allah-lah yang menjadikan jalan itu, yaitu dengan menjadikan baginya – (dalam keadaan berlubang) seperti lubang bekasnya, yaitu lubang yang sangat panjang dan tak berujung. Demikian itu karena Allah Swt. menahan arus air demi untuk ikan itu, lalu masuklah ikan itu ke dalamnya dengan meninggalkan bekas seperti lubang dan tidak terhapus karena bekasnya membeku.
Ayat 62
(maka tatkala mereka berdua melewati) tempat itu dengan berjalan kaki sampai dengan waktu siang, yaitu pada hari keduanya – (berkatalah) Musa – (kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita) yaitu makanan yang bisa dimakan pada siang hari, yakni makan siang – (sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”) payah, yang hal ini baru mereka rasakan setelah berjalan jauh dari tempat itu.
Ayat 64
........ (Lalu keduanya kembali) kembali lagi – mengikuti jejak mereka semula) menitinya – (secara benar-benar) lalu keduanya sampai di batu besar tempat mereka beristirahat.
Ayat 66
(Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”) yakni ilmu yang dapat membimbingku, dan menurut satu qiraat dibaca rasyadan. Nabi Musa meminta hal tersebut kepada Khidir karena menambah ilmu adalah suatu hal yang dianjurkan.
Ayat 69
(Musa berkata: Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang ) yakni tidak akan mendurhakai – (kamu dalam sesuatu urusan pun) yang kamu perintahkan kepadaku. Nabi Musa mengungkapkan jawabannya dengan menggantungkan kemampuannya kepada kehendak Allah, karena ia merasa kurang yakin akan kemampuan dirinya di dalam menghadapi apa yanag harus ia lakukan. Hal ini merupakan kebiasaan para nabi dan wali Allah, yaitu mereka sama sekali tidak pernah merasa percaya terhadap dirinya sendiri walau sekejap.
Ayat 70
(Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku) menurut qiraat yang lain, tas-alni dibaca tas-alanni – (tentang sesuatu apapun) yang kamu ingkari menurut pengetahuanmu dan bersabarlah kamu, jangan menanyakannya kepadaku – (sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”) hingga aku menuturkan perihalnya kepadamu berikut sebabnya. Lalu nabi Musa menerima syarat itu, yaitu memelihara etika dan sopan santun murid terhadap gurunya
Ayat 71
........ (Musa berkata:) kepada Khidir – (“Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?) menurut satu qiraat, lafaz litughriqa dibaca litaghraqa, dan lafaz ahlaha dibaca ahluha - (Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”) yakni kekeliruan yang sangat besar. Menurut suatu riwayat, air laut tidak masuk ke dalam perahu yang telah dilubanginya.
Ayat 73
(Musa berkata: “janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku) yakni atas kealpaanku sehingga aku lupa bahwa aku harus menuruti perintahmu – (dan janganlah kamu membebani aku) memberikan beban kepadaku – (dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”) kerepotan dalam persahabatanku denganmu; atau dengan kata lain, perlakukanlah aku di dalam bertean denganmu dengan penuh maaf dan kelapangan dada.
Ayat 74
.......... (Berkatalah ia:) yakni Nabi Musa – (mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih) jiwa yang masih belum berdosa karena belum mencapai usia taklif. Dan menurut suatu qiraat, lafaz zakiyyatan dibaca zakiyatan – (bukan karena dia membunuh orang lain?) dia tidak membunuh orang lain – (Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”) lafaz nukran dapat pula dibaca nukuran, artinya susuatu hal yang mungkar.
Ayat 76
Oleh sebab itu, maka – (berkatalah Musa: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini) sesudah kali ini – (maka janganlah kamu menemani aku lagi) artinya janganlah kamu biarkan aku mengikuti kamu lagi – (sesungguhnya kamu telah cukup memberikan kepadaku) dapat dibaca laduni atau ladunni, artinya dari pihakku – (uzur) alasan agar aku berpisah denganmu.
Ayat 77
......... (Musa berkata:) kepadanya (“Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil) menurut suatu qiraat dibaca laittakhazta – (upah untuk itu”) yakni persenan karena mereka tidak mau menjamu kita, sedangkan kita sangat membutuhkan makanan.
C.    Tafsir Surat al-kahfi ayat 60 s.d 82 menurut Tafsir Al-Mishbah
Ayat 60 - 61
Kelompok ayat ini menguraikan suatu kisah menyangkut Nabi Musa as dengan salah seorang hamba Allah yang saleh. Kisah ini tidak disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam surah ini. Banyak juga hal yang disebut oleh kumpulan ayat ini yang tidak secara jelas diuraikan. Mislnya, siapa hamba Allah yang saleh itu, di mana pertemuan mereka, dan kapan terjadinya. Kendati demikian, banyak sekali pelajaran yang dapat ditarik dari ayat-ayat ini.
Ayat 62 – 64
Perjalanan Nabi Musa dengan pembantunya itu agaknya sudah cukup jauh walau belum sampai sehari semalam, terbukti sari ayat ini bahwa mereka baru merasa lapar sehingga nabi Musa minta untuk disiapkan makanan mereka.
Dia, yakni pembantunya, berkata :”Tahukah engkau, wahai guru yang mulia bahwa tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidak adalah yang menjadikan aku melupakannya kecuali setan.”
Ayat 65
Perjalanan kembali ke tempat hilangnya ikan ditempuh nabi Musa as bersama pembantunya itu. Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba mulia lagi taat.
Ayat 66 – 68
Dalam pertemuan kedua tokoh itu, Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?”
Ayat 69 – 70
Mendengar komentar nabi Khidir, Nabi Musa berkata kepada Hamba Allah yang saleh itu: “Engkau insyaallah akan mendapati aku sebagai seorang penyabar yang insyaallah mampu menghadapi ujian dan cobaan, dan tidak akan menentangmu dalam suatu perintah yang engkau perintahkan atau urusan apapun.”
Ayat 71 - 73
Setelah masing-masing menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang dikehendaki, maka berangkatlah keduanya, yakni Musa dan Khidir.
Nabi Musa sadar akan kesalahannya, maka dia berkata, “janganlah engkau menghukum aku, yakni maafkanlah aku atas keterlanjuran yang disebabkan oleh kelupaanku terhadap janjiyang telah kuberikan kepadamu, dan janganlah engkau bebani aku dalam urusanku, yakni dalam keinginan dan tekadku mengikutimu dengan kesulitan yagn tidak dapat kupikul”.
Ayat 74 -75
Nabi Khidir memperkenankan permohonan maaf nabi Musa as. Mereka kemudian meninggalkan perahu dengan selamat dan turun ke pantai.
Pada ayat ini nabi Musa tidak lupa lagi, tetapi benar-benar sadar karean besarnya peristiwa yang dilakukan oleh Khidir yang membunuh seorang anak tak berdosa..
Ayat 76 – 77
Nabi musa sadar bahwa dia telah melakukan dua kali kesalahan, tetapi tekadnya yang kuat untuk meraih makrifat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan terakhir. Untuk itu, dia berkata, “Jika aku bertanya kepadamu, wahai saudara dan temanku, tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau jadikan aku temanmu dalam perjalanan ini lagi. Aku rela, dan tidak berkecil hati. Sesungguhnya engkau telah mencapai batas yang wajar dalam memberikan uzur padaku karena telah dua kali aku melanggar dan engkau memaafkanku.
Setelah itu, tatkala Khidir menegakkan rumah yang hampir roboh, Musa berkata: “Jika engkau mau niscaya negkau mengambil atasnya upah, yakni atas perbaikan dinding sehingga dengan upah itu kita dapat membeli makanan.”
Sebenarnya, kali ini Musa tidak secara tegas bertanya, tetapi memberi saran. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut terdapat semacam unsur pertanyaan, inipun telah dinnilai sebagai pelanggaran oleh nabi Khidir.
D.    Tafsir Surat al-kahfi ayat 60 s.d 82 menurut Tafsir At – Tabari dan Ibnu Kasir[3]
Ringkasannya sebagai berikut:
Rangkaian ayat ini berbicara tentang perjalanan Nabi Musa untuk mencari seorang hamba Allah yang diceritakan mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang Allah lebih dari pengetahuan Musa.
Sebelum melakukan perjalanan, Nabi Musa telah diperintahakan untuk membawa serta ikan yang telah diasinkan. Dalam perjalanan Musa diberitahu bahwa jika ikan tersebut hilang, itu merupakan pertanda.
Mereka pun berjalan hingga mencapai pertemuan dua buah laut. Di sana mereka menemukan mata air kehidupan. Mereka beristirahat dan tidur di sana. Ikan asin yang dibawanya terkena percikan air. Kemudian ikan itu menggelepar di dalam keranjang yang terbuat dari pelepah kurma. Ikan tersebut lama-kelamaan bergeser dan menceburkan diri ke dalam lautan. Ia pun berjalan di atas air dan tidak berenang. Air tersebut bagaikan jembatan. Air laut dan ikan tidak saling bercampur seperti hal yang lumrah.
Dalam ayat ini, setelah melewati tempat ikan tadi terlepas sekitar satu marhalah, pembantunya lupa mengatakan bahwa ikannya tertinggal jatuh ke laut. {Maka aku lupa (Menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa kecuali setan. Dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali}. (Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 644).
Allah Swt menegaskan, murid Musa berkata kepada Musa saat mengatakan kepadanya, “Berikanlah kepada kami makanan kami untuk kami makan,” {Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang ikan itu} di sana, {Dan tidak adalah yang melupakan aku kecuali setan}. Allah Swt menegaskan, dan tidak ada yang melupakanku untuk menceritakan ikan itu kecuali setan {Untuk menceritakannya}
Pada ayat 79-82 berbicara tentang klarifikasi Khidir bahwa apa yang dilakukannya mempunyai tujuan dan ia mempunyai pengetahuan tentangnya, dia melihat perahu milik orang-orang miskin di kaum yang mereka memperolah penghasilan hidup di laut, dengan di rusaknya perahu itu, mereka bisa selamat dari tirani raja yang tengah merompak setiap kapal yang berlayar, dan kapal-kapal yang dirompaknya adalah kapal-kapal yang masih bagus, dalam arti raja itu tidak mengambil dan merebut semua kapal yang berlayar.
Adapun perbuatan kedua, membunuh anak. Khdir mempunyai ilmu bahwa anak itu adalah seoarng kafir, namun kedua orang tuanya beriman. Dikhawatirkan anak itu akan membuat kedua orang tuanya durhaka kepada Allah. Dan Allah menggantinya dengan anak yang shaleh serta menyayangi kedua orang tuanya.
Kasus yang ketiga adalah penduduk suatu negeri yang enggan menyambut dan menjamunya. Sampai ketika Musa dan Khidir menemukan tembok rumah yang hampir roboh, lalu Khidir menegakkannya kembali dengan alasan bahwa di bawah tembok itu ada harta karun milik dua orang anak yatim. (Tafsir At-Tabari, Jilid XIV, 2001: 353-366)

E.      
BAB III
ANALISIS
Pada ayat 61 diceritakan bahwa Nabi Musa As. rela berjalan bertahun-tahun demi bertemu dengan sang guru (Nabi Khidir As.). Ia sudah bertekad akan menghabiskan waktunya untuk mencari hamba Allah yang akan mengajarkannya sesuatu yang tidak Allah ajarkan kepada Nabi Musa.
Hal inilah yang perlu dicontoh oleh para peserta didik. Kita tidak diperkenankan putus asa dalam mencari ilmu. Sekalipun berada di tempat yang jauh dan susah dijangkau, kita harus berupaya untuk meraihnya.
Pada ayat 62 s/d 64, Perjalanan baru saja dimulai dan Nabi Musa sudah kehilangan momen untuk bertemu Sang Guru. Kesungguhannya untuk menuntut ilmu benar-benar diuji Allah. Setelah berjalan seharian, mereka (Nabi Musa dan muridnya) justru berjalan terlampau jauh sehingga harus kembali melangkahkan kaki ke tempat di mana jatuhnya ikan yang dibawa.
Pada ayat 65 s/d 66, akhirnya Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir. Nabi Musa memohon izin dengan penuh rasa hormat kepada Sang Guru untuk diperkenankan mengikuti beliau supaya Nabi Musa diajarkan ilmu-ilmu yang secara khusus Allah anugerahkan kepada Sang Guru.
Penulis di sini beranggapan bahwa mengikuti di sini tidak hanya berarti mengikuti langkah ke mana Sang Guru pergi. Akantetapi, mengikuti dalam makna yang lebih luas yaitu bersedia mengikuti kemauan guru, sanggup memenuhi tugas yang diberikan guru, serta mematuhi dan menaati perintah guru.
Nabi Musa tidak memaksa Nabi Khidir agar mau mengajarkannya. Padahal, Nabi Musa adalah seorang rasul. Sedangkan Nabi Khidir hanyalah seorang nabi, di mana derajat seorang rasul lebih tinggi dibanding nabi. Nabi Musa dengan legowo dan kulo nuwun mohon diajarkan kepada hamba Allah yang setingkat dibawahnya.
Pada ayat 67 s/d 70, saat Nabi Khidir meragukan kesabaran Nabi Musa, beliaupun berusaha meyakinkan Sang Guru dan berkomitmen untuk memenuhi apa yang menjadi persyaratan selama belajar.
Nabi Musa berusaha memenuhi perintah guru untuk bersabar selama proses pembelajaran dan berjanji tidak akan memberontak, menentang, menolak, apa yang diperintahkan guru.
Nabi Musa tidak lupa mengucapakan lafal insyaallah, sebagai ajaran bagi kita agar kita selalu berdoa kepada Allah agar selama kita belajar, kita diberikan kekuatan untuk bersabar dan kuat menghadapi segala kemungkinan yang terjadi selama proses menuntut ilmu itu berjalan.
Kita tidak diperkenankan untuk menyombongkan diri atas hal sekecil apapun. Nabi Musa datang dari jauh dan berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk belajar kepada Nabi Khidir. Dan Sang Guru hanya memberikan syarat agar mau bersabar selama belajar, Nabi Musa tidak diperkenankan untuk bertanya atas apa yang ia lihat selama mengikuti Nabi Khidir berkelana. Syarat yang terlihat sangat ringan dan tak sebanding dengan beratnya perjalanan Nabi Musa ke tempat tujuan. Cukup diam dan tak perlu banyak bicara. Namun begitu, Nabi Musa tak melewatkan membaca kalimah thayyibah supaya diberikan kelancaran dan kemudahan dalam belajar.
Ayat 71 s/d 73. Setelah kesepakatan dibuat, pembelajaran segera dimulai. Nabi Musa melihat kejanggalan atas apa yang dilakukan Sang Guru yang melubangi perahu tumpangan mereka. Nabi Musa tak sabar dan akhirnya menanyakan perihal perbuatan Sang Guru. Sang Guru menegur murid atas pelanggaran yang ia buat. Bukankah kontrak belajar sebelumnya telah disepakati bahwa Nabi Musa tidak diperkenankan untuk bertanya selama proses belajar.
Nabi Musa sadar dan meminta maaf kepada Sang Guru perihal khilafnya (menanyakan satu hal apapun dalam proses belajar). Inilah yang perlu dilakukan seorang peserta didik manakala membuat sebuah kesalahan. Tidak sungkan dan segera meminta maaf kepada guru atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga guru mau memaafkan dan proses pembelajaran dapat kembali dimulai dengan suasana saling memafkan.
Ayat 74 s/d 76. Setelah turun dari perahu dan melanjutkan perjalanan, Nabi Musa dibuat kaget dengan kemunkaran yang dilakukan Sang Guru. Kalau pelubangan perahu masih dikhawatirkan akan menenggelamkan banyak orang, tapi kali ini nyawa orang benar-benar hilang. Pembunuhan terhadap remaja oleh Sang Guru membuat hati Nabi Musa bergetar dan bertanya dengan nada protes yang tinggi. Namun, sekali lagi pertanyaan yang diajukan Nabi Musa adalah sebuah pelanggaran kontrak belajar di awal pertemuan.
Nabi Khidir kembali menegur muridnya. Nabi Musa sudah dua kali membuat pelanggaran yang mencederai komitmennya sendiri, sehingga Nabi Musa merasa bersalah dan meminta maaf. Nabi Khidir sudah mengingatkan Nabi Musa, bahwa nabi Musa tidak akan sanggup bersabar mengikutinya. Akantetapi, Nabi Musa berusaha meyakinkan guru dengan membuat statement yang gagal ia jaga.
Sembari menenangkan diri melihat dua peristiwa sebelumnya, Nabi Musa mengajukan satu negosiasi sebagai pembangkit semangat agar Sang Guru masih menaruh kepercayaannya dan sebagai pemicu usaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Nabi Musa mengajukan kesepakatan baru yakni apabila ia melakukan satu lagi pelanggaran maka Nabi Musa siap untuk dihukum. Dan hukumannya adalah tidak diperkenankan melanjutkan perjalanan lagi bersama Nabi Khidir. Begitulah kontrak baru yang dibuat bersama antara seorang murid dan guru.
Ayat 77 s/d 82. Perjalanan terus berlanjut dan sampailah mereka pada perkampungan yang penduduknya kikir. Sehingga kedua nabi Allah itu berjalan dengan perut yang kosong dan lelah. Nabi Musa dibuat terheran-heran dengan aksi spontan Nabi Khidir menegakkan sebuah rumah yang akan roboh. Tanpa ada perintah dan upah, Sang Guru bekerja untuk penduduk yang pelit walau untuk memberi sekadar makanan pengganjal perut.
“Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”, saran Nabi Musa kepada nabi Khidir. Sang guru menganggap muridnya telah melakukan pelanggaran lagi sehingga sesuai dengan kontrak belajar yang baru saja diperbaharui, maka Nabi Musa tidak dapat lagi menemani Nabi Khidir berkelana.
Di sini penulis melihat bahwa hal-hal yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid mengandung banyak pelajaran bagi kita semua, meskipun dalam konteks kisah di atas beberapa di antaranya adalah sebuah pelanggaran. Antara lain adalah:
1.      Semangat Nabi Musa untuk mencari ilmu meski harus berjalan ke tempat yang jauh;
2.      Nabi Musa tidak malu berguru kepada orang yang derajatnya di bawahnya;
3.      Memohon ijin kepada guru tempat kita menimba ilmu;
4.      Selalu berdoa memohon kepada Allah dalam hal sekecil apapun;
5.      Menghindari sifat sombong;
6.      Bersedia mengikuti perintah guru dan tidak membangkang;
7.      Menjaga etika dan sopan santun;
8.      Menjaga komitmen memegang janji
9.      Keberanian Nabi Musa untuk menanyakan hal-hal yang ia lihat menunjukkan seorang peserta didik harus memiliki rasa ingin tahu (curiosity);
10.  Keberanian Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada guru ketika melakukan kesalahan;
11.  Kemampuan Nabi Musa membaca situasi – memberikan saran untuk meminta upah atas pekerjaan – manakala kelaparan di sebuah perkampungan;
12.  Nabi Musa memohon maaf kepada Sang Guru ketika melakukan kesalahan; dan
13.  Menerima keputusan yang diberikan oleh guru


BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Surat al-Kahfi ayat 60-82 menceritakan perjalanan Nabi Musa mencari ilmu. Adapun hal-hal yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid yang belajar kepada Nabi Khidir mengandung banyak pelajaran bagi kita semua, meskipun dalam konteks kisah di atas beberapa di antaranya dianggap sebuah pelanggaran. Antara lain adalah:
1.      Semangat Nabi Musa untuk mencari ilmu meski harus berjalan ke tempat yang jauh;
2.      Nabi Musa tidak malu berguru kepada orang yang derajatnya di bawahnya;
3.      Memohon ijin kepada guru tempat kita menimba ilmu;
4.      Selalu berdoa memohon kepada Allah dalam hal sekecil apapun;
5.      Menghindari sifat sombong;
6.      Bersedia mengikuti perintah guru dan tidak membangkang;
7.      Menjaga etika dan sopan santun;
8.      Menjaga komitmen memegang janji
9.      Keberanian Nabi Musa untuk menanyakan hal-hal yang ia lihat menunjukkan seorang peserta didik harus memiliki rasa ingin tahu (curiosity);
10.  Keberanian Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada guru ketika melakukan kesalahan;
11.  Kemampuan Nabi Musa membaca situasi – memberikan saran untuk meminta upah atas pekerjaan – manakala kelaparan di sebuah perkampungan;
12.  Nabi Musa memohon maaf kepada Sang Guru ketika melakukan kesalahan; dan
13.  Menerima keputusan yang diberikan oleh guru
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Abu Bakar. Al-Muyassar Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1 s/d 30 (Transliterasi). 2010. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam jalaluddin as-Suyuthi. Terjemahan Tafsir jalalain berikut Asbabun Nuzul Jilid 2. 2009. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Mishbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. 2009. Jakarta: Lentera Hati
Sygma. Miracle The Reference. 2010. Bandung: Sygma Publishing


[1] Anwar Abu Bakar. Al-Muyassar Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1 s/d 30 (Transliterasi). 2010. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hal. 594
[2] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam jalaluddin as-Suyuthi. Terjemahan Tafsir jalalain berikut Asbabun Nuzul Jilid 2. 2009. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hal. 25
[3] Sygma. Miracle The Reference. 2010. Bandung: Sygma Publishing. Hal. 600

Tidak ada komentar:

Posting Komentar