Minggu, 06 November 2016

STRUKTUR JIWA DALAM PSIKOLOGI ISLAM (KEPRIBADIAN ISLAM, STRUKTUR JIWA DAN DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM)



STRUKTUR JIWA DALAM PSIKOLOGI ISLAM
(KEPRIBADIAN ISLAM, STRUKTUR JIWA DAN DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM)



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Psikologi Islam
Dosen : Farida Ulyani, M.Pd.



Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur
(1310320005)
Diah Fara Tamia
(13103200

 


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURURSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit. Jadi, sebenarnya sejak manusia mengalami proses kejadian sampai dengan sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya. Tulisan ini akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai jiwa menurut paradigma psikologi Islam di Indonesia dimulai pada periode pra-psikologi Islam (Hamka) sampai dengan periode psikologi Islam berkembang (Mujib & Muzakir).
Jiwa merupakan kajian utama pada ruang lingkup psikologi, berbeda dengan fisiologi yang mempelajari struktur dan fungsi organ fisik biologis manusia, karena psikologi secara etimologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jiwa merupakan cerminan dari perilaku yang dimunculkan oleh seseorang dalam bentuk tindakan dan perbuatan nyata yang meliputi tindakan yang dapat teramati (perilaku terbuka) maupun tindakan yang tidak dapat diamati secara langsung (perilaku tertutup) dalam hubungannya dengan realitas ekternal di luar dirinya. 
Manusia perlu mengenal siapa dirinya agar mengetahui jatidirinya. Bahwa manusia tidak hanya terdiri dari aspek jasmani saja melainkan juga aspek rohani. Dengan demikian, manusia tidak hanya butuh makan dan minum, tetapi juga butuh nutrisi pemenuh dahaga jiwa.  Berbagai perilaku manusia muncul tidak hanya terjadi begitu saja melainkan ada hal-hal yang mendorongnya. Di sini pemakalah akan mengurai apa-apa yang ada dalam jiwa manusia.
B.        Rumusan Masalah
1.         Bagaimana struktur jiwa manusia dalam psikologi Islam?
2.         Bagimana kepribadian manusia dalam psikologi Islam?

C.        Tujuan
1.      Mengetahui struktur jiwa manusia dalam psikologi Islam
2.      Mengetahui kepribadian manusia dalam psikologi Islam



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Struktur Jiwa
Hamka boleh dibilang sebagai salah satu pemikir Islam Indonesia yang diperhitungkan di zamannya. Dalam beberapa buku yang beliau karang terdapat juga pembahasan mengenai jiwa manusia. Menurut Hamka jiwa merupakan jejak atau hasil interaksi antara aspek-aspek jiwa, yaitu akal, hawa nafsu dan kalbu. Konsep jiwa yang ditawarkan Hamka lebih menitikberatkan pada perseteruan akal dengan hawa nafsu sebagai dua kekuatan utama dalam jiwa manusia, sementara kondisi kalbu yang akan menjadi kondisi jiwa secara keseluruhan sepenuhnya tergantung pada hasil perseteruan tersebut.[1]
Mujib dan mudzakir lebih menekankan keutamaan kalbu dalam konsep struktur jiwa yang ditawarkannya. Lebih lanjut, menurutnya jiwa manusia berasal dari dua substansi yang saling bertolah belakang yaitu substansi jasmani  yang diwakili oleh jasad dan substansi ruhani yang yang diwakili oleh ruh. Hasil penggabungan kedua substansi tersebutlah yang menghasilkan jiwa, serupa dengan pendapat Hamka, Mujib dan Muzakir juga berpendapat bahwa jiwa terdiri dari kalbu, akal dan nafsu. Konsep jiwa yang ditawarkan lebih menekankan keutamaan peranan kalbu sebagai pusat dari dinamika jiwa manusia.Secara umum struktur jiwa digambarkan sebagai berikut:
Sementara itu, Barmawie Umary mambagi substansi penyusun jiwa menjadi empat yang terdiri dari Ruh, qalb, aqlu, dan nafsu.[2]
a.    Ruh
Ruh adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa Mesir purba memandang ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel melihat manusia sebagai jalinan badan dan ruh. Setelah meninggal badan kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke Tuhan untuk memperoleh balasan.
Dalam alquran, istilah ruh sering disebutkan tetapi mempunyai makna-makna yang berbeda. Adakalanya ruh sebagai pemberian hidup dari Allah kepada manusia, adakalanya penciptaan terhadap nabi Isa, ruh menunjukkan alquran, juga menunjukkan wahyu dan malaikat yang membawanya, semua pengertian tersebut tidak satupun menunjukkan badan atau badan ruh, sehingga menunjukkan bahwa ruh berbeda sengan nafs.[3] Setinggi apapun ilmu seseorang, ia tidak mungkin menemukan hakikat ruh, karena merupakan bagian dari misteri ilahi dan manusia tidak mempunyai pengetahuan penuh untuk memahaminya.
Allah berfirman pada surat Al-Isra:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S.17:85).

b.   Qalb
Qalb termasuk rahasia manusim yang merupakan anugrah Allah yang paling mulia. Hal ini karena dengan qalb ini manusia mampu beraktifitas sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah. Qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada kebaikan. Sentral aktifitas manusia bukan ditentukan oleh “badan yang sehat” sebagai mana yang dipahami oleh kebanyakan para ahli biologi.
Hamka tidak terlalu dalam mengupas kalbu atau hati, namun secara gamblang beliau menyatakan bahwa hati adalah medan pertempuran yang diperebutkan oleh akal dan hawa nafsu. Warna kalbu akan mengikuti akal atau nafsu yang nantinya akan menguasainya. Jika akal yang menang selamatlah hati dan selamatlah seluruh jiwa, jika nafsuyang berkuasa maka alamat rusaklah jiwa keseluruhannya. Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging jika ia baik seluruh tubuh akan baik, jika ia rusak seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah dialah hati” (HR. Muttafaq Alaihi).
Qalb mempunyai nama-nama lain yang disesuaikan dengan aktifitasnya. Ia dapat dikatakan sebagai dhamir karena sifatnya yang tersembunyi, fu’ad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, karena berbentuk benda, luthfu karena sebagai sumber perasaan halus, qalb karena suka berubah-ubah kehendaknya serta sirr karena bertempat pada tempat yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.[4]

c.    Aqlu
Menurut Hamka hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang  berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya, sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari kemana-mana, akal manusia akan mengikatnya agar ia tidak lepas kendali, dengan mudah dan serta merta mengikuti hawa nafsunya. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa akal digerakkan oleh tigadaya yang dimiliki jiwa, yaitu fikiran (al-fikr), perasaan (al-wijdan) dan kemauan (al-iradah).

d.   Hawa Nafsu
Nafsu daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan alghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Alsyahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan.  Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar hasrat-hasratnya. Prinsip kerja nafsu hampir sama dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang buas maupun binatang jinak. Binatang buas memiliki dorongan agresi, sedangkan hewan jinak memiliki dorongan seksual.[5]
Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kecenderung manusia yang lebih rendah dari pada binatang. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs. Yusuf:53)

B.     Kepribadian Islam
Terdapat perebedaan pada term kepribadian dari sisi Islam, seperti pada literatur klasik dalam pemikiran al-Ghazali kepribadian lebih merujuk pada term akhlak yang berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi dan juga berusaha menilai baik-buruknya.[6] Sedangkan kepribadian dalam psikologi merupakan tingkah laku (attitude) yang didiagnosa untuk mencari sebuah gejala dan sifat seseorang.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan subtansi manusia, sebab dengan pembahasan subtansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs, seperti firman Allah berikut ini:
“Ingatlah, menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-amar) hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S.7:54)
Lafadz al-khalq pada ayat tersebut menurut al-Ghazali berarti, alam penciptaan, sedangkan lafadz al-amar berarti alam perintah. Alam penciptaan menghasilkan jasad, sedang alam perintah menghasilkan ruh manusia.[7]
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Ada beberapa substansi dalam diri manusia itu sendiri diantaranya adalah:[8]
a.       Substansi Jasmani, substansi model ini lebih mengacu terhadap struktur organisme fisik.
b.      Substansi Ruhani, merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya.
c.       Substansi Nafsani, model yang menggabungkan antara jasad dan ruh. Substansi nafsani memiliki potensi gharizah (insting). Jika potensi ini dikaitkan dengan subtansi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa atau emosi; (2) al-'aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga ini merupakan sub-sistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian. Jadi, secara sederhana nafsani (nafs) adalah keseluruhan diri pribadi manusia itu sendiri, yang meliputi eksistensi manusia yang paling luar (jasad) sampai esensi yang paling dalam (ruh).
Dari beberapa unsur diatas, kepribadian dalam psikologi Islam adalah integrasi sistem qalb, 'aql, dan, daya al-nafs manusia yang menimbulkan tingkah laku. Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya yaitu: (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesdaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah hayawaniah) sebagai aspek pra atau bawah-sadar manusia yang memiliki daya konasi (karsa).
Sementara itu Sigmun Freud[9], seorang ahli psikoanalisis menyatakan bahwa manusia memiliki tiga kehendak yaitu Id, Superego, dan Ego. Id merupakan naluri primitif yang terletak di bagian sadar dari kepribadian. Id paling besar pengaruhnya dalam kepribadian, kerjanya tidak rasional, tetapi bersifat impulsif.[10]
Superego merupakan tempat penyimpanan nilai luhur yang dimiliki seseorang, termasuk moral dan sikap yang ditanamkan melalui sosialisasi san masyarakat.
Ego adalah bagian yang berperan sebagai arbitrator atau pengendali konflik antara id dan superego. Kendatipun ketiga aspek itu mempunyai fungsi yang berbeda, ketiganya berhubungan erat dan tak terpisahkan. Oleh karenanya ketiga aspek itu berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang.
Adapun Mujib dab Mudzakkir menjelaskan struktur kepribadian Islam adalah sebagai berikut:[11]
a.        Kepribadian Ammarah (Nafs al-Ammarah)
Kepribadian ammarah adalah model kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Nafs al-ammarah menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (Q.S.12:53).
Kepribadian ammarah adalah bentuk kepribadian di bawah-sadar manusia. Dan orang yang memiliki kepribadian ini maka orang tersebut tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya tetapi juga orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya, (2) daya ghadhab yang selalu tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Pada dasarnya, orientasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang (hewani).
Kepribadian ammarah dapat beranjak menuju kepribadian yang lebih baik apabila orang yang berkepribadian tersebut telah diberi rahmat oleh Allah swt. Pendakian kepribadian ammarah menuju menuju ketingkat kepribadian yang lebih baik hanya dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian yang ada, yaitu kepribadian lawwamah. Hal tersebut disebabkan oleh persentase daya nafsu lebih dekat dengan persentase daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya kalbu (lihat tabel diatas). Pendakian ini membutuhkan latihan khusus yang biasa disebut dengan riyadhah, untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa, dan sebagainya.

b.        Kepribadian Lawwamah (Nafs al-Lawwamah)
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam hal ini, kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zhulmaniah (gelap)-nya, namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan ber-istigfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah. Sebagaimana firman Allah swt.
 “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”(Q.S.75:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi komponen akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalitistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi, maka manusia tersebut akan mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum Humanis yang pola pikirnya berorientasi pada kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris. Apabila akal telah diberi percikan nur kalbu, maka fungsinya menjadi baik. Dalam hal ini, akal dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju kepada Tuhan. al-Gazhali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa (zawq), namun masih menggunakan kemampuan akal pula. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu mencapai akal mustafad.[12] Akal mustafad ini adalah akal yang mampu menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan melalui Akal fa'al (Malaikat Jibril).

c.         Kepribadian Muthmainnah (Nafs al-Muthmainnah)
Kepribadian Muthmainnah ini adalah kepribadian yang telah telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan kemudian tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian ini selalu berorientasi kepada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang, begitu tenangnya sehingga ia dipanggil oleh Allah swt dengan firmannya:
“Hai jiwa yang tenang.(28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Q.S. 89:27-28)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang tenteram dan bersumber dari kalbu manusia yang mampu merasakan thuma'ninah sebagaimana dalam firman Allah:
 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. 13:28).
Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran manusia, karena kepribadian muthmainnah merasa tenang dalam menerima keyakinan fitriah. Adapun jalan atau cara untuk membentuk kepribadian seperti ini adalah dengan cara memperbanyak dzikir (ingat) kepada Allah swt sebagaimana tercantum dalam ayat di atas. Esensi dzikir yang bermuasal dari aspek vertikal antara Tuhan dengan manusia menjadi aspek horisontal dimana manusia juga menerima manfaat secara lahir.
Kepribadian muthmainnah akan membentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah yang dihujamkan oleh Allah swt.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Barmawie Umary mambagi substansi penyusun jiwa menjadi empat yang terdiri dari Ruh, qalb, aqlu, dan nafsu
2.      Ruh adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa Mesir purba memandang ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel melihat manusia sebagai jalinan badan dan ruh. Setelah meninggal badan kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke Tuhan untuk memperoleh balasan.
3.      Qalb termasuk rahasia manusim yang merupakan anugrah Allah yang paling mulia. Hal ini karena dengan qalb ini manusia mampu beraktifitas sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah. Qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada kebaikan.
4.      Menurut Hamka hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang  berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya, sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari kemana-mana, akal manusia akan mengikatnya agar ia tidak lepas kendali, dengan mudah dan serta merta mengikuti hawa nafsunya.
5.      Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kecenderung manusia yang lebih rendah dari pada binatang.
6.      Terdapat perebedaan pada term kepribadian dari sisi Islam, seperti pada literatur klasik dalam pemikiran al-Ghazali kepribadian lebih merujuk pada term akhlak yang berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi dan juga berusaha menilai baik-buruknya. Sedangkan kepribadian dalam psikologi merupakan tingkah laku (attitude) yang didiagnosa untuk mencari sebuah gejala dan sifat seseorang.
7.      Mujib dan Mudzakkir menjelaskan struktur kepribadian Islam adalah sebagai berikut: Kepribadian Ammarah (Nafs al-Ammarah), Kepribadian Lawwamah (Nafs al-Lawwamah), dan Kepribadian Muthmainnah (Nafs al-Muthmainnah)
8.      Sementara itu Sigmun Freud, seorang ahli psikoanalisis menyatakan bahwa manusia memiliki tiga kehendak yaitu Id, Superego, dan Ego. Id merupakan naluri primitif yang terletak di bagian sadar dari kepribadian. Id paling besar pengaruhnya dalam kepribadian, kerjanya tidak rasional, tetapi bersifat impulsif.


DAFTAR PUSTAKA
Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. 2009. Yogyakarta: Teras.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. 2002. Jakarta: Rajawali Pers.
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya' Ulum al-Din. 1980. Beirut: Dar al-Fikr.
Barmawie Umary. Materi Akhlak. 1989. Solo: Ramdhani.
Ema Yudiani. DINAMIKA JIWA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM. JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/45-59
 Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. 1995. Jakarta:Bulan Bintang.
Hasan Langgulung. Asas-asas pendidikan Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Alhusna.


[1] Ema Yudiani. DINAMIKA JIWA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM. JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/45-59
[2] Barmawie Umary. Materi Akhlak. 1989. Solo: Ramdhani. Hal. 21
[3] Hasan Langgulung. Asas-asas pendidikan Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Alhusna. Hal 272
[4] Barmawie Umary. Materi... Hal. 21
[5] Ema Yudiani. DINAMIKA JIWA… hal. 45-59
[6] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya' Ulum al-Din. 1980. Beirut: Dar al-Fikr.
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. 2002. Jakarta: Rajawali Pers. hal. 39.
[8] Abdul Mujib dan Jusuf. Nuansa-nuansa Psikologi ..hal. 40
[9] Pendiri dan penentu Psikoanalisa adalah Sigmund Freud (1856-1939). seorang neurolog berasal dari Austria. keturunan Yahudi. Berangkat dari pengalaman dengan para pasien. Freud menemukan ragam dimensi dan prinsip-prinsip mengenai manusia yang kemudian menyusun teori psikologi yang sangat mendasar. majemuk. dan luas implikasinya di lingkungan ilmu-ilmu sosial. humaniora. filsafat. dan ilmu agama serta memberi ilham terhadap berbagai kreasi seni. (Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi  Islami. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1997. hal. 49)
[10] Abd. Aziz. Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Hal. 45-46. Yogyakarta: Teras. 2009
[11] Abdul Mujib dan Jusuf. Nuansa-nuansa Psikologi Islam... hal  63
[12] Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta:Bulan Bintang. 1995). hal.37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar