Rabu, 20 Januari 2021

Memaknai silaturahmi

 

Akhir Desember lalu aku pergi ke Juwana untuk mengunjungi kediaman seorang teman. Semenjak ia menikah dan bermukim di sana kami menjadi jarang bertemu dan bertukar kabar. Maka dari itu aku berencana untuk datang ke rumahnya. Lagi pula aku pernah punya janji untuk main ke sana namun belum juga terpenuhi. Dan inilah saat untuk membayarnya..

Perjalanan Wedung-Juwana dapat ditempuh dengan sepeda motor selama 2 jam. Sebuah perjalanan yang lumayan jauh. Tapi tak mengapa, aku memang berniat berkunjung, silaturahmi. Jadi hal yang berat menjadi terasa biasa saja.

Sesampai di sana aku disambut dengan hangat. Wajah kawan kami bersinar memancarkan kebahagiaan. Kami menanyakan kabar masing-masing dan ngobrol banyak tentang banyak hal dari keluarga, lingkungan setempat, hingga pekerjaan. 

Banyak hal yang semula kita tidak tahu menjadi diketahui, samar menjadi terang atau masalah yang pelik dapat terpecahkan. HIngga tak terasa sudah berjam-jam kami bertamu. Kami memang sama-sama doyan ngomong.

Berbicara dengan kawan lama itu seperti rekreasi. Melihat dia sehat tak ada yang kurang itu saja sudah membuat kita bahagia. Apalagi mendengar kesuksesannya. Sebagai kawan yang baik tentu kita ucapkan selamat dan ikut bergembira.

Begitu pula ketika ada kabar duka tentang dia, kita juga turut simpati dan berupaya melakukan sesuatu untuk sekadar mengurangi beban pikiran. Syukur-syukur bisa membantu mencarikan jalan keluar.

Nah, Silaturahmi merupakan salah satu ikhtiar kita untuk mengambil peran aktif menemukan kabar saudara kita. Kalau ia baik-baik saja, alhamdulillah. Kalau ia sedang susah ayo kita bantu.

Aku teringat seorang mbah yang main ke rumahku. Aku lupa namanya. Belakangan aku tahu kalau beliau itu saudaranya nenek dari ibuku. Persisnya aku tak paham, Ibu juga. Karena aku penasaran, saat itu aku ikut ‘njagongi’ si mbah. Aku bertanya nama dan alamatnya hingga kisah sewaktu mudanya. 

Jadi si Mbah ini sempat merasakan jaman penjajahan Jepang. Beliau dengan semangat menceritakan masa remajanya yang masuk menjadi tentara binaan Nippon. Iseng, aku memintanya untuk menyanyikan lagu Jepang. Dan rupanya si Mbah masih hafal lengkap dengan iramanya. 

Aku tertawa terhibur oleh nyanyian si Mbah meski tak paham apa arti dari lagu tersebut. Aku hanya terpaku heran, kok bisa ya.. Mbah setua ini, kira-kira 70 tahunan, masih mengingatnya. Menurutku si Mbah ini perlu untuk disowani guna kepentingan pencatatan sejarah Desa. Aku jadi tahu ternyata masih ada saksi hidup yang bisa kita gali pengalamannya di masa kemerdekaan dulu.

Ibu bilang kalau si Mbah suka keliling jalan kaki ke rumah para saudaranya baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Hal itu dilakukan untuk menanyakan kabar anak cucunya. 

Lho kok si mbah yang keliling? Jalan kaki? Kok bukan anak cucunya yang menyambangi? Ini pertanyaan biasa tapi membuat nggak enak hati untuk dibahas. Entahlah hanya embah, anak dan cucunya yang tahu.

Coba, kita renungkan baik-baik. Kita sudah sedewasa ini, mengklaim diri sebagai orang yang baik, setia kawan dan perhatian. Apakah kita sudah bisa meniru hal yang dilakukan mbah. Sejak kecil kita dididik untuk saling menyayangi dan mengasihi kepada saudara juga teman-teman. 

Orang-orang yang dulu dekat dengan kita, akrab bahkan seakan saudara kandung kini tergantikan oleh orang baru. Kita memasuki hidup baru, dikelilingi oleh tetangga dan teman kerja. Lantas masihkah ada perhatian untuk mereka yang pernah mengisi waktu mula kita?

Kita terlalu sibuk pada urusan pribadi sehingga sedikit lupa kalau kita punya teman dan saudara yang perlu untuk dihubungi. Bagaimanakah keadaannya? Apakah baik-baik saja? Ataukah sedang tidak baik-baik saja?

Apa benar kita sangat sibuk? Padahal kita punya banyak kemudahan seperti telepon, kendaraan, uang, kesehatan, kesempatan dan sebagainya. Sungguh waktu memang hal yang sangat mahal dan berharga.

Berkaca pada hal itu aku berusaha menjaga tali silaturahmi. Jangan sampai tali itu terputus gara-gara terlalu lama tak bertegur sapa. Sehingga yang semula dekat kini menjadi bukan siapa-siapa. Kita harus punya inisiatif untuk mencoba menghubungi, datang, dan berbicara.

Dari silaturahmi aku jadi tahu kabar temanku, Nur. Dia adalah teman sewaktu kuliah. Sudah hampir dua tahun kami tak bertemu. Dan tiba-tiba dikabari bahwa Nur lepas menjalani operasi tenggorokan. Aih! Kasian!. 

Mendengar hal itu aku bersama teman lainnya menyempatkan waktu untuk membesuknya di rumah. Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik. Hanya saja mendengar suaranya yang masih rendah aku jadi merasa iba. Namun, aku melihat sorot bahagianya melihat kedatangan kami. Semoga kedatangan kami bisa membuat hatinya lega dan memancing kesembuhannya.

Kita tak mungkin kita dapat mengunjungi semua orang, tapi setidaknya kita mulai melakukan hal baik, membangun hubungan, saling peduli, dan saling mendoakan. 

Aku percaya bahwa bertamu bisa menjadi obat dari kesusahan. Jadi semacam self healing. Kita melakukan perjalanan, sedikit berpayah, dan meluangkan waktu untuk bersilaturahmi. Di sana kita akan mendapat kebahagiaan tersendiri. Dan barangkali niat kebaikan ini menjadi jalan penggugur kejelekan dan dosa yang pernah kita lakukan. 

Bukankah kita tahu bahwa silaturami itu memanjangkan umur dan melancarkan rizki?

Terakhir saya kutip sabda Rosulullah Saw.

“Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna, jangan syirik, dirikanlah sholat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahim dengan orangtua dan saudara” ~ HR Bukhori

“Tidak ada dosa yang lebih pantas diegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat daripada perbuatan zalim dan memutus tali silaturahmi” ~ HR. Abu Daud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar